Sabtu, 27 Juni 2015

JASA WALISONGO DALAM MENGISLAMKAN NUSANTARA (Mengikuti Jejak Langkah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir)

Apa saja sebenarnya jasa walisongo dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini? apakah hanya sekadar penyiaran dalam bidang agama? Apakah Walisongo gerak dakwahnya hanya terbatas pada kajian-kajian keislaman semata saja?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah selayaknya bisa kita jawab secara detail dan tuntas pada sejarah mereka, karena akhir-akhir ini ada sebagian kecil orang yang berani meremehkan keberadaan Walisongo, padahal bila dibandingkan kiprah dakwah mereka dengan Walisongo, jauh panggang daripada api. Mereka yang berani “menggugat” keberadaan Walisongo itu, saya ingin bertanya, sudah berapa ribu orangkah yang anda Islamkan? Sanggupkah anda berdakwah ditengah kehidupan saat itu yang notabenenya bukan pemerintahan Islam?. Sanggupkan anda berdakwah ditengah suasana yang masih penuh keterbatasan dan fasilitas? Sanggupkah anda membuat sebuah tradisi Islam yang bertahan sekian ratus tahun ?

Terus terang kondisi seperti ini telah membuat kami prihatin. Pada beberapa situs yang pernah kami kunjungi, Walisongo ini bahkan dianggap sebagai perusak aqidah Islam terutama dalam kehidupan Islam tradisionalisnya (Innalillahi....., memangnya siapa dia berani menilai Walisongo sebagai perusak aqidah dan pembawa bid'ah!), lebih memprihatinkan lagi bahkan nama walisongo ini hampir hampir saja terlempar dari sebuah buku yang katanya "ENSIKLOPEDI" tentang Islam di Nusantara ini..Aneh bin Ajaib, Walisongo hampir lenyap pada buku sekelas 'ENSIKLOPEDIA ISLAM" .

Fenomena ini tentu membuat kami bertanya-tanya ketika  ada fihak yang memandang sinis kepada Walisongo, hanya karena melihat secara sefihak terhadap ajaran dan budaya yang mereka kembangkan dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Akulturasi yang dibawa Walisongo dianggap “kebablasan” padahal akulturasi yang dilakukan Walisongo pada masa itu sudah difikirkan dan dikaji secara matang oleh semua anggota Walisongo yang track record keilmuannya rata-rata sudah mencapai “Allamah”, mulai dari angkatan pertama sampai berdirinya Kesultanan Islam Demak. Bagi beberapa fihak, Walisongo bahkan sering dikatakan hanya cocok di pulau Jawa ?, padahal kalau saja mereka mau mempelajari sejarah Walisongo secara jernih dan mendalam, medan dakwah Walisongo justru hampir disemua wilayah Nusantara, ini jauh lebih luas jangkauannya daripada prasangka sebagian orang tersebut, dan ini terbukti dikemudian hari dimana banyak keturunan Walisongo yang berhijrah atau berdakwah tidak hanya di pulau Jawa, daerah-daerah seperti Ternate Tidore dan juga Jazirah Al-Muluk (Kepulauan Maluku) yang jauh saja mereka datangi, daerah Sumatra seperti Lampung, Palembang, Aceh, Jambi, Melayu juga mereka tebar dengan dakwahnya. Daerah Sulawesi bahkan ditempati oleh leluhur utama mereka yaitu Sayyid Husein Jamaluddin atau Syekh Jumadil Kubro Awal, bahkan daerah Kalimantanpun juga mereka masuki pada saat pemerintahan Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak. Bahkan Jayakarta atau Jakarta juga mendapat perhatian penuh dari Majelis Dakwah Walisongo pada masa itu. Di beberapa Kerajaan kerajaan non Islam saja keberadaan mereka diterima dengan baik mulai dari kerajaan Majapahit sampai kepada Pajajaran,  semua bisa menerima anggota Walisongo dengan baik, sehingga sangat tidak bijak jika sekarang ada fihak yang  bersikap sinis kepada para pendakwah yang telah sukses mengIslamkan Nusantara ini.

