Sabtu, 27 Juni 2015

BUDI PEKERTI WALISONGO DALAM MENYEBARKAN "ISLAM DI NUSANTARA", (ALAWIYYIN GENERASI AWAL DI NUSANTARA)

Belum lama ini banyak fihak yang memunculkan istilah Islam Nusantara yang kemudian akhirnya istilah ini menjadi pembicaraan hangat banyak orang. Bagi kami sendiri, tema yang satu ini sudah lama  dikaji dan kami buat dalam beberapa tulisan, sehingga ketika muncul istilah Islam Nusantara kami justru memandangnya secara positif apalagi jika ditinjau dari sudut pandangnya Walisongo. Islam Nusantara menurut kami adalah gambaran Islam yang pernah dibawa oleh Para Pendakwah ulung keturunan Rasulullah SAW yang bernama Majelis Dakwah Walisongo. Mereka adalah keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath yang merupakan keturunan Imam Ahmad Al Muhajir yang terkenal akan budi pekertinya. Sayyid Abdul Malik adalah sosok  kelahiran Tarim Hadramaut Yaman dan kemudian hijrah ke negeri India (Naserabad), setelah itu beliau menjadi guru besar dan diangkat menjadi bangsawan kesultanan delhi pada masa itu. Dari India inilah kemudian keturunan beliau banyak yang menyebar ke berbagai negara seperti Samarkand, Turki, Maroko, Mesir, Irak, Iran, India,  dan termasuk Nusantara yang tercinta ini.

Dalam dakwah mereka, keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan selalu berusaha memahami kultur masyarakat setempat, disamping itu satu hal yang selalu  ditanamkan dalam hidup mereka adalah Budi Pekerti ditengah masyarakat. Sehingga dimanapun keturunannya berdakwah, selalu diterima oleh masyarakat setempat. Dakwah mereka sangat cerdas, tradisi masyarakat yang banyak digemari mereka bisa masuki dengan unsur-unsur Islam. Hampir disemua tempat, Majelis Dakwah Walisongo bisa diterima dengan tangan terbuka, sekalipun saat itu banyak yang memfitnah mereka, namun pendekatan dakwah yang mengacu pada surat Annahl 125 betul betul mereka praktekkan ditengah masyarakat.

Majelis Dakwah Walisongo dalam menyebarkan Islam Nusantara mencapai puncaknya ketika Kesultanan Islam Demak berdiri dan berjaya dengan Sultannya yang bernama Sayyid Hasan Azmatkhan atau Raden Fattah. Dibawah Raden Fattah dan Majelis Dakwah Walisongo, Islam Nusantara mencapai kejayaan, semua itu karena dalam dakwah mereka selalu menjunjung tinggi budi pekerti yang telah ditanamkan para leluhurnya yang diantaranya adalah :

