Kamis, 26 Februari 2015

RADEN HAJI GURU MUHAMMAD AMIN BIN RADEN MUHAMMAD ALI, MACAN BETAWI DARI KALIBATA PULO JAKARTA SELATAN "TITISAN FATTAHILLAH"

Guru Amin…Siapa yang tidak kenal nama ini diseantero Kalibata Jakarta Selatan, orang Betawi asli yang tinggal di Kalibata, jika tidak mengenal nama beliau ini, sangatlah memalukan, karena beliau Guru Amin adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang sangat militan dan ditakuti oleh penjajah kafir Belanda. Pada masa kemerdekaan sedang bergejolak, keberadaan dirinya ini betul-betul membuat ketar ketir  penjajah kafir Belanda. Berapa kali dalam operasi penyergapan kepada para pejuang kemerdekaan terutama untuk kalangan ulamanya, nama Guru Amin ini menjadi target nomor satu ulama Betawi yang akan ditangkap. Pertempurannya yang legendaris dengan panjajah kafir Belanda telah menjadikan daerah Kalibata menjadi daerah yang bernilai tinggi dalam perjuangan.

Kami sendiri cukup beruntung bertemu dengan dua orang keturunan langsung Guru Amin yaitu Hajjah Darjah yang berlokasi di Kalibata Pulo Jakarta Selatan dan Drs KH Hasbullah Amin yang bertempat tinggal di Jambul Cililitan Jakarta Timur. Pertemuan  pertama kami dengan Hajjah Darjah pada tanggal 28 November 2013 Bakda Magrib. Kami bertemu dengan beliau dan banyak disuguhi dengan kisah perjuangan Guru Amin serta penjelasan singkat tentang silsilah Guru Amin. Beliau Hajjah Darjah saat ini berusia 91 tahun dan masih dalam kondisi sehat Walafiat. Sedangkan pertemuan kami dengan Drs. Kyai Haji Hasbullah Amin terjadi pada tanggal 9 Desember 2013, pukul 16.30 s/d 19.30. Drs  Kyai Haji Hasbullah Amin yang merupakan mantan anggota DPR banyak menceritakan kisah tentang Guru Amin kepada kami. Kami bahkan didiktekan langsung tentang Riwayat Guru Amin berdasarkan tulisan-tulisan bahasa Arab yang sudah usang. Kami beruntung mendapat sumber primer langsung. Sebetulnya riwayat Guru Amin bisa saja kami kutif dari beberapa buku sejarah ulama betawi, namun tetap saja kami merasa tidak afdhol jika tidak bertemu keturunan langsung dari Guru Amin ini. Karena bagi kami kunci untuk melacak nasab dan sejarah seorang tokoh biasanya melalui keturunannya.

Dalam pertemuan yang serba kekeluargaan ini,  Drs. KH Hasbullah Amin banyak menceritakan riwayat Guru Amin yang menurut kami sangat berharga.
Mengenai riwayat Raden Haji Muhammad Amin bin Raden Haji Muhammad Ali (Guru Ali) sebagai berikut ;

Raden Haji Muhammad Amin lahir pada tanggal 3 Juni 1901 Masehi di Kebayoran Lama Jakarta Selatan dari pasangan Raden Haji Muhammad Ali (Guru Ali) dan Siti Maryam binti Abid. Ayah dari Guru Amin saat tinggal di Kebayoran Lama bertugas sebagai HOOFT PENGHULU (Penghulu Agama pada masa Penjajahan Kolonial Belanda). Raden Haji Guru Ali ini asal-usulnya dari Jatinegara Kaum Jakarta Timur, namun kemudian pindah ke Kebayoran Lama karena adanya tugas menjadi HOOFT PENGHULU.