Yang juga sering membuat kami tidak habis fikir adalah ketika  ada beberapa fihak yang berani mengatakan bahwa Nasab  atau  silsilahnya walisongo dianggap terputus dengan generasi sekarang dengan alasan tidak tercatat ? Kata siapa tidak tercatat ? umur berapakah mereka itu sehingga berani mengatakan jika Walisongo nasabnya tidak terpelihara dan tidak tercatat? Padahal  jika kita mau pelajari teliti dan mendalam garis keturunan ulama-ulama besar Nusantara,  banyak sekali yang merupakan keturunan Walisongo, bahkan ulama-ulama kelas dunia yang banyak menetap di Mekkah dan menjadi pakunya ulama saat itu merupakan keturunan Walisongo, sebut saja nama Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan keturunan Sunan Gunung Jati, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan keturunan Sunan Giri dari anaknya yang bernama Sultan Minangkabau, atau Syekh Yasin Fadani dari keturunan Sunan Giri, Syekh Junaid Al Batawi dari keturunan Raden Fattah Azmatkhan,  sedangkan yang didalam negeri ada nama Mbah Kholil Bangkalan yang merupakan keturunan Sunan Kudus, ada KH Hasyim Asy’ary, KH Ahmad Sidiq, KH Sahal Mahfud yang merupakan keturunan Syarif Muhammad Kebungsuan bin Sayyid Jamaluddin/Syekh Jumadil Kubro Wajo (leluhur Walisongo), KH Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah yang merupakan keturunan Sunan Giri, Buya Hamka yang keturunan Sunan Giri, KH As’ad Syamsul Arifin yang merupakan keturunan Sunan Ampel, Abuya Dimyati Banten yang keturunan Sunan Gunung Jati, Kyai Marogan Palembang yang keturunan Sunan Giri, Guru Mansur Sawah Lio Betawi yang keturunan Raden Fattah, atau nama Abuya KH Abdullah bin Nuh yang dalam penelitian kami ternyata keturunan Raden fattah Azmatkhan dan masih banyak lagi ribuan ulama atau tokoh-tokoh bangsa keturunan Walisongo, dan ini membuktikan jika garis keturunan mereka itu terjaga dengan baik. Dan semua ini tercatat dengan baik pada kitab Al’Mausuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini yang disusun oleh As-Syekh Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al-Husaini.

Walisongo memang sepertinya tidak akan habis untuk dikritik dan dicari kelemahannya, baik dari segi sejarah, riwayat atau nasabnya.  Seorang yang saya kenal bahkan pernah berani mengatakan kepada saya bila Walisongo itu ajarannya sudah tidak cocok dengan kondisi sekarang! Ha? tidak cocok ? apanya yang tidak cocok saudaraku? setahu kami justru ajaran ajaran mereka yang fleksibel dan justru banyak fihak yang memujinya, tidak tanggung tanggung Walisongo itu bahkan sering menjadi kajian ilmiah dikalangan beberapa peneliti peneliti sejarah. Mengatakan bahwa metode dakwah Walisongo itu sudah usang hanya karena sebagian orang tersebut “Uphoria” terhadap perkembangan dakwah “dinegeri lain” jelas tidak obyektif. Sudah jelas setiap daerah atau negara strategi dakwahnya tentu tidak sama, dan ini pernah dilakukan Walisongo. Sungguh sebuah hal yang ironis jika ada fihak mendeskriditkan figur-figur Walisongo dengan alasan Walisongo hidup di era abad 14 dan 15 dan orang tersebut hidup di era “modern”, padahal kalau kita mau jujur Islamnya kita pada masa kini, terutama di Nusantara, itu jasa siapa? memangnya Islam yang seperti apa yang cocok untuk negara ini?. Janganlah kita membuat sebuah kesimpulan sesaat dalam memahami ajaran Walisongo apalagi dengan mengatakan bahwa Walisongo itu adalah sebuah “mazhab” tersendiri, sehingga keberadaan ajarannya patut dipertanyakan eksistensinya. Janganlah terlalu berlebihan menganggap bahwa ajaran Walisongo itu seolah ajaran “lokal” yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Saudara....perlu kita tahu, Islam yang dibawa Walisongo adalah Islam yang sama seperti di negara-negara yang mayoritas menganut faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Negeri ini akar keislamannya sama seperti negeri Hadramaut Yaman, Palestina, Maroko (Magribi), Turki, Mesir, Damascus, Sebagian India, Sebagian Pakistan, Irak, Sebagian wilayah Iran yang Sunni, sebagian Afganistan, Samarkand (uzbekistan), Mekkah dan Madinah (terutama pada era Syarif-Syarif Mekkah), serta negara-negara yang menganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah lainnya.  Negara-negara tersebut bahkan sangat menaruh hormat terhadap bangsa kita berkat akar keislaman yang dibawa Walisongo ini. Walisongo itu nama organisasi bukan Mazhab, namun sekalipun nama sebuah organisasi dakwah, ajarannya tidaklah menyimpang dari ajaran para leluhurnya. Walisongo tetap mengikuti ajaran jumhur ulama penerus jejak Rasulullah SAW, terutama Ulama yang menganut faham Ahlussunnah Wal Jamaah. Walisongo itu sangat memegang teguh Al-Qur’an, Hadist, dan juga Ijma dan serta menjunjung tinggi adanya Qias. Akidah mereka jelas Ahlussunnah Wal Jamaah dengan mayoritas menganut faham Asy’ariyah-Maturidiyah, fiqih yang mereka anut adalah Imam Syafi’i, Aliran Tassawuf yang mereka anut juga banyak mengambil pemikiran Al-Ghazali dan Syadzili, Thariqoh yang mereka anut juga Thariqoh Alawiyah dan Thariqoh yang selaras dengan ajaran Rasulullah SAW. Mereka juga sangat cinta akan seni sastra arab dan juga lokal. Dalam bidang Akhlak mereka itu mengikuti jejaknya Al-Imam Ahmad Al-Muhajir yang merupakan nenek moyang Kaum Alawiyyin seluruh dunia, dan Walisongo juga sangat tegas dalam menghadapi penyimpangan dalam bidang pemikiran dan akidah, namun cara mereka menghadapinya penuh dengan hikmah kebijaksanaan seperti yang pernah dilakukan datuknya dahulu, yaitu Al Imam Al-Muhajir dimana Al-Imam Ahmad dahulunya berhasil melakukan dakwah dengan meluruskan pemikiran-pemikiran yang menyimpang pada masa itu di Hadramaut.  Jika kita berkunjung kebeberapa negara seperti Yaman, Maroko, Turki,  maka banyak ulama disana yang merasa kagum dengan cara dakwah Walisongo yang berhasil membuat wajah Nusantara ini menjadi Islam yang ramah, berkarakter namun tidak hilang akan ketegasannya.

