Minggu, 22 Maret 2015

MELURUSKAN NASAB MAULANA MALIK ISRAIL/ALI NURUL ALAM DI GUNUNG SANTRI CILEGON BANTEN, PELOPOR BERDIRINYA MAJELIS DAKWAH WALISONGO ANGKATAN PERTAMA BERSAMA SULTAN MUHAMMAD I TURKI USMANI

Maulana Malik Israil, sebuah nama yang mungkin asing bagi sebagian sejarawan yang menekuni Sejarah Islam di Pulau Jawa. Namun bagi mereka yang mencintai sejarah Walisongo, tentu nama yang satu ini sangatlah tidak asing bagi mereka. Mereka yang sering mempelajari sejarah Walisongo, tentu tidak akan kaget dengan nama yang satu ini, kalau masih merasa asing, berarti mereka perlu lagi memperdalam siapa siapa saja sebenarnya anggota Walisongo dari Angkatan pertama sampai angkatan ke sebelas. Bagi saya sendiri, sosok yang satu ini adalah tokoh yang menentukan sukses tidaknya dakwah keluarga besar Walisongo, terutama pada periode pertama berdirinya Majelis Dakwah Walisongo. Kenapa saya berani mengatakan demikian? karena melalui jasa beliaulah akhirnya Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki Usmani berinisiatif mendirikan Majelis Dakwah Walisongo pada tahun 1404 Masehi. Saat terbentuknya Majelis Dakwah Walisongo, Maulana Malik Israil memang sering berkunjung ke Turki yang saat itu sedang menuju kejayaan sebagai sebuah imperium Islam di Eropa.. Walaupun dalam sejarah beliau sering dianggap berasal dari Turki, sesungguhnya aslinya beliau berasal dari Patani. Turki hanyalah merupakan medan dakwah dan merupakan salah satu negara yang spesial bagi beliau dalam bidang diplomasi. Beliau sendiri merupakan pelopor berdirinya Kesultanan kesultanan Islam yang ada di daerah Patani (Thailand) dan juga Champa (Vietnam) disamping juga tokoh tokoh lain seperti Sayyid Ibrahim Zaenuddin Al Akbar As-Samarakondi, As-Sayyid Sultan Sulaiman Al Bagdadi Azmatkhan, dll..

Lantas Siapakah sebenarnya beliau ini?

Dalam susunan nasab keluarga besar Azmatkhan yang ada di Asia Tenggara, khususnya keturunan Sayyid Husein Jamaluddin Jumadil Kubro, Maulana Malik Israil adalah anak yang ke 13. Nama asli beliau sendiri adalah Sayyid Ali Nurul Alam Azmatkhan, sedangkan nama lainnya adalah Sultan Qonbul, Sultan Patani Darussalam, Arya Gajah Mada, Minak Brajo Nato. Jika melihat nama-nama lain yang beliau sandang menunjukkan bahwa beliau ini bukan tokoh sembarangan, apalagi hubungan beliau dengan Sultan Muhammad 1 dari Kesultanan Turki Usmani sangat akrab. Tidak heran pada waktu penugasan dakwah ke wilayah Asia Tenggara ini, yang menjadi tokoh penghubung antar keluarga besar Azmatkhan yang bertebaran diberbagai negara adalah beliau ini. Memang diantara sekian nama yang beredar, dua nama yang populer adalah Maulana Malik Israil dan Ali Nurul Alam, terutama diwilayah Kelantan, Champa, Patani, Banten, Cirebon dan Demak. Bagi mereka yang merupakan keturunan beliau terutama dari daerah daerah yang telah saya sebutkan tadi, tentu nama Maulana Malik ISrail atau Sayyid Ali Nurul Alam sangat melekat kuat dihati mereka.