Dalam hal memperoleh pendidikan, pada umur 10 tahun beliau telah belajar dan ngaji langsung kepada ayah dan ibunya sendiri. Karena kedua orangtuanya sama-sama ahli agama, maka tidak sulit bagi Guru Amin untuk menerima dan mencerna pelajaran agama Islam. Dalam usia yang masih cukup muda ini, beliau Guru Amin ini sudah menerima pelajaran ngaji dari ayahnya  seperti Ilmu Nahwu, Aqoid, Fiqih, dll. Dalam  hal keilmuwan agama, bakat Guru Amin memang sudah terlihat sejak usia belia. Tidak heran walaupun usianya masih cukup belia, ayahnya sudah mengajarkan ilmu-ilmu agama-agama secara luas, sepertinya potensi seorang Guru Amin sudah terlihat oleh ayahnya, sehingga ayahnya ini tidak segan-segan untuk terus mendidik Guru Amin menjadi seorang ahli agama yang mumpuni.

Pada usia 10 tahun ini, saat sedang menimba ilmu di Kebayoran Lama, ayahnya yang merupakan HOOFT PENGHULU berpindah tugas ke Pasar Minggu (Kalibata Pulo). Karena ayahnya berpindah tugas  maka otomatis pembelajaran agama yang dilakukan ayahnya yang tadinya di Kebayoran Lama  lebih banyak berpusat di Kalibata Pulo khususnya di Masjid Salafiah dan juga kediamannya. Selama 2 tahun ayahnya disamping mengajar di Masjid ini beliau juga bertugas sebagai HOOFT PENGHULU.

Pada usia 12 tahun ketika Guru Amin sedang merasakan kedekatannya dengan ayahnya ini, ayahnya justru wafat. Tentu kematian ayahnya ini cukup membuat Guru Amin kecil cukup bersedih, namun kondisi ini tidak lama berlangsung, karena begitu ayahnya wafat maka tongkat estafet dakwah langsung diteruskan oleh keluarga besar mereka, dalam hal ini yang melanjutkan tongkat estafet itu adalah anak tertua dari Raden Haji Muhammad Ali yang bernama Raden Haji Zaenuddin. Raden Haji Zaenuddin juga mempunyai panggilan akrab yaitu Guru Ending. Raden Haji Zaenuddin yang mempunyai anak sebanyak 23 orang ini kemudian melanjutkan pengajaran ayahnya dikediamannya dan juga Masjid Salafiah. Guru Amin sendiri dari usia 12 tahun s/d 18 tahun banyak belajar ilmu-ilmu agama kepada Guru Ending ini. Hubungan Guru Amin dan kakaknya ini memang sangat dekat, begitu dekatnya hubungan mereka, sehingga tidak heran kualitas ilmu pengetahuan Guru Amin tidaklah jauh berbeda dengan kakaknya yang juga merupakan seorang ulama yang mempuni. Selama 6 tahun belajar ilmu-ilmu agama kepada Sang kakak, Raden Haji Zaenuddin ini, kelak akhirnya Guru Amin ini berhasil menjadi salah satu ulama kebanggaan masyarakat Betawi.

Ketika usia beliau menginjak 18 tahun, Guru Amin harus berpisah dengan kakaknya, karena kakaknya itu pindah ke daerah Cilendek Bogor Jawa Barat. Berpindahnya Raden Haji Zaenuddin ke Cilendek, tentu membuat posisi pengajaran menjadi kosong baik yang berada dikediamannya maupun Masjid Salafiah, oleh karena posisi pengajaran ini telah kosong, maka naiklah Guru Amin dalam usia 18 tahun untuk mengajar ilmu-ilmu agama dikediamannya Kalibata Pulo dan juga Masjid Salafiah. Disamping mengajar dikediamannya dan juga Masjid Salafiah, Guru Amin juga mengajar di Madrasah Al Islamiah (sekarang sudah tidak ada lagi). Dalam kegiatan mengajarnya ini ternyata tidaklah membuat hasrat Guru Amin berhenti untuk mencari ilmu, Guru Amin disela-sela pengajarannya, beliau masih terus belajar kepada ulama-ulama yang berada dikawasan Betawi. Kepindahan kakaknya ke Cilendek Bogor  justru semakin membuat Guru Amin untuk semangat belajar kepada ulama-ulama. Pada usia 18 tahun ini Guru Amin juga belajar kepada Guru Abdul Hamid yang merupakan Penghulu Bekasi dari kampung Legok Jatinegara. Disamping dengan Guru Abdul Hamid, Guru Amin ini juga belajar kepada Guru Marzuki Azmatkhan dari Klender (Rawa Bangke) Jatinegara, setelah itu beliau juga belajar kepada Guru Mansur Nitikusuma Azmatkhan (beliau keturunan Keluarga Besar Cakrajaya Nitukusuma yang merupakan leluhur Para Pendekar Pitung) Sawah Lio Jembatan Lima tentang Ilmu Falak. Satu lagi gurunya yang lain, yaitu Guru Abdurrohim dari Kuningan Jakarta Selatan.

