Senin, 23 Februari 2015

RAHASIA HARI LAHIR KOTA JAKARTA BERDASARKAN KITAB AL FATAWI & SUMBANGSIH FATTAHILLAH TERHADAP BERDIRINYA NEGERI FATHAN MUBINA

"SPIRIT PERAYAAN AKBAR MAULID NABI MUHAMMAD SAW 12 ROBIUL AWAL 933 H DALAM MEMENANGKAN PERTEMPURAN JIHAD MELAWAN PORTUGIS  &  HARI SUCI UMAT ISLAM 1 SYAWAL 946 H SEBAGAI INSPIRASI BAGI SANG LEGENDA DALAM MENDIRIKAN NEGERI FATHAN MUBINA...."

Pada tanggal 8 & 9 Desember 2014 yang lalu disebuah hotel Jakarta (kalau tidak salah hotel Amazing) di daerah Gondangdia telah berlangsung sebuah acara seminar tentang hari lahirnya sejarah kota Jakarta. Saya sendiri dalam acara itu tidak bisa datang karena harus melaksanakan tugas bekerja. Sebenarnya saya sangat menyayangkan tidak bisa datang ke acara yang cukup penting ini. Namun apa daya pekerjaan saat itu tidak bisa ditinggalkan.

Menurut Informasi yang saya dapati dalam seminar kali ini, salah satu topik yang  diangkat adalah mengenai hari lahir kota Jakarta. Menurut  salah satu fihak yang mengadakan acara ini, hari jadi kota Jakarta yang jatuh pada tanggal 22 Juni 1527 sarat dengan muatan politis dan perlu dikaji ulang kembali. Sebenarnya kalau kita mau membaca ulang, tema yang satu ini sudah pernah diangkat beberapa tahun yang lalu dan kini untuk yang kesekian kalinya hal itu muncul kembali.

Saya sendiri sebenarnya pernah menulis tema yang satu ini pada buku yang saya tulis dan saya beri  judul Fattahillah MujahidAgung Pendiri Kota Jayakarta (sampai sekarang buku ini masih terus saya update). Didalam tulisan saya ini, saya bahkan menuliskan beberapa kronologis munculnya tanggal 22 Juni 1527 M. Harus diakui memang muatan politis munculnya tanggal 22 Juni tersebut ini sangat kental. Namun kita juga harus arif dalam memahami kondisi perpolitikan pada saat itu, baik itu antara pemerintah pusat maupun daerah. Tentu keputusan bersama dengan ditetapkannya tanggal dan tahun tersebut di tahun 1955 Masehi oleh beberapa pejabat politik saat itu sudah melalui kajian yang panjang dan melelahkan. Tentu tidak mudah menentukan hal seperti ini, perdebatan demi perdebatan, polemik demi polemik terjadi baik antara sejarawan maupun beberapa tokoh politik hingga akhirnya kemudian muncul sebuah “kesepakatan” bahwa tanggal 22 Juni 1527 adalah hari lahirnya Kota Jakarta.

Acara seminar tersebut yang mengadakan adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan bersama dengan salah satu budayawan nyentrik yaitu Ridwan Saidi. Beberapa pembicaranya bahkan saya lihat banyak orang-orang yang berkompeten dalam membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan tentang Jakarta dan Betawi, mulai dari budaya, kuliner, sejarah, dll. Dapat dikatakan seminar kali ini adalah seminar yang digarap secara serius.

Tema yang berkaitan dengan hari jadi Kota Jakarta adalah tema yang cukup “panas” dan menarik bagi sejarawan Jakarta. Kenapa saya katakan panas? karena ujung dari perdebatan hari jadi kota Jayakarta ini nantinya akan merembet kepada sosok Pendiri Kota tersebut yaitu Al Haj Fattahillah Azmatkhan Al Husaini. Membicarakan tentang Sejarah Jayakarta tentu tidak akan bisa dilepaskan dari sosok Fattahillah. Dialah yang menjadi tulang punggung berdirinya kota yang cukup legendaris ini.

Sayangnya sosok beliau yang merupakan pahlawan besar Jayakarta, kini ada yang mulai menggugat. Tidak tanggung tanggung yang menggugat adalah Babe kita Ridwan Saidi. Sebagai seorang sejarawan dan budayawan Betawi yang cukup”karatan” Babe Ridwan Saidi tidak ada habis-habisnya “menghajar” sosok Fattahillah. Beberapa data “gugatan” beliau tentang Fattahillah cukup banyak saya simpan. Beberapa pernyataan beliau itu terus saya pelajari dan saya analisa dalam kacamata sejarah dan juga Ilmu Nasab.

Adanya pernyataan tentang minornya seorang Fattahillah tentu akhirnya berimbas kepada yang lain, tidak jarang ternyata banyak juga yang mempercayai pernyataan sefihak tersebut. Padahal beberapa sumber yang dipakai dalam menilai Fattahillah kebanyakan berasal dari tulisan-tulisan Portugis seperti J D Barros dan De Couto dan naskah-naskah yang masih kontroversi.

Sebenarnya masalah polemik tentang Fattahillah yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, saya anggap sebagai bagian dinamika dalam ilmu sejarah. Polemik Fattahillah bahkan juga pernah menjadi pembahasan sejarawan Jakarta. Sayangnya beberapa orang yang membahas tentang Fattahillah tidak tuntas meneliti seorang Fattahillah terutama jalur Nasabnya, padahal jalur yang satu ini adalah jalur penting dalam penelitian seorang tokoh.

Sebenarnya bagi saya pro dan kontra itu adalah hal yang biasa dalam ilmu pengetahuan, saya sendiri sangat kritis sejak dahulu, bahkan sejak tahun 1998 saya sudah mulai kritis dan itu saya pertahankan sampai sekarang, jadi hal-hal seperti ini sebenarnya sangat “nikmat” kalau kita bisa memahaminya secara baik dan benar, tidak nikmat rasanya jika ilmu pengetahuan itu tidak didiskusikan dan dikaji, namun demikian untuk kali ini hati sangat tersentak begitu saya membaca beberapa pernyataan Babe kita yang mengatakan bahwa Fattahillah adalah seorang pembunuh bagi orang Betawi. Fattahillah adalah “Raja Tega” karena sudah membunuh 3000 orang Betawi pada peristiwa di tahun 1527 M. Beliau dicap sebagai pembunuh, perampok dan “jagal’” bagi orang Betawi. Julukan SOLDIER FORTUNEdan SI PEMBAWA AMARAH bahkan berapa kali saya dapati pada beberapa bukunya dan pernyataannya. Jelas ini adalah pembunuhan karakter bagi seorang Fattahillah.