  1. Bersikap Wara dan Zuhud : artinya benar-benar  bertakwa kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya Takwa, yaitu setia menjalankan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya dalam semua aspek kehidupan. Terutama sangat berhati-hati dalam persoalan Haram dan Halal dengan menjauhi semua hal-hal yang masih diragukan kebenaranannya menurut agama Islam, apalagihukumnya haram atau haram (syubhat). Meninggalkan keduniawian, tidak tertarik dengan kesenangan dunia, merasa cukup dengan makanan, pakaian dan tempat tinggal yang serba sederhana sekali. Tidak gembira  dengan kehadiran harta dan tida susah dengan kehilangannya dan banggadengan kesederhanaan dirinya. Sebagian waktu hidupnya dipergunakan untuk beribadah kepada Allaw SWT.DI samping menekuni konsep  hidup Wara dan Zuhud tersebut, mereka tidak melupakan untuk mengatasi persoalan hidup, mencari nafkah dan mengumpulkan harta yang banyak yang diperoleh melalui jalan yang wajar dan halal serta diperuntukkan selain memenuhi kebutuhan keluarganya juga disalurkan untuk kepentingan Sabilillah (mendirikan mesjid, panti asuhan anak-anak Yatim, madrasah-madrasah, pondok-pondok pesantren dan membantu mereka yang memerlukan bantuan. Semua hal-hal tersebut dikerjakan karena berpedoman pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Adz-Dzaryat ayat 56 : “Tidak Aku jadikan Jin dan Manusia untuk beribadah kepadaKU”. Dan karena mengikuti ajaran Rasulullah SAW seperti yang disabdakan dalam riwayat Ibnu Asakir:“ Beramalah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya dan beramalah kamu untuk akhirat seolah-olah kamu akan mati esok hari”.
  2. Sabar : Terutama dalam menghadapi semua problem kehidupan.
  3. Pemberani: Terutama dalam  “Jihad Fi Sabililah” (berjuang di dalam menegakkan Agama Allah SWT). Berani  mengatakan yang benar itu adalah benar dan yang salah itu adalah salah. Sebagai realisasi anjuran Allah SWT yang difirmankan dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 81 : “Dan katakanlah yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap, sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap”
  4. Tidak Sombong :  Tidak Takabur.
  5. Tidak Riya’ : (Riya berarti orang yang ingin minta pujian dari orang-orang atas amalannya). Dimana  hal tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT seperti  yang diperingatkan dalam firmanNya dalam Kitab Suci Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 264 : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada  manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.”
  6. Tidak Pernah Berdusta, mengingkari janji, berkhianat : Karena ketiga hal tersebut merupakan sifat-sifat (karakter) orang-orang Musyrik. Sebagaimana yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya pada Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim : “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga. (1). Bila berbicara suka berdusta (2). Bila berjanji suka mengingkari (3). Bila dikhianati suka berkhianat”.
  7. Tidak Egois (mementingkan diri sendiri) : Sebaliknya selalu menomorsatukan kepentingan orang lain. Sebagai pelaksanaan atas anjuran Rasulullah SAW seperti yang disabdakan dalam Hadist Riwayat Tabharani : “Tidak beriman seseorang diantara kamu sehingga ia menyintai saudaranya sebagaimana ia menyintai dirinya sendiri”.
  8. Berkalbu tulus dan ikhlas : Tidak pernah iri dan dengki pada seseorang dan  serta memaafkan seseorang, walaupun orang itu telah merugikan dan menyakiti hatinya. Hal mana dilakukan karena mentaati atas perintah Allah SWT sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Kitab Suci Al-Qur’an dalam surat Al-Imran ayat 134 : “Orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”. 
Demikianlah kesimpulan Budi Pekerti Leluhur Alawiyyin dalam garis besarnya. Sudah selayaknya jika mereka mengaku sebagai keturunan Rasulullah SAW ataupun yang bukan keturunan beliau, mempunyai perilaku seperti yang disebut diatas. Islam diterima di negeri ini karena dahulu Walisongo memegang teguh ajaran leluhur Alawiyyin. Sehingga kalau ada sekarang mereka yang mengaku keturunan Rasulullah SAW tapi meninggalkan ajaran budi pekerti diatas, berarti mereka hanya bisa mewarisi nasab darah, sedangkan nasab akhlak sama sekali tidak berbekas. Islam yang dibawa Walisongo adalah Islam yang ramah dan berkarakter, sehingga sampai saat ini kita bisa merasakan nuansa itu. Islam ditangan Walisongo adalah Islam rahmatan lil Alamin yang kemudian menyatu dengan kultur bangsa ini. Islam di Nusantara adalah Islam yang dibawa Walisongo dimana didalamnya penuh dengan budi pekerti sesuai dengan suri tauladan Alawiyyin yang pernah ditanam oleh Al Imam Ahmad Al Muhajir.

Para Kyai Keturunan Walisongo, para tokoh bangsa dan ulama keturunan Kesultanan Azmatkhan yang ada di Nusantara, serta para Habaib yang sekarang ini banyak menjadi “lilin” ditengah masyarakat, sudah selayaknya mempunyai sifat diatas, karena mereka itu adalah keluarga besar Alawiyyin yang salah ciri khasnya adalah Akhlak, betapapun mulianya sebuah nasab tanpa adanya sifat diatas maka sudah selayaknya mereka itu malu menyandang dirinya sebagai Alawiyyin. Alawiyyin sejati itu adalah mereka yang mampu menunjukkan 8 karakter dasar Ahlul Bait. [1] [2] 

Sumber :

[1] Untuk lebih jelasnya lagi mengenai garis besar budi pekerti Alawiyyin, menurut As-Sayyid Muhammad Hasan Al-Aidid pembaca dapat menalaah kitab-kitab seperti : 1. Al-Ilmun Nibras Fit-Tambihi Ala Manhajil Akhyas oleh Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Hasan Al-Attas 2. Al-Masya Arrawiy Manaqib Assadah Al-Kiran Bani Alawiy oleh Muhammad Abubakar Syilliy 3. Qu’tul Qulub oleh Sayyid Abu Thalib Al-Makki

[2] Dikutif Dari Buku Raden Fattah Sang Pendobrak, Iwan Mahmud Al Fattah, Jakarta : Madawis, 2015, hlm 308 - 310.