Dalam usia 18 tahun ini, seperti kebiasaan masyarakat Betawi pada masa itu, Guru Amin kemudian menikah dengan salah satu wanita Betawi  yang bernama Hajjah Fatimah binti Haji Abdullah. Istri Guru Amin yang bernama Hajjah Fatimah ini juga merupakan seorang Guru, muridnya banyak dan tersebar diberbagai wilayah Betawi. Pada usia yang masih muda ini Guru Amin kemudian berangkat ke Mekkah untuk belajar ilmu-ilmu agama kepada ulama Mekkah. Salah satu gurunya yang dianggap berpengaruh pada dirinya adalah Syekh Mukhtar A-Tharid Al Bogori. Di Mekkah ini betul-betul beliau gunakan untuk belajar dan juga menunaikan ibadah haji.

Pada tahun 1929 Masehi Guru Amin mendirikan Pesantren dan Madrasah Unwanul Huda Di Kalibata (Masjid Guru Amin).  Pesantren ini dulu cukup banyak santrrinya, mereka banyak yang berdatangan dari berbagai daerah. Pesantren yang didirikan Guru Amin mempunyai luas sekitar Satu hektar dan berada persis didepan makam Pahlawan (Arah Jalan Raya Pasar Minggu Jakarta Selatan). Sayangnya keberadaan Pesantren dan bangunannya harus  tergusur  pada tahun 1976 oleh Gubernur DKI saat itu yaitu Ali Sadikin untuk perluasan Taman Makam Pahlawan Kalibata. Disamping Pesantren Guru Amin juga membangun  rumah dan juga berwiraswasta dengan membuka toko material yang didalamnya banyak menjual alat bangunan seperti Semen, Pasir, Batubata, Ubin, dll.

Sebagai ulama yang mandiri, Guru Amin ini paling tidak mau untuk meminta-minta kepada orang lain, beliau lebih suka dalam menjalankan usahanya dengan modal sendiri. Dan hasil dari kegiatan perdagangan ini juga untuk membantu operasional Pesantren dan Madrasah Unwanul Falah, tidak jarang dalam menjalankan usaha wiraswasta ini Guru Amin harus pulang pergi dari Kalibata-Bekasi. Guru Amin memang seorang pekerja keras, Jarak yang jauh tidak membuat beliau ini berhenti untuk beraktifitas.

Ahmad Fadli (2011:121) bahkan menceritakan dalam menjalankan usaha ini Guru Amin seringkali kemalaman hingga akhirnya harus menginap disebuah Mushola di Bekasi. Suatu ketika, ketika Guru Amin menginap di Mushola tersebut dan kebetulan saat itu sedang diadakan pengajian. Kebetulan Guru yang mengajar saat memberikan pelajaran terdapat beberapa kesalahan sehingga akhirnya dikoreksi oleh Guru Amin. Hal itu sering  dilakukan Guru Amin setiap ia selesai berbelanja bahan material ke Bekasi dan menginap di Mushola tersebut, rupanya Guru tersebut akhirnya mengadu kepada Ulamasetempat bahwa ia sering dikoreksi oleh Guru Amin dalam setiap mengajar. Hingga pada akhirnya ulama setempat mengundang masyarakat lain yang lebih banyak dari biasanya untuk menghadiri pengajian di Mushola dengan harapan dapat bertemu dengan Guru Amin, Betul saja, Guru Amin kembali menginap di Mushola tersebut. Seperti biasa, Guru Amin selalu membetulkan setiap kalimat yang salah dari guru ngaji tersebut. Rupanya ulama setempat dari awal sudah memperhatikan jalannnya  pengajian dan menyimak koreksian dari Guru Amin. Akhirnya ulama tersebut mengetahui bahwa sebenarnya Guru Amin itu lebih pandai dari guru ngaji Mushola tersebut dan akhirnya menyuruh Guru Amin untuk mengajar di Mushola tersebut. Belakangan diketahui bahwa ulama tersebut adalah mertua KH Noer Ali dan dikemudian hari mertua KH Noer Ali mempersaudarakan mereka berdua. Sejak saat itu setiap Guru Amin pergi ke Bekasi untuk berbelanja Material ia mengajar dan menginap di Mushola tersebut. Tidak hanya itu, pada akhirnya banyak juga masyarakat dari Bekasi, Cikampek, Cikunir dan Cabang Bungin yang kemudian menjadi santri Guru Amin di Unwanul Huda.