Terus terang dengan adanya pernyataan sefihak seperti ini ada beberapa  keturunan Fattahillah yang menghubungi saya agar segera membuat sebuah tulisan yang kiranya bisa memberikan atau mengimbangi tulisan Babe kita itu. Mereka beberapa Dzurriyah Fattahillah sebenarnya meradang, namun mereka juga tidak ingin permasalahan seperti ini jadi besar, karena bagi Dzuriyyah Fattahillah mereka lebih mencintai silaturahim ketimbang berkonflik. Biar bagaimanapun juga Babe Ridwan adalah orangtua yang harus kiita hormati, terlepas bagaimana pendapat dia terhadap Fattahillah, kita doakan saja semoga beliau lebih terbuka terhadap hal ini.

Sebenarnya klarifikasi tuduhan terhadap Fattahillah pernah saya tulis, dan jawaban saya disitu sudah cukup jelas. Oleh karena itu bagi mereka yang ingin tahu tentang tulisan tersebut silahkan dilihat diblog yang saya buat dan juga catatan pribadi saya di facebook. Sedangkan untuk penulisan kali ini saya ingin fokus tentang masalah HARI LAHIRNYA KOTA JAKARTA dan SUMBANGSIH FATTAHILLAH terhadap kota Mujahidin ini.Tulisan ini juga sebagai jawaban kepada beberapa fihak yang menanyakan kepada saya tentang kapan sebenarnya hari lahir kota Jakarta itu. Beberapa sahabat saya dari Rawa Belong bahkan sempat “mengeluh” ketika ditanyakan masalah yang satu ini. Mereka meminta kepada saya agar segera melihat KITAB AL FATAWI demi untuk mengetahui kapan sebenarnya hari lahir Jakarta itu. Mau tidak mau sayapun harus membuka kitab tua ini dengan dibantu kaca pembesar.

Permasalahan yang menyangkut urusan penetapan waktu itu memang tidak semudah yang dibayangkan, apalagi tahun yang digunakan selama ini bervariasi, ada tahun Masehi, Hijriah, China bahkan tahun Saka (Jawa). Semua mempunyai metode dan cara masing-masing, dan jangan lupa metode-metode seperti penanggalan tersebut sudah berlangsung ribuan tahun, semua ada keunggulan dan juga ada titik lemahnya. Seorang sejarawan atau ahli nasab memang sebaiknya juga berkutat dan mengetahui dunia seperti ini. Adanya kasus dan kesimpangsiuran penanggalan pada peristiwa “DIAMBIL ALIHNYA KRATON SUNDA KELAPA DAN PELABUHANNYA (saya menulis kata-kata “diambilalih” bukan direbut, karena fakta terbaru dalam kitab Al Fatawi penguasa Sunda Kelapa memberikan wilayah tersebut dengan suka rela) sebaiknya memang perlu dikaji ulang, apakah ada peluang lain dalam menetapkan tanggal tersebut. Memang penulisan tanggal dan tahun pada sejarah bangsa kita masih sangat memprihatinkan. Sejarah Nusantara  yang pada masa itu didominasi pemerintahannya dipulau Jawa, lebih banyak literaturnya dari daerah ini. Padahal untuk mengungkap misteri sejarah, tanggal dan tahun sangatlah penting untuk diketahui. Menurut Muhammad Hasan Al-Aydrus (dalam Alwi bin Thohir Alhaddad, 1996:45) mengatakan bahwa rahasia (kunci) kesalahan (maksudnya sejarah) bahwasanya orang-orang Jawa tidak mempunyai penanggalan tahunan yang tepatsebelum masuknya Islam dan sesungguhnya hal itu terjadi jauh setelah itu dan dimasukan pada kejadian kejadian dalam sejarah!

Adanya penanggalan yang kacau pada tahun Jawa ini menyebabkan banyak kejadian  kejadian sejarah yang saling bertabrakan secara kronologis antara satu dengan yang lain. Padahal untuk menyatakan sebuah kronologis waktu itu tidak bisa diambil hanya berdasarkan informasi dari sejarah dan budaya Jawa saja. Seharusnya untuk menjadikan data penanggalan itu shohih, harus juga  dilihat, dibandingkan atau dicocokkan dengan wilayah yang lain  terutama mengenai  kronologis sejarah penyebaran Islam, khususnya pada saat tersebarnya Islam di Asia Tenggara  seperti daerah Sulu & Mindanau (Philipina), Brunei, Pasai (Aceh), Malaka (Malaysia), Patani (Thailand), Champa (Kamboja). Dengan mencocokkan data-data tanggal, tahun, tempat setiap kejadian sejarah dengan negara-negara tersebut.Dengan adanya data silang tersebut maka kesalahan penanggalan Jawa bisa dicegah dan direvisi dengan memakai sistem penanggalan Islam. Muhammad Hasan Alaydrus (1996:46) juga menambahkan bahwa salah satu contoh nyata dalam kacau dan ruwetnya penanggalan Jawa adalah ketika RADEN FATTAH (SULTAN ABDUL FATTAH/SULTAN DEMAK I) yang ditulis dan dilahirkan kurang lebih pada tahun 1313 tahun  Jawa dan mengalahkan “ayahnya?” yang memerintah Majapahit dan menyingkirkannya pada tahun 1402 tahun jawa. Maka usia Raden Fattah ketika itu 89 tahun, maka berapa usia “ayahnya” ketika itu?. Kesemuanya itu dan lain-lainnya membuktikan bahwa penanggalan tersebut dibuat buat, dimasukkan dan ditambahkan begitu saja pada peristiwa peristiwa sejarah...Lihat !betapa mengerikannya sistem penanggalan saat itu. Tidak usah heran sampai sekarang penanggalan yang dilakukan dengan metode penanggalan Jawa pada masa itu  sangat berakibat kacaunya kronologis sejarah bangsa kita hingga sekarang.

Sejarah yang model seperti ini, seharusnya sudah kita tinggalkan, untuk apa kita mengikuti  dan mempercayai 100 % sejarah yang dibuat pihak penjajah kolonial dan sumber sumber yang masih kontroversial. Sudah waktunya kita menjadikan diri kita untuk tidak terbelenggu dengan kajian kajian teori seperti ini. Masih banyak ulama-ulama kita yang kemampuannya lebih baik dalam mengkaji permasalahan seperti ini. Masih banyak ulama ulama kita yang dalam menyampaikan teorinya dilandasi dengan etika tulisan dan lisan yang bermartabat, ketimbang mengatakan bahkan menghina seseorang itu sebagai Perampok dan pembunuh,padahal orang dihina itu adalah, Waliyullah, Ulama dan Pejuang yang berjasa dalam sebuah Kota yang berperadaban Islam. Jika ada pertanyaan, kalau begitu kita mencari sumber sejarah darimana?  Sebaiknya anda memahami ilmu pengetahuan itu jangan terlalu  sempit, ilmu itu tidak ada tepiannya, cari, kaji dan teliti!, masih banyak ilmu ilmu yang bertebaran dimuka bumi ini.