Maulana Malik Israil sendiri bagi saya adalah sosok yang fenomenal, kenapa demikian, karena gelar yang beliau sandang ini cukup menunjukkan bahwa beliau ini mempunyai pengaruh yang dahsyat terhadap beberapa bangsa, Sebagai seorang Pejabat diplomat tangguh gelar MAULANA MALIK ISRAIL jelas menandakan bahwa beliau ini mempunyai pengaruh yang kuat bagi bangsa Israil atau Yahudi yang saat itu banyak bertebaran di Eropa termasuk di Turki, Palestina dan beberapa tempat lag. Pada Masa Lalu yang namanya gelar yang disandang seorang tokoh itu tidaklah sembarangan, apalagi dengan tokoh sekelas beliau ini.Maulana (yang merupakan gelar seorang pemimpin dan juga sinonim dari Sayyid) serta Malik (Raja) dan Israil (Bangsa Yahudi) tentu bukan asal disematkan begitu saja kepada beliau ini. Kedekatannya dengan Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki tentu sangat mendukung adanya gelar beliau itu. Tidak heran dengan adanya gelar beliau ini beberapa sejarawan kadang sering terkecoh, dikiranya bahwa Maulana Malik Israil atau Sayyid Ali Nurul Alam berasal dari keturunan ISRAIL atau YAHUDI. Padahal nama Maulana Malik Israil itu hanyalah sebagian gelar dari Sayyid Ali Nurul Alam.

Ketika Majelis Dakwah Walisongo dibentuk tahun 1404 oleh Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki Usmani, 9 Anggota Majelis Dakwah Walisongo segera bergerak ke wilayah Asia Tenggara, khususnya pulau Jawa, termasuk Maulana Malik Israil ini, beliau bersama Maulana Ali Akbar yang juga merupakan kakaknya bergerak ke arah barat Pulau Jawa (Sunda). Bersama Maulana Ali Akbar (kakaknya yang ketiga) yang kebetulan menguasai bidang pengobatan/kedokteran,Maulana Malik Israil dan Maulana Ali Akbar bahu membahu dalam dakwah Islamiah. 9 anggota angkatan pertama Majelis Dakwah Walisongo ini keberadaannya sangat jelas tercatat dalam sebuah surat yang tersimpan dimusium Istambul Turki, termasuk juga dimana keberadaan makam makam mereka. Bahkan pada beberapa catatan yang dilakukan oleh keluarga Besar Walisongo, makam-makam Walisongo angkatan pertama itu jelas tertulis, seperti yang pernah ditulis oleh KH Muhammad Dahlan dalam buku Khaul Sunan Ampel ditahun 1979, bahkan beberapa keturunan Maulana Malik Israil sering melakukan perayaan khaul beliau di Cilegon, artinya keberadaan makam Maulana Malik Israil sudah lama diketahui.

Hanya saja sayangnya ketika saya mengunjungi dan berziarah ke makam beliau di Gunung Santi Cilegon Banten, saya mendapati sesuatu yang janggal, karena sangat jelas tertera dimakam tersebut,, jika Maulana Malik Israil berayahkan Sayyid Abu Hasan Assadzili. Begitu Membaca nama ayah dari Maulana Malik Israil ini saya sugguh kaget, dan puncak kekagetan saya adalah saat saya melihat banyak orang menginjak nginjak makam ulama yang juga penguasa ini!!!. Saya langsung istigfar sebanyak banyaknya, melihat salah satu leluhur saya ini makamnya diinjak injak, terus terang saat itu saya sangat kesal, prihatin dan kecewa, kok makam orang sehebat beliau ini dibegitukan? Kenapa mereka yang berada diarea makam (pengurus makam) meratakan tanah makam beliau? sehingga akhirnya banyak yang tidak tahu, jika tanah yang mereka injak injak itu adalah tanah makam Maulana Malik Israil dan juga Tanah makam Maulana Ali Akbar!!!.

Saya sebenarnya juga tahu bahwa makam yang terkenal di Gunung Santri itu adalah makam Waliyullah yang bernama Syekh Sholeh bin Abdurrahman yang wafat tahun 1550. Justru melalui nama Syekh Sholeh bin Syekh Abdurrahman ini saya jadi tahu jika makam Maulana Malik Israil ini ada di Gunung Santri, dan itu sudah lama diketahui sejak ratusan tahun yang lalu. Syekh Sholeh memang merupakan penasehat Sultan Hasanuddin Banten dan juga murid yang juga sangat setia terhadap Sunan Gunung Jati, beliapun sama hebatnya dengan kedua tokoh tersebut, namun jika dibandingkan siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih dahulu datang ke Gunung Santri, sudah tentu nama Maulana Malik Israil dan Maulana Ali Akbar sudah lebih dahulu ada, kenapa justru makam mereka yang dinomor duakan, ironis juga saya melihat hal ini. Bagi saya makam yang lebih tua itu harus pula diperhatikan, apalagi Syekh Sholeh justru sebenarnya adalah cucu dari Maulana Ali Akbar, artinya Syekh Sholeh juga merupakan cucu samping dari Maulana Malik Israil.