Persahabatannya dengan KH Noer Ali dan juga beberapa Jawara Betawi seperti Haji Darip telah membuat Guru Amin terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Jika KH Noer Ali dijuluki dengan Singa Karawang karena perlawanan hebatnya di daerah Pejuang Bekasi, maka Guru Amin pun menurut kami berhak di juluki sebagai Macan Betawi dari Kalibata. Kenapa kami berani mengatakan demikian, karena perjuangan yang Guru Amin ini sama heroiknya seperti apa yang dilakukan oleh KH Noer Ali. Pertempuran pasukan Guru Amin dengan penjajah kafir di Front Jakarta Timur khususnya daerah Kalibata betul-betul heroik dan mendebarkan. Pertempuran ini memang akhirnya banyak memakan korban, baik dari santri Guru Amin maupun dari fihak penjajah kafir Belanda.

Pertempuran pasukan Jihad  Guru Amin dengan penjahat kafir Belanda seolah mengingatkan akan sepak terjang leluhurnya nanti, bagi kami Macan akan tetap melahirkan Macan. Pertempuran inilah yang terjadi sekitar kebun karet (sekarang sudah menjadi Apartement Kalibata) nanti menjadikan Kalibata menjadi sebuah daerah yang bernilai sejarah yang tinggi, sehingga tidak heran akhirnya pemerintah DKI menjadikan daerah bekas pertempuran pasukan Guru Amin dan Penjajah Kafir Belanda ini menjadi Taman Makam Pahlawan Kalibata dan seharusnya Pemerintah berterima kasih kepada Perjuangan Guru Amin ini. Daerah pertempuran Pasukan Jihad Guru Amin dan Pasukan Kafir Belanda ini patutlah kita kenang dan kita hormati. Tanpa ada pertempuran hebat yang terjadi di Front Kalibata ini boleh jadi tidak akan pernah ada Taman Makam Pahlawan Kalibata. Boleh jadi Taman Makam ini Pahlawan ini hanya merupakan tanah biasa saja. Pertempuran jihad Fisabillah itu telah menjadikan tanah Kalibata ini menjadi berkah dan menjadi tempat berkumpulnya “jasad” para pahlawan. Adanya Taman Makam Pahlawan ini sudah jelas karena jasa dari pasukan jihad dari Guru Amin ini. Perlawanan Guru Amin ini betul-betul tidak kenal menyerah, sekalipun pertempuran di Kalibata itu tidak terjadi lagi, namun karena Guru Amin ini nyalinya diatas rata-rata, perjuangan dan pertempuran di Kalibata itu dianggap baru satu babak perjuangan saja, sehingga dengan semangat jihad yang tinggi, Pasukan Guru Amin masih terus bergerilya mengadakan perlawanan disana-sini. Perlawanan di Front Kalibata betul-betul telah membuat Penjajah Kafir Belanda jadi mewaspadai Pasukan Tempur dari Guru Amin. Pasukan Guru Amin ini benar-benar seperti Siluman.  Guru Amin yang merupakan pemimpin pasukan Jihad ini  saat itu betul-betul orang yang paling dicari oleh Penjajah Kafir Belanda. Beberapa kali diadakan penyergapan, Guru Amin selalu berhasil meloloskan diri dengan cerdik. Kisah dicarinya beliau ini seperti sebuah De Javu dari leluhurnya yang pada masa lalu menjadi musuh nomor satu Penjajah Portugis dan juga Penjajah VOC Belanda.