Kita harus teliti dan detail dalam menyikapi kasus terjadinya kontroversi tersebut, contohnya misalnya apakah kita otomatis langsung yakin bahwa paska pertempuran yang katanya tanggal 22 Juni 1527 Masehi itu secara otomatis kota Jayakarta langsung segera didirikan dengan nama Jayakarta? Atau misalnya setelah paska pertempuran tersebut ada jeda waktu sekian lama setelah itu baru nama Jayakarta muncul? Perlu kajian yang terbuka dan mendalam dengan adanya kasus penetapan  tanggal dan tahun dari sebuah peristiwa. Yang pasti untuk menentukan tanggal dan tahun pada sebuah peristiwa peran serta seorang ulama Ahli Falak jelas sangat dibutuhkan. Karena tingkat akurasi mereka dalam menentukan sebuah tanggal, hari dan tahun Insya Allah bisa dipertanggungjawabkan, seperti dahulu pada masa Guru Mansur Sawah Lio.

Dalam data kitab AL FATAWI khususnya Kitab Silsilah Syar’i (Silsilah Keluarga Besar Jayakarta) Halaman 39yang ditulis oleh KH RATU BAGUS AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMApada HARI JUMAT KLIWON TANGGAL 8 MAULID/Rabiul Awal TAHUN 1328 HIJRIAH atau 20 Maret 1910 Hari MINGGU PAHINGadalah sebagai berikut:

Al Haj Fattahillah pada masa mendapatkan kemenangan dalam menggempur Armada Portugi. Secara resmi kemenangan itu tertulis tanggal 1 Syawal 946 Hijriah. Setelah kemenangan itu Al Haj Fattahillah berdoa kepada Allah SWT, untuk meminta ilham. Al Haj Fattahillah kemudian membuka Al Qur’an. Beliau kemudian membaca Surat Al Fatehah kemudian dilanjutkan dengan membaca Surat Yaasin. Setelah itu beliau mendapatkan Ilham agar membaca Surat Al Fath. Tatkala beliau baru membaca satu ayat yang pertama, terdengar oleh beliau suara beduk dipukul yang tandanya pada malam takbir dan waktu Subuh juga sudah masuk. Fattahillah berhenti membaca ayat yang ke satu itu  yang berbunyi: INNA FATAHNA LAKA FATHAN MUBINA yang artinya SESUNGGUHNYA ALLAH TELAH MEMBERIKAN KEMENANGAN KEPADAMU HAI UMMAT NABI MUHAMMAD SAW YAKNI “Fathan Mubina” atau “Kemenangan Yang Sempurna.

Maka mulai hari itu tanggal 1 SYAWAL TAHUN 946 HIJRIAH, Sesudah SHOLAT IDULFITRIsecara resmi diumumkanlah nama negeri baru Sunda Kelapa itu dengan nama FATHAN MUBINA = KEMENANGAN YANG SEMPURNA.

Selanjutnya Oleh Al Hajj Fattahillah mengucapkan perlambang atas kemenangan yang sempurna dengan kata-kata AKIBATAN ALKHAIRI SALAMATUL IMAN yang artinya AKIBAT KEBAIKAN MENYELAMATKAN IMAN.

Didalam Kitab Al Fatawi lain yaitu (Bab Suratul Fatawi) Halaman 19 yang berjudul NEGERI JAYAKARTA yang juga ditulis oleh KH RATU BAGUS AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA  pada bulan Maulid di Jayakarta Tahun 1328 HIJRIAH/Maret 1910 Masehi. tercatat bahwa Negeri Jayakarta didirikan atau diproklamasikan secara resmi pada tanggal 1 Syawal 946 Hijriah.

Didalam Kitab Wangsa Aria Jipang Halaman 36 Tahun 1986 yang juga ditulis oleh Tim Keluarga Besar Keturunan Aria Jipang dibawah Koordinator RATU BAGUS GUNAWAN MERTAKUSUMA. Fattahillah adalah merupakan Imam Agung & Wali Kesultanan Demak III, beliau bertugas dari tahun 1527 s/d 1530 dengan melakukan berbagai hal :
  • Konsolidasi
  • Reorganisasi
  • Pembinaaan Personalia
  • Wali Allah/Sunan Gunung Jati II
Setelah saya membaca ketiga kitab ini, kemudian saya juga membuka catatan-catatan lama yang dibuat oleh cucu dari KH RATU BAGUS AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMA yang bermama RATU BAGUS GUNAWAN SEMAUN MERTAKUSUMA. Dalam Catatan dan Riwayat Hidup Babe Gunawan Semaun Mertakusuma Halaman 136 tanggal 15 September 1982 Masehi, tercatat bahwa Fattahillah mendirikan Kota Jayakarta pada tanggal 1 Syawal 946 Hijriah. Jayakarta didirikan oleh para Pejuang  bangsa Nusantara dibawah pimpinan Al Haj Fattahillah.

Buku Babe Gunawan Semaun Mertakusuma yang berjudul KITAB PETUNJUK DISIPLIN ILMU ADAT Halaman 57 tanggal 9 November 1991 M juga menulis bahwa Jayakarta didirikan pada tahun 946 Hijriah.

Saya sebelumnya sama sekali belum membuka dua buku terakhir, sekalipun kedua buku terakhir itu juga tidak kalah pentingnya dengan kitab Al Fatawi karena merupakan Inti Sari dari Kitab Al Fatawi, saya mencoba untuk menggali secara langsung dari kitab Al Fatawi agar lebih alami dan “berkeringat”dalam mendapatkan hasil, sehingga akhirnya saya lebih fokus dengan kitab Al Fatawi Bahasa Arab Melayu Gundul itu. Penggalian langsung pada kitab Al Fatawi jadi membuat saya berlatih untuk meneliti sumber utama. Apalagi kedua kitab Al Fatawi itu sudah tua usianya, dan ini membuktikan tulisan tersebut tidak mendapatkan pengaruh dari hasil keputusan politik penetapan tanggal 22 Juni 1955 yang dijadikan hari lahir kota Jakarta..

Data dikitab Al Fatawi sebenarnya sangat lengkap, detail dan kronologis mengenai sejarah Al Haj Fattahillah serta pertempurannya dengan Pasukan Portugis. Adanya data kitab Al Fatawi sekaligus membantah jika ada fihak yang mengatakan bahwa tidak ada pertempuran antara Portugis dan pasukan Fattahillah, jelas pernyataan ini tidak benar. Sebagai bukti, jika anda tidak percaya silahkan datangi Keraton Cirebon Jawa Barat yang didalam museumnya masih menyimpan baju baju perang Portugis serta senjata-senjata mereka yang dirampas oleh Pasukan Mujahidin yang dipimpin oleh Fattahillah. Saya sendiri sudah melihatnya langsung pakaian-pakaian Portugis tersebut.