Cerita yang juga tidak kalah menarik, kenapa Sultan Hasanuddin, Sunan Gunung Jati, sampai syekh Sholeh sangat begitu kerasan di Gunung Santri ini, ya karena memang kakek mereka ada disana! bahkan sangat masuk logika sekali jika makam keluarga besar Maulana Malik Israil itu ada di Champa, Kelantan, Patani dan khususnya daerah Sunda, Demak, Lampung dan Palembang, karena jika dilihat secara geografis dan demografi keberadaan tempat tempat tersebut bisa saling berhubungan. Tidak heran dengan adanya Makam Maulana Malik Israil ini di Cilegon telah menjawab teka teki kenapa Syekh Sholeh ingin menetap ditempat ini, dan juga menjawab kenapa Sultan Hasanuddin juga senang ditempat ini, juga menjawab kenapa Makam Abdullah Umdatuddin ada di Lampung, karena Lampung dan Cilegon itu sangat dekat. Satu hal yang juga tidak kalah menarik, saya baru sadar jika adanya makam beliau diatas bukit itu, justru akhirnya bisa menjaga keberadaan gunung itu dari penjarahan lingkungan, disaat bukit bukit lain sedang dirusak lingkungannya, justru bukit santri ini justru tetap terjaga. Saya sendiri bisa memahami kenapa Maulana Malik Israil dan Maulana Ali Akbar memilih gunung santri sebagai pusat dakwah mereka, itu karena tempat ini memang sejuk pemandangannya, bahkan dari atas bukit santri pemandangan laut sangat terlihat indah, suasana daerah Gunung Santripun memang benar benar damai, bahkan beberapa riwayat mengatakan jika Gunung santri ini merupakan tempat berkumpulnya para Walisongo Angkatan pertama.tempat ini memang ideal untuk membuat pemukiman dan pondok pesantren, tentu pada masa itu lingkungan disekitar tempat beliau masih asri, sedangkan saat sekarang kiri kanan Gunung santri banyak bukit yang sudah mulai dihancurkan untuk kepentingan duniawi dan juga disekitar gunung santi sudah banyak pabrik pabrik besar. Namun tetap saja jika kita berziarah ketempat ini kita akan mendapatkan suasana tenang dan damai, apalagi saat kami sholat di masjid Kampung Beji, mesjid tertua di Gunung Santri.

Selesai ziarah, seperti biasa akhirnya saya berusaha mencari orang orang yang mengerti tentang sejarah Maulana Malik Israil dan juga Maulana Ali Akbar. Terus terang geregetan juga saya melihat makam Maulana Malik Israil dan Maulana Ali Akbar dibuat rata tanahnya, sehingga yang tertinggal cuma nisannya saja, akibatnya? ya makam tersebut diinjak injak para jamaah yang tidak tahu, yang namanya peziarah kan tipenya bermacam-macam, kebetulan sekali saya melihat saat itu tipe mereka kurang begitu faham jika tanah yang mereka injak injak itu adalah tanah makam para Wali dan juga penguasa Islam pada masa lalu.

Saya dan beberapa anggota Madawis akhirnya menemukan orang yang faham dengan sejarah gunung santri yang bernama pak Agus, Pak Agus ini memang sejak kami datang sudah memperhatikan tingkah laku kami yang berbeda, ya kami dari madawis dan ikrafa lebih dekat dengan Makam Maulana Malik Israil dan juga terus terusan melihat tingkah laku para peziarah, saya sendiri selalu mengambil gambar makam beliau. Pak agus mempekenalkan dirinya, dan ternyata beliau ini juga pecinta sejarah Walisongo, bahkan beliau punya silsilah keluarga yang berujung kepada Panembahan Senopati, dapat dikatakan bahwa beliau ini adalah orang yang faham dalam bidang sejarah di Gunung Santri, padahal beliau ini aslinya dari Gombong Jawa Tengah.