Ahmad Fadli (2011:123) Menceritakan tentang kisah perjuangan ini, ketika Guru Amin menyadari bahwa situasinya yang sudah tidak kondusif lagi maka pada tahun 1946 Guru Amin Hijrah ke Cikampek dengan menggunakan Kereta Api dari Stasiun dengan menyamar sebagai tukang beras. Selama dua tahun dalam pengungsian, Guru Amin ditampung oleh sahabatnya KH Syafi’i Ahmad yang juga merupakan seorang ulama yang alim. Di Cikampek, Guru Amin dan para santrinya yang berasal dari sana memimpin perjuangan melawan penjajah kafir lewat beberapa pertempuran diberbagai Front dari mulai Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang, Tambun, Purwakarta, Cikampek dan wilayah-wilayah lainnya. Nyali Macannya rupanya tidak surut walaupun berada dipengungsian sahabatnya ini. Dalam melakukan perjuangan diera kemederkaan sepertinya Guru Amin lebih dengan Laskar Hizbullah yang didominasi para santri dari berbagai wilayah Bekasi dan sekitarnya. Robert Cribb (2010:150) mencatat mengenai kisah perjuangan Laskar Hizbullah ini. Sebelumnya Laskar Hizbullah ini telah bergabung dengan laskar-laskar yang sudah mapan dalam perjuangan diwilayah Jakarata seperti Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR). Namun karena adanya perbedaan pendapat antara Laskar Hizbullah dan LRJR dalam idiologi  dan cara perjuangannya, maka sebagai bentuk protes, KH Noer Ali Babelan mundur dari Markas Besar Perjuangan Jakarta Timur. Robert Cribb (2010:184) juga menambahkan setelah keluar dari LRJR Pasukan Hizbullah pimpinan KH Noer Ali  lebih bergabung dengan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia dan bergerak dipesisir utara). Tentu sebagai sahabat sejati visi dan misi KH Noer Ali sama dengan Guru Amin. Sebagai sama-sama Alumnus Mekkah, pola pemikiran kedua ulama ini pasti sama dan  sebagai sahabat sejati, sudah tentu antara KH Noer Ali dengan Guru Amin tidak akan saling meninggalkan, apalagi kedua sahabat ini sudah saling mempersaudarakan. LRJR sendiri terdiri dari berbagai unsur golongan, namun memang Laskar ini banyak dihuni oleh para Jawara-jawara Betawi yang berjuang untuk kemerdekaan. Namun dalam pergerakan dan perjuangan, sepertinya Guru Amin lebih memilih Laskar Hizbullah karena memiliki kesamaan visi dan misi, didalam buku yang disusun oleh Robert Cribb itu, keanggotaan Guru Amin tidak disebutkan dalam hirarki LRJR, padahal Guru Amin dapat dikatakan sebagai ulama pejuang yang cukup berpengaruh di Betawi. Agak aneh dan janggal juga buku ini yang tidak menyebut sama sekali nama Guru Amin dalam peta perjuangan di Jakarta, Bekasi, Cikampek, Karawang dan sekitarnya. LRJR sendiri  diantara anggotanya ada nama Haji Darip dan mantunya yang bernama Panji dari Klender dan Letkol Imam Syafii (Pendiri Cobra Senen). Perbedaan cara perjuangan itu memang biasa, namun Guru Amin sepertinya lebih memilih KH Noer Ali untuk bersama-sama berjuang.