Dari Konversi tanggal hari dan tahun dari Hijriah ke Masehi yang menggunakan Software milik Departemen Agama (lihat di; http://efalak.kemenag.go.id/KonversiKalender.aspx) ,sementara yang saya dapati bahwa terdapat fakta bahwa tanggal 1 Syawal tahun 946 Hijriah yang merupakan hari jadi Kota Jayakarta itu, ternyata jatuh pada HARI SENIN PON TANGGAL 9 FEBRUARI 1540 MASEHI!. Sangat jauh sekali dengan perayaan HARI JADI KOTA JAKARTA TANGGAL 22 JUNI 1527 yang bila dikonversikan jatuh pada HARI SABTU PON TANGGAL 22 RAMADHAN 933 HIJRIAH.

Lho kalau begitu Kitab Al Fatawi salah dong??? Kok tidak sesuai dengan catatan Portugis??? Ah nanti dulu.......saya belum menulis secara utuh isi dari kitab tersebut. Kita harus ingat sekalipun kitab Al Fatawi ini bukan Al Qur’an atau Hadist atau kitab-kitab yang mu’tabar sehingga mungkin saja dikitab Al Fatawi  terdapat beberapa kesalahan, yang jelas dan perlu kita ketahui bahwa pembuat kitab ini adalah seorang Ulama  lulusan Mekkah, Sufi, Penulis Sejarah dan Silsilah Jayakarta, Intelektual Betawi pada masa itu, Pejuang Jayakarta, dan juga merupakan Pendekar Betawi pada masa lalu (beliau salah satu dedengkot Pitung). Kredibilitas dan moral beliau lebih bisa terjaga  ketimbang penulis-penulis kolonial baik yang dari Portugis ataupun Belanda. Sekalipun  suatu saat ada kesalahan, itu adalah hal yang manusiawi dan tidak perlu dibesar-besarkan. Dan perlu juga kita ketahui Kitab Al Fatawi ini ternyata juga pernah diambil kutipan sejarahnya oleh Dr. Uka Candrasasmita yang merupakan ahli sejarah Islam terutama saat beliau menuliskan sejarah Jayakarta, itu terjadi pada saat kitab ini sempat dipegang oleh salah satu fihak dari Museum Sejarah Jakarta ditahun 1970 dan ini tercatat didalam biografi Babe Gunawan Mertakusuma.

Adapun jawaban tentang kapan pertempuran antara Portugis dan Pasukan Kesultanan Demak itu terjadi ada di halaman yang sama khususnya Kitab Silsilah Syar’i (Silsilah Keluarga Besar Jayakarta) Halaman 39 paragraf ke 3 dan Halaman 41 yang ditulis oleh KH RATU BAGUS AHMAD SYAR’I MERTAKUSUMApada HARI JUMAT KLIWON TANGGAL 8 MAULID/Rabiul Awal TAHUN 1328 HIJRIAH, disitu tertulis tentang bagaimana kronologis perang lautan antara Kesultanan Demak dan Portugis yaitu :

PERANG LAUTAN : Keberangkatan Armada Kesultanan Demak dibawah pimpinan Al Haj Fattahillah pada malam hari sesudah melakukan PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW TANGGL 12 ROBIUL AWAL TAHUN 933 HIJRIAH. Pada masa itu musim hujan sudah tiba, Armada Kesultanan Demak terdiri dari 69 kapal. Sampai pada pelabuhan Jayapati pada akhir bulan akhir bulan Maulid (tanggal 30 Rabiul Awal Hari Jumat).Sebanyak 69 kapal itu dibagi menjadi 3 kelompok, sebanyak 10 kapal berlabuh di Pulau Seribu, sebanyak 30 Kapal berlabuh di Dermaga Marunda. Sebanyak 50 kapal kemudian menyerang kapal-kapal Portugis. Dari sebegitu banyak kapal-kapal Portugis, hanya ada satu kapal yang selamat dan mampu meloloskan diri ke arah lautan lepas. Kapal-kapal Armada yang menyerbu ke arah Jayapati (Japat) dipimpin oleh Fattahillah.

Kalau pasukan Fattahillah tiba pada akhir Bulan Rabiul Awal (tanggal 29 atau 30) tahun 933 Hijriah, itu berarti kejadian peperangan tersebut jika dikonversikan dalam tahun dan bulan Hijriah ke Masehi seperti yang terdapat di http://efalak.kemenag.go.id /Konversi Kalender.aspx jatuh pada tanggal 3 Januari Hari Kamis Pon  atau Hari Jumat Wage Tanggal 4 Januari 1527 M. Adapun posisi PELABUHAN JAYAPATI  seperti yang terdapat di Kitab Wangsa Aria Jipang Jayakarta pada halaman 19 posisinya berada “Muara Kali Ciliwung” tepatnya dibagian Barat Utara (kini menjadi Pasar Ikan). Orang Belanda menyebut JAYAPATI dengan JAGPUAD 

Dari data diatas bisa kita ambil kesimpulan :
  1. Pasukan Kesultanan Demak dengan pimpinannya Al Haj Fattahillah Al Azmatkhan Ba’alawy Al Husaini berangkat tanggal 12 Robiul Awal Tahun 933 Hijriah atau hari Senin Legi, tanggal 16 Desember 1526 M.
  2. Saat tiba di Sunda Kelapa seluruh pasukan Kesultanan Demak yang dipimpin Al Haj Fattahillah tiba pada akhir bulan Rabiul Awal antara tanggal 29 (hari kamis) atau 30 (hari Jumat) tahun 993 H yang jika dikonversikan menjadi tanggal 3 atau 4 Januari 1527 M dan  kemudian terjadilah perang lautan yang sangat dahsyat.
  3. Diresmikannya nama Fathan Mubina itu menggantikan nama Sunda Kelapa pada tanggal 1 Syawal 933 H atau bertepatan dengan Hari Senin Pon tanggal 9 Februari 1540 M.
Mari kita kaji bersama-sama……

Tibanya Fattahillah pada tahun 1527 M  yang berdasarkan Kitab Al Fatawi ternyata cocok dengan data-data yang selama ini kita ketahui. Dalam buku Sejarah Banten yang ditulis oleh Claude Guillot juga telah memberikan fakta tentang kapan terjadinya peristiwa terjadinya penahlukkan  Fatahillah terhadap Sunda Kelapa. Secara cerdas Guillot (2008:59–61) yang merangkum semua data-data dari Portugis dan juga Banten, serta Jayakarta pada periode tahun 1521 -1527 Masehi  menyimpulkan sebagai berikut :

“Ada kerajaan yang disebut  Pajajaran dengan ibukota yang terletak di Pakuan, kerajaan itu mempunyai dua pelabuhan besar, Banten dan Kelapa. Banten beribukota Banten Girang, sedangkan Kelapa merupakan pelabuhan utama dari bagian inti kerajaan Pajajaran. Kerajaan Banten memanfaatkan kemerosotan kekuasaan Pakuan untuk melepaskan diri kekuasaan Pajajaran, yang kemudian hanya  tinggal sebutannya saja.