Pembicaraan kami dengan Pak Agus, cukup hangat, dan saya juga sempat "protes" tentang makam Maulana Malik Israil yang telah diratakan dengan ubin itu. dan beliau ternyata memahami keluh kesah saya dan madawis. Namun beliau juga meminta pengertian kami dalam memahami pola pikir masyarakat setempat yang tidak semua bisa memahami sejarah dan nasab para penyebar Islam khususnya pada tokoh Maulana Malik Israil dan Maulana Ali Akbar itu. Saya juga mempertanyakan, kenapa nasab Maulana Malik Israil dinisbatkan kepada Abu Hasan Assadzili? padahal Abu Hasan Assadzili itu bukan ayah Maulana Malik Israil, Saya katakan bahwa Abu Hasan Assadzili nasabnya Ke Al Hasani, dan beliau itu beda tahun, bahkan beda hampir 100 tahun, Abu Hasan Assadzili itu wafat pada tahun 1258, beliau ini justru hidup sezaman dengan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (Canggah dari Maulana Malik Israil). Canggah itu adalah generasi atas yang ke 5 dari Maulana Malik Israil, artinya Sayyid Abu Hasan Assadzili sezaman dengan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang merupakan kakek dari kakeknya Maulana Malik Israil. Sayyid Abu Hasan Assadzili itu bukan sanad nasab Maulana Malik Israil, tapi itu beliau adalah merupakan Sanad Thoriqoh yang dimiliki oleh Maulana Malik Israil, kebetulan memang Maulana Malik Israil ini adalah Penganut Thoriqoh Assadziliyah yang memang banyak dianut oleh para sultan sultan dan juga beberapa anggota Walisongo.Pak Agus juga mengakui bahwa nasab yang ada dinisan milik Maulana Malik Israil salah, Sayyid Abu Hasan sendiri adalah tokoh besar dalam dunia Thoriqoh, beliau adalah Grand Syaikh dalam Thoriqoh Assadziliyah.Kebetulan Maulana Malik Israil memegang Sanad Thoriqoh yang berasal dari beliau itu.

Adapun Nasab yang benar dari Maulana Malik Israil adalah :

Maulana Malik Israil/Ali Nurul Alam bin Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan Al Husaini.

Kesalahan Fatal dalam nasab ini tentu harus segera direvisi, saya sendiri sudah menyampaikan hal itu kepada pak agus agar bisa bisa menyampaikan masukan itu kepada fihak yang terkait. Bagaimana mungkin Sanad Thariqoh bisa berpindah menjadi sanad nasab??? benar benar sebuah kesalahan nasab yang fatal. Mudah mudahan fihak yang berkompeten di Gunung santri bisa merevisi nasab yang salah itu. Karena jika tidak direvisi dikhawatirkan akan banyak fihak keliru dalam menulis nasab Maulana Malik Israil ini, kalau sudah keliru menulis nasabnya bagaimana mau menulis sejarah beliau secara utuh??

Selepas diskusi dengan Pak Agus, kami meneruskan perjalanan ke Mesjid Kampung Beji, mesjid bersejarah yang pernah dibangun oleh Maulana Malik Israil dan Maulana Ali Akbar. Sayangnya masjid ini kini dirombak total dengan alasan sudah tua dan keropos, hilang sudah bukti sejarah didesa ini. Kampung Beji sendiri merupakan basis perlawanan para pejuang Cilegon yang dipimpin oleh KH WASYID pada tahun 1888 Masehi. Perlawanan tahun 1888 telah menggegerkan Kaum Penjajah Kafir yang berpusat di Batavia (jakarta) sehingga akhirnya para pemberontak tersebut diburu secara habis habisan sampai akhirnya KH Wasyid yang merupakan pimpinan pembrontakan tersebut mati syahhid. Itulah sekelumit cerita Kampung beji yang legendaris itu.

Yang jelas dalam perjalanan Tim Madawis dan Tim Ikrafa ini, banyak hal yang kami peroleh terutama data data mengenai informasi sejarah Gunung Santri Cilegon Banten.Keberadaan Makam Maulana Malik Israil dan Maulana Ali Akbar yang ada di Gunung Santri telah menjawab sekaligus membenarkan jika catatan para ulama keturunan Walisongo itu benar adanya.

Wallahu A'lam Bisshowab

Sumber ;

1. Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, As-Sayyid Al Allamah Bahruddin Azmatkhan Al Hafizh, Penerbit Majelis Dakwah Walisongo, Vol 24, Jilid II tahun 2014.
2. Gunung Santri Obyek Wisata Religius, Drs Cholid Badri, Penerbit Pemda Desa Bojonegara, Februari 2001.