Guru Amin kembali lagi ke Kalibata pada tahun 1948. Ketika beliau mengungsi ke Cikampek ini, ternyata rumahnya sudah dihancurkan oleh Penjajah kafir Belanda. Semua kitab yang disimpan ditiga lemari dihancurkan penjajah kafir sehingga tidak bisa digunakan lagi. Ketika kembali ke Kalibata,para santri dan masyarakat menyambutnya dengan sukacita. Hampir tiap hari rumah Guru Amin dikunjungi oleh Santri dan masyarakat. Akhirnya Belanda mencurigai Guru Amin melakukan mobilisasi massa sehingga akhirnya ia tidak diperbolehkan keluar rumah kecuali mengajar di Pesantren Unwanul Huda dan para santri yang harus dating kesana.

Kondisi Guru Amin baru aman setelah Belanda mengakui kemerdekaan dan keluar dari Negara ini.

Guru Amin adalah pejuang sejati, dia adalah Macannya Kalibata, Old Soldier Never Die, seorang pejuang tidaklah pernah mati. Darah para  pejuang yang mengalir didirinya menandakan jika Guru Amin sama dengan leluhurnya.

Menjadi sebuah pertanyaan, siapa sebenarnya leluhurnya ini? Apakah Guru Amin juga berhubungan dengan tokoh-tokoh pejuang Islam pada masa lalu? Jawaban dari leluhur beliau ini lagi-lagi kami temukan dalam kitab nasab Al Mausuu’ah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini.

Berdasarkan kitab nasab Al Mausuu’ah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini yang disusun oleh As-Sayyid Bahruddin Azmatkhan & As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan (2013) serta catatan nasab keluargga besar Jatinegara Kaum, Guru Amin ternyata merupakan keturunan Pangeran Sanghyang bin Pangeran Senopati Ing Ngalaga. Pangeran Sanghyang dalam catatan Sayyid Bahruddin Azmatkhan adalah keturunan langsung dari Fattahillah Sang Pendiri dan Pahlawan Kota Jayakarta (kini Jakarta), disamping itu dalam darah ayahnya juga mengalir darah Pajajaran. Keluarga besar Jatinegara Kaum Jakarta Timur adalah merupakan keluarga pejuang, sehingga sangat wajar jika seorang Guru Amin mempunyai watak seperti itu. Berdasarkan keterangan ini jadi jelas bahwa Guru Amin adalah keturunan Fattahillah yang merupakan pejuang sejati dan Pendiri Kota Jakarta. GURU AMIN ADALAH KETURUNAN TULEN FATTAHILLAH! Guru Amin adalah seorang Azmatkhan Al Husaini!, jelas beliau ini  adalah seorang Ahlul Bait. Darah juangnya adalah darah keluarga besar Walisongo dan juga Azmatkhan yang sejak dulu paling militan dalam melawan penjajah kafir, mulai dari Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, sampai Jepang, keluarga besar Azmatkhan tidak pernah berhenti untuk berjihad.  Nasab Guru Amin membuktikan jika Fattahillah telah banyak menurunkan pejuang-pejuang di Betawi ini. Guru Amin adalah salah satu permata dari Fattahillah, karena perlawanan heroiknya telah banyak membuat orang berdecak kagum. Macan tetaplah menurunkan macan, tidak pernah dalam sejarahnya Macan menurunkan Kambing. Guru Amin adalah MACAN SEJATI DARI BETAWIdan dia adalah seorang AZMATKHAN AL HUSAINI, DIA ADALAH PERMATA KELUARGA BESAR WALISONGO.....

Sumber :

Ahmad Fadli (2010). Ulama Betawi - Studi tentang jaringan ulama Betawi dan kontribusinya terhadap perkembangan Islam abad ke-19 dan 20. Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press.

Sayyid Bahruddin Azmatkhan & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan (2013). Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, Penerbit Majelis Dakwah Walisongo, Jakarta

Robert Cribb (2010). Para Jago Dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945 – 1949. Beji Depok: Masup Jakarta.

NARA SUMBER 

1. Hajjah Darjah binti Guru Amin, Tanggal 28 November 2013, Bakda Magrib, di kediaman beliau Kalibata Jakarta Selatan.
2. KH Drs. Hasbullah Amin bin Guru Amin, Tanggal 9 Desember 2013, Bakda Magrib, di kediaman beliau Jambul Cililitan Jakarta Selatan.