Pada tahun 1521 Masehi pemerintah Banten  meminta bantuan Portugis di Malaka, dengan menggunakan jaringan orang-orang Keling (Babe Ridwan mengatakan Wak Item) yang mempunyai pengaruh besar Di Malaka dan banten. Tahun 1522 Masehi orang Portugis diizinkan untuk membangun sebuah benteng dimuara Sungai Cisadane untuk menjaga perbatasan Timur “negeri”, karena bahayanya  tentu datang dari Timur. Satu atau dua tahun kemudian, penguasa Demak (Sultan Trenggono) mengirim seorang Ulama, “Sunan Gunung Jati” dan putranya Sultan Hasanudin ke Banten Girang yang sangat mungkin merupakan ibukota “negeri” yang paling penting. Keberadaan kedua tokoh tersebut dalam pergerakannya berhasil memanfaatkan situasi dengan meninggalnya “raja” banten (mungkin Pucuk Umun) yang telah meminta bantuan Portugis untuk merebut pelabuhan banten. Ketika Duarte Coelho tiba dipelabuhan tersebut pada bulan Desember 1526 atau Januari 1527, pelabuhan tersebut sudah dikuasai tentara Islam, yang kemudian mencoba merebut “Ibukota” Banten Girang, kurang lebih enam bulan kemudian pada bulan Juli 1527 (dalam akte notaries yang tersimpan di Portugis tanggal 29 Juli 1527), Fransisco de Sa tiba pula di Banten dan mengirimkan satu utusan untuk menghadap para penguasa Banten yang baru, yang tentu saja tidak takut  pada Demak. Sebenarnya “raja” Banten yang baru adalah saudara ipar Raja Demak.Sudah barang tentu pihak Banten menolak pembangunan benteng yang dimaksud. Sementara, orang Portugis tetap ingin membangunnya  dengan pertimbangan bahwa benteng tersebut akan mampu melindungi kepentingan ekonomi mereka terhadap orang Spanyol, yang sedang menuju ke Nusantara dengan mengikuti jalan yang pernah dilewati oleh kumpulan kapal Magellan, dan yang mengincar lada  di Sunda. Oleh karena itu, pasukan Portugis mencoba menyerang didarat, namun jumlah korban yang besar memaksa mereka mundur. Pastinya dengan kekecewaan, Fransisco De Sa pergi ketempat yang semula dipersiapkan untuk pembangunan Benteng, dan mendudukinya secara simbolis dengan mendirikan sebuah Padrao. Dua minggu kemudian ia kembali berada dekat Banten, dan bertemu dengan Syahbandar yang pernah mengadakan perjajian dengan Leme (orang yang melakukan perjanjian dengan pihak pejajaran). Keadaan dipelabuhan masih kacau  dan jung-jung China terpaksa memuat lada jauh diteluk Banten.  De Sa pada bulan Agustus  (tepatnya tanggal 13 Agustus  1527) mendirikan Padrao lain di Tanjung (Tanjung Pujut sekarang) sebelah barat Banten, kemudian berangkat lagi ke malaka dan tiba disana tanggal 7 September 1527 Masehi.

Fakta diatas memiliki persamaan diantaranya !
  1. Adanya persamaan waktu yang sama antara Desember 1526 dan Januari 1527 Masehi dengan bertemunya kekuatan Fattahillah dengan Portugis. Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa itu terjadi di Banten, perlu diketahui bawah tulisan Guilot ini yang diatas ini dalam rangka mencari letak Sunda Kelapa yang sebenarnya, sehingga hipotesis beliau terutama tentang letak Ibukota Banten girang bisa saja berubah jika ada fakta baru. Bagi saya sendiri jika Guilot mengatakan itu di Banten Girang, mungkin saja itu benar, tapi tidak lama dari kemenangan di Banten ini,  kemudian pasukan Islam segera bergerak cepat menuju Sunda Kelapa untuk menutup ruang gerak Portugis yang akan mengambil alih Sunda Kelapa, dan berdasarkan waktu tempuh sangatlah logis jika dari Banten ke Sunda Kelapa yang ada di Marunda dan Pasar Ikan itu ditempuh dengan waktu yang singkat, apalagi pasukan Fattahillah sangat menguasai medan lautan ditambah kapal-kapal yang digunakan adalah kapal kapal lincah dan cepat, dan itu dalam logika saya masih masuk dibulan Robiul Awal 933 Hijriah. Lagipula spirit pertempuran ini sangat diilhami dengan adanyaPERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW, sama persis ketika Shalahuddin Al Ayyubi mengangkat moral pasukan Islam perang salib dengan SPIRIT PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.
  2. Telah terjadi pertempuan antara Portugis dan Pasukan Kesultanan Demak, jadi sangat tidak masuk akal jika ada yang mengatakan tidak ada pertempuran antara Pasukan Islam dan pasukan Portugis.
Sudah jelas pertempuran ini memang terjadi dimana  salah satu spiritnya adalah dengan adanya perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Diambil alihnya Sunda Kelapa jelas motif utamanya adalah Mempertahankan Kehormatan Islam!. Tidak benar jika motif utamanya hanya perekonomian belaka seperti yang ditulis oleh Babe kita itu. Faktor ekonomi memang penting, tapi jauh lebih penting adalah masa depan Islam di Nusantara, terbayangkah bagaimana nasib Jakarta jika Portugis jadi bercokol ? (silahkan pelajari bagaimana sejarah mereka sewaktu di Maluku dan Malaka). Motif utama Fattahillah dan keluarga besar Kesultanan Demak itu adalah untuk Dakwah Islamiah. Dibalik pergerakan Fattahillah dan Kesultanan Demak itu adalah Majelis Dakwah Walisongo, jadi salah besar jika ada tuduhan bahwa motif utama Fattahillah adalah perekonomian belaka. Dalam konsep dakwah Islamiah memang ekonomi juga merupakan faktor penting, namun dia berada di urutan kesekian. Yang jelas memang banyak faktor dalam mengambil alih kekuasaan di Kraton Sunda Kelapa, Bahkan kalau mau jujur Sunda Kelapa sebenarnya bukan ditahlukkan justru diislamkan dengan cara damai. Adapun motif Fattahillah dan Kesultanan Demak adalah sebagai berikut:
  1. Melakukan Dakwah Islamiah. Salah satu tujuan utama dalam diambil alihnya Sunda Kelapa adalah untuk kepentingan Dakwah Islamiah. Dalam sejarah Keluarga Besar Walisongo yang namanya peperangan selalu dihindari, jika terjadi peperangan itu biasanya adalah untuk mempertahankan diri dan juga menegakkan kehormatan agama Islam yang akan diinjak injak oleh kaum munafikun dan kafir penjajah. Sunda Kelapa jelas adalah wilayah Strategis, ini adalah pintu masuknya bangsa Asing diwilayah Jawa bagian Barat.Oleh karena itu masuk akal sekali jika wilayah ini menjadi prioritas Kesultanan Demak setelah Malaka dan Pasai berhasil dicaplok Portugis.
  2. Membendung kekuatan Asing yang akan menjajah Nusantara. Sudah bukan rahasia lagi jika pasca perang Salib, daerah yang paling diincar untuk dijajah adalah kawasan Asia Tenggara dan Asia lainnya. Dan ini tertulis jelas dalam buku Api Sejarah yang ditulis oleh As-Syekh Prof.Dr Ahmad Mansur Suryanegara, Guru Besar Sejarah Universitas Pajajaran (beliau sudah saya anggap sebagai guru saya).
  3. Mematahkan kerjasama antara Sebagian fihak Pajajaran dan Portugis. Perlu diketahui bahwa pada saat terjadi perjanjian antara Portugis dengan Pajajaran yang dilakukan tahun 1522 dengan ditandai dengan adanya Batu Padrao (batu ini tersimpan di Museum Nasional), sebagian fihak Kraton Sunda Kelapa yang sudah muslim menolak keras perjanjian ini, sehingga pada saat itu posisi Kraton Sunda Kelapa terpecah menjadi dua kubu, kubu pertama adalah beberapa bangsawan dari keluarga besar Pajajaran yang diwakili oleh Singa Menggala dan Pucuk Umun, sedangkan kubu kedua adalah keluarga besar Kesultanan Pasai yang sudah lama menetap dan berakulturasi di Sunda Kelapa serta bangsawan Pajajaran yang sudah masuk Islam. Adanya Keluarga besar Pasai yang menetap di Sunda Kelapa ini, karena mereka itu sudah lebih dahulu tinggal sebelum Sunda Kelapa direbut oleh fihak Pajajaran melalui Singa Menggala. Sebelumnya Sunda Kelapa itu berdaulat sendiri dan dikuasai oleh penguasa-penguasa yang mempunyai hubungan baik dengan keluarga besar Kesultanan Pasai. Di berikannya kekuasaan Sunda Kelapa oleh penguasanya saat itu juga atas andil mereka. Kenapa dengan Fattahillah mereka bisa langsung kompak? Ya tidak usah heran, karena Fattahillah adalah juga orang Pasai!. Polemik perjanjian Portugis dan Pajajaran itu telah memakan korban, dimana Senopati Badi Sentana dari fihak Islam terbunuh. Sejarah Kraton Sunda Kelapa memang jarang diangkat bahkan mungkin nyaris tidak ada dalam khazanah sejarah Jakarta! Orang tahunya bahwa Sunda Kelapa hanya sebuah pelabuhan dengan syahbandarnya belaka, padahal secara logika sejarah, sebuah pelabuhan besar biasanya selalu ada pusat pemerintahan yang kuat. Lihat Banten, lihat Demak, Lihat Cirebon, lihat Ternate, lihat Pasai, lihat Malaka semua pelabuhan besar dan berada dipinggir laut. Sunda Kelapa itu sebenarnya ada penguasa dan keratonnya, ini tercatat dan tertera didalam Kitab Al Fatawi, kenapa justru Sunda Kelapa ini hanya disebutkan sebagai sebuah pelabuhan belaka? Ada apa ini?. Apa karena tidak adanya situs peninggalan penguasa Sunda Kelapa lantas keberadaan mereka hilang begitu saja, padahal disisi lain para pencatat sejarah Jayakarta selalu rutin menulis sejarah Jayakarta dari masa Sunda Kelapa sampai terakhir tahun 1945.
  4. Memperkuat bidang politik dan ekonomi yang selama ini sudah semena-mena dikuasai oleh bangsa Eropa khususnya Portugis, Spanyol, Inggris dan beberapa negara penjajah lainnya. Paska direbutnya Malaka dan Pasai oleh Portugis, otomatis jalur perekonomian laut menuju Jawa dan wilayah lain jadi tersendat, karena Portugis memblokade kapal-kapal luar yang akan masuk atau keluar ke wilayah Nusantara. Monopoli perdagangan dan kekuasaan mereka terapkan kepada semua fihak. Tentu ini sangat berdampak pada wilayah lain termasuk Kesultanan Demak yang saat itu sedang melakukan pembangunan perekonomian, politik diplomasi, dll. Sistem perekonomian Portugis yang liberal dan serakah tentu sangat merugikan bangsa Indonesia, politik adu domba mereka yang mirip Belanda juga sama berbahayanya, jadi kalau mereka masuk ke Sunda Kelapa, sudah bisa dipastikan Sunda Kelapa akan dijadikan sapi perahan mereka dan ini tentu akan berdampak bagi kehidupan rakyat Sunda Kelapa dan juga wilayah-wilayah lain pada saat itu. Perlu diketahui bahwa Portugis itu masuk pada dua pintu, pintu pertama dia coba masuk lewat Pasuruan Jawa Timur, pintu gerbang kedua dia masuk lewat Sunda Kelapa, kedua-duanya berhasil dipatahkan Kesultanan Demak. Di Pasuruan mereka berhasil dihalau oleh Sultan Trenggono, Aria Jipang dan pasukan Demak, sedangkan pintu Barat oleh Pasukan Fattahillah.
Lantas bagaimana tentang Kronologis perubahan dari Sunda Kelapa ke Jayakarta?

Jika dilihat dari Kitab Al Fatawi, bahwa nama sebelum JAYAKARTA adalah FATHAN MUBINA. Dan nama FATHAN MUBINA ini baru diresmikan pada tanggal 1 Syawal 946 Hijriah, padahal Sunda Kelapa diambil alih pada tanggal 30 Rabiul Awal Tahun 933 Hijriah.

Bagaimana analisanya?

Seperti kebiasaan para ulama Walisongo dan Keluarga Besar Kesultanan Nusantara, proses sebuah penggantian nama wilayah tidaklah terburu buru dilakukan, apalagi bila melihat kondisi masyarakat dan juga para penguasanya. Para ulama terdahulu ketika ingin  menentukan sebuah nama, itu tidaklah mudah. Sekalipun peristiwa penting yang berkaitan dengan wilayah tersebut sudah berlalu, namun untuk memberikan sebuah nama baru, mereka biasanya selalu hati-hati dan dengan perhitungan yang matang.

Berkaca dari data-data diatas, pasca diambil alihnya Sunda Kelapa dalam keadaan damai, kemudian dilanjutkan dengan berhasilnya Fattahillah mengusir Portugis dari wilayah ini, dapat dikatakan nama Jayakarta belum muncul. Fattahillah rupanya masih menghargai nama yang satu ini. Ini adalah hal yang logis, karena Fattahillah adalah orang yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat setempat, termasuk pada masalah nama. Fattahillah dalam metode dakwah Islamiahnya tentu tidak jauh berbeda dengan keluarga besar Walisongo yang mengedepankan toleransi dan akulturasi budaya yang bertahap.

Fattahillah tentu tahu bahwa sekalipun banyak keluarga besar Kraton Sunda Kelapa beragama Islam, namun disisi lain masih banyak rakyat Sunda Kelapa yang beragama Hindu. Oleh karena itu demi untuk lancarnya dakwah Islamiah maka Akulturasi budaya dilakukan secara bertahap oleh Fattahillah, termasuk dalam pemberian nama baru bagi Sunda Kelapa, begitu juga mungkin Maulana Hasanuddin yang menjadi penguasa sesudahnya. Fattahillah sendiri berkuasa dari tahun 1527 s/d 1530, selebihnya beliau lebih berperan sebagai Imam Agung dan Wali Kesultanan Demak III di Jayakarta dan juga Cirebon. Nama Sunda Kelapa terus dipertahankan. Kalaupun mungkin ada yang mengatakan bahwa nama Jayakarta sudah muncul lebih awal, menurut kami itu hanya dikalangan terbatas Sunda Kelapa saja.

Nama Fathan Mubina kemudian berubah lagi dan menjadi resmi menjadi Jayakarta setelah Maulana Hasanuddin menjadi Sultan Banten ditahun 1552 Masehi. Karena dahulunya Maulana Hasanuddin pernah menjadi Penguasa Jayakarta yang pertama dengan gelar Pangeran Ratu Jayakarta I, bisa jadi dalam kurun kekuasaan beliau nama Jayakarta muncul. Kemungkinan terbesar adalah setelah beberapa tahun munculnya nama Fathan Mubina (perlu kajian mendalam lagi). Nama JAYAKARTA ini sama artinya dengan nama FATHAN MUBINA yaitu: KEMENANGAN YANG SEMPURNA. Nama Jayakarta kemudian terus dipertahankan oleh para keturunan-keturunan keluarga besar Jayakarta sampai sekarang. Maulana Hasanuddin itu sendiri berkuasa antara tahun 1530 s/d 1552. Maka  sejak beliau menjadi Sultan Banten, kekuasaan Jayakarta sudah tidak menjadi wilayah Demak ataupun Cirebon, apalagi pasca syahidnya Sultan Trenggono, wilayah Jayakarta seolah-olah menjadi kehilangan induk. Namun demikian sebelum Sultan Trenggono Syahid beliau sempat memberikan pesan kepada Fattahillah agar Jayakarta wajib terus dilindungi oleh siapaupun terutama para penguasa Islam, Sultan Trenggono ihklas jika suatu saat Kesultanan Demak tidak berkuasa lagi, namun kejayaan Jayakarta tidak boleh luntur. Wilayah Jayakarta di kemudian hari lebih condong kepada kekuasaan Banten, sekalipun demikian pemerintahan Jayakarta masih tetap independen dalam mengelola administrasinya.

GARIS KETURUNAN FATTAHILLAH

Untuk mempertegas siapa Fattahillah, inilah nasab beliau yang tercatat dalam kitab Al Mausuuah Li Ansabi Al Imam Al Husaini, halaman 258 - 270 yang disusun oleh Al Allamah As-Sayyid Bahruddin bin As-Sayyid Abdurrozaq Azmatkhan Al Hafizh & As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Hafizh (Mufti Kesultanan Palembang Darussalam).

Nasab Fattahillah jalur ayah :
  1. Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW
  2. Sayyidah Fatimah Azzahra/Al Batul
  3. Sayyidina Al Imam Husein Ash-Shibti/Abu Syuhada
  4. Sayyidina Al Imam Ali Zaenal Abidin As-Sajjad
  5. Sayyidina Al Imam Muhammad Al Baqir
  6. Sayyidina Al Imam Jakfar As-Shodiq
  7. Sayyidina Al Imam Ali Al Uraidhi
  8. Sayyidina Al Imam Muhammad An-Naqib
  9. Sayyidina Al Imam Isa Arrumi
  10. Sayyidina Al Imam Ahmad Al Muhajir
  11. Sayyidina Al Imam Ubaidhillah Shohibul Aradh
  12. Sayyidina Al Imam Alwi Mubtakir/Alwi Al Awwal
  13. Sayyidina Al Imam Muhammad Shohibus Souma’ah
  14. Sayyidina Al Imam Alwi Shohib Baitu Jubair
  15.  Sayyidina Al Imam Ali Kholi’ Qosam
  16. Sayyidina Al Imam Muhammad Shohib Marbath
  17. Sayyidina Al Imam Alwi Ammul Faqih
  18. Sayyidina Al Imam Abdul Malik Azmatkhan
  19. As-Sayyid Abdullah Amirkhan
  20. As-Sayyid Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
  21. As-Sayyid Husein Jamaluddin/Syekh Jumadhil Kubro Wajo Makasar
  22. As-Sayyid Sultan Barokat Zaenal Alam
  23. As-Sayyid Maulana Abdul Ghofur
  24. As-Sayyid Maulana Mahdhor Ibrahim Patakan/Mufti Kesultanan Pasai
  25. As-Sayyid Fattahillah/Ahmad Fathullah/Taruna Pasai/Wong Agung Pasai
Nasab Ibunda Fattahillah :
  1. Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW
  2. Sayyidah Fatimah Azzahra/Al Batul
  3. Sayyidina Al Imam Husein Ash-Shibti/Abu Syuhada
  4. Sayyidina Al Imam Ali Zaenal Abidin As-Sajjad
  5. Sayyidina Al Imam Muhammad Al Baqir
  6. Sayyidina Al Imam Jakfar As-Shodiq
  7. Sayyidina Al Imam Ali Al Uraidhi
  8. Sayyidina Al Imam Muhammad An-Naqib
  9. Sayyidina Al Imam Isa Arrumi
  10. Sayyidina Al Imam Ahmad Al Muhajir
  11. Sayyidina Al Imam Ubaidhillah Shohibul Aradh
  12. Sayyidina Al Imam Alwi Mubtakir/Alwi Al Awwal
  13. Sayyidina Al Imam Muhammad Shohibus Souma’ah
  14. Sayyidina Al Imam Alwi Shohib Baitu Jubair
  15. Sayyidina Al Imam Ali Kholi’ Qosam
  16. Sayyidina Al Imam Muhammad Shohib Marbath
  17. Sayyidina Al Imam Alwi Ammul Faqih
  18. Sayyidina Al Imam Abdul Malik Azmatkhan
  19. As-Sayyid Abdullah Amirkhan
  20. As-Sayyid Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
  21. As-Sayyid Husein Jamaluddin/Syekh Jumadhil Kubro Wajo Makasar
  22. As-Sayyid Maulana Ibrahim Zaenuddin Al Akbar Asmorokondi Tuban
  23. As-Sayyid Maulana Ishak Pasai/Penyebar Islam di Blambangan
  24. Syarifah Musalimah (adik ke 8 dari Sunan Giri)
Jadi jelaslah bahwa Fattahillah adalah keturunan asli dari keluarga besar Rasulullah SAW, data ini sekaligus untuk menjawab beberapa fihak yang pernah menanyakan kepada kami apakah benar bahwa Fattahillah itu nasabnya misterius?. Kami jawab tidak!. Nasab Fattahillah terang benderang dan sudah lama diketahui oleh beberapa ahli nasab keturunan Walisongo dan tercatat secara bersanad. Beliau leluhurnya jelas dan semua kebanyakan adalah pemimpin besar pada masanya. Dengan kita mengetahui nasab beliau ini akan semakin menjelaskan siapa sebenarnya sosok Fattahillah dan bagaimana hubungannya dengan Keluarga besar Walisongo dan juga Keluarga besar Demak, Banten, Cirebon, Pasai, Lampung, Palembang dan Jayakarta.

JALAN KELUAR  “POLEMIK” PENETAPAN  22 JUNI 1527 SEBAGAI HUT JAKARTA DAN KAITANNYA DENGAN FATAHILLAH
  1. Tim peneliti bukan hanya berasal dari Jakarta, semua pihak harus dilibatkan, karena Fatahillah bukan hanya milik Jakarta, Fatahillah milik beberapa daerah, seperti Cirebon, Banten, Pasai, Palembang, Lampung, Demak. Perlu dilibatkan sejarawan  lokal yang berasal dari daerah tersebut agar hasilnya lebih bisa diterima semua pihak, tidak boleh ada dikotomi daerah dalam memandang seorang tokoh, terutama bila bicara Sejarah Islam, tidak boleh Islam dipecah jadi “Islam Cirebon, Islam Betawi, Islam Banten, Islam Palembang, dan Islam-Islam lain, sudah tidak boleh lagi hal seperti itu. Islam adalah agama yang universal, Islam tidak mengenal akan kesukuan. Islam milik bangsa ini, Fatahillah adalah milik bangsa.
  2. Mengumpulkan kembali Arsip-arsip tentang riwayat tokoh yang terlibat dalam pengambil alihan Sunda Kelapa baik yang ada  di Jakarta maupun daerah-daerah lain.
  3. Mengkonfirmasi dan mendata semua data-data tentang Fatahillah dari mulai Pasai, Demak, Cirebon, Banten, Jayakarta.
  4. Menggunakan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan  dan direkomendasikan secara ilmiah, bertanggung jawab dan “bermoral”.
  5. Tidak menggunakan data-data kuno yang masih bersifat kontroversial, misalnya data yang pengarangnya bersifat anonim, agar hasilnya lebih bisa obyektif dan jujur.
  6. Melibatkan ahli sejarah Islam yang kredibel, berkompeten dan obyektif  serta sudah sudah teruji dari karya karyanya.
  7. Melibatkan Ulama Ahli Nasab yang bersanad kepada Rasululllah SAW untuk melacak  kronologis geneologi, kronologis sejarah, kronologis hijrah, kronologis idiologi, kronologis demografi dan juga biografi secara utuh dari para tokoh-tokoh yang bersangkutan.
  8. Melibatkan keturunan keturunan Fatahillah, serta tokoh yang pernah berjasa di Jayakarta seperti Pangeran Wijayakusuma bin Fattahillah Pangeran Ahmad Jayawikarta Jatinegara Kaum & Pangeran Sanghyang bin Pangeran Senopati Ing-Ngalaga (keturunan Fattahillah) Jatinegara Kaum, Keturunan Kesultanan Demak khususnya Wangsa Aria Jipang, Keturunan Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon< keturunan Palembang yang menguasai sejarah dan nasab tokoh-tokoh tersebut, untuk memberikan informasi yang mereka miliki.
  9. Melibatkan Ulama Ahli Falak dan Astronomi, Ahli Hisab yang terdapat diberbagai ormas Keislaman seperti MUI, DEPAG, NU, MUHAMMADIYAH dalam menentukan waktu terjadinya peristiwa berdirinya Kota Jakarta.
  10. Data yang berasal dari ilmuwan yang berasal dari penjajah kolonial agar diseleksi penggunaanya terutama jika ingin  dijadikan sebagai rujukan utama. Kita tidak anti dengan data mereka, namun kami fikir untuk lebih seleksi dan waspada terhadap karya mereka, tidaklah salah.
Wallahu A’lam Bisshowab........

SUMBER :

Al-Aydrus, Muhammad Hasan (1996). Penyebaran Islam di Asia Tenggara- Asyraf Hadramaut Dan Peranannya. Jakarta: Lentera.

Azmatkhan, As-Sayyid Bahruddin & As-Sayyid Shohibul Faroji Edisi II Vol 24 (2014), Al Mausuuah Li Ansabi Al Imam Al Husaini. Jakarta : Majelis Dakwah Walisongo

Guillot, Claude (2008). Banten-Sejarah dan Peradaban Abad Ke X – XVII. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Mertakusuma, KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i (1954).Kitab Al Fatawi (Silsilatul Syar’i, Bab Tentang Sejarah dan Silsilah Jayakarta), Palembang: Penerbit Lembaga Keadatan Jayakarta Al Fatawi.

Mertakusuma, KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i (1317 H).Kitab Al Fatawi (Bab Suratul Fatawi, Bab Tentang Riwayat Negeri Jayakarta),Palembang: Penerbit Lembaga Keadatan Jayakarta Al Fatawi.

Mertakusuma, Ratu Bagus Gunawan Semaun (1986).Kitab Wangsa Aria Jipang Jayakarta, Jakarta: Penerbit Agapress.

Mertakusuma, Ratu Bagus Gunawan Semaun (1982). Catatan-catatan Gunawan Semaun Mertakusuma dan Inti Sari Kitab Al Fatawi, Jakarta: Penerbit Yayasan Al Fatawi.

Mertakusuma, Ratu Bagus Gunawan Semaun (1992). Kitab Disiplin Adat Jayakarta,Jakarta: Yayasan Al Fatawi.