Marilah dalam menilai sesuatu itu penuh dengan pendalaman, kaji yang lebih serius, mempelajari sesuatu itu harus penuh kearifan dan juga sikap cerdas dan kritis. Bicara Walisongo itu banyak aspeknya, janganlah kita mempersempit diri dalam melihat sosok sosok yang telah berjasa ini.. Kita juga harus tahu bahwa Walisongo itu pada proses dakwahnya, ternyata tidak hanya bergerak pada bidang agama, namun tanpa diduga pergerakan mereka juga sudah merambah pada bidang bidang kehidupan yang lain, seperti seni, pengobatan, militer, pendidikan, politik, ekonomi, budaya, sosial, dll, ini menandakan jika mereka ini orang-orang yang cerdas. Jangan kira dalam bidang bidang yang disebut tadi mereka tidak punya kemampuan, justru kemampuan-kemampuan seperti ini yang  menjadi syarat ketika mereka terjun langsung di masyarakat, bahkan nantinya peran mereka sangat diandalkan dalam bidang pemerintahan pemerintahan Islam. Dalam bidang pengobatan/Kedokteran ada nama Maulana Malik Ibrahim, dalam bidang pendidikan dan pengaturan negara ada maestronya yaitu Sunan Ampel, dalam bidang seni budaya ada nama Sunan Kalijaga, dalam bidang militer dan pasar uang ada nama Sunan Kudus, dalam bidang pemerintahan (tata negara) ada nama Sunan Gunung Jati dan juga Raden Fattah, dalam bidang hukum ada nama Sunan Giri, dalam hal Baitul Mal dan juga seni sastra ada nama Sunan Bonang, dalam bidang politik ada Majelis Dakwah Walisongo yang mengawasi pemerintahan Islam, terutama Kesultanan Islam Demak. Uniknya semua anggota Walisongo baik sejak Masa Angkatan Pertama s/d Kelima mereka bisa menguasai bidang satu dengan yang lain,

Walisongo itu memang unik, siapa bilang mereka hanya cuma ulama semata ? mereka itu justu banyak yang menekuni bidang pendidikan dan seni, dua bidang yang nantinya memberi pengaruh yang luar biasa pada kehidupan bangsa ini, terutama masyarakat Jawa dan Sunda pada masa itu. Kenapa Jawa dan juga Sunda saat itu menjadi pusat dakwah Walisongo? Itu karena di pulau ini ada dua kekuatan besar yang menonjol di Nusantara, yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran, dan kedua-duanya ternyata dimasuki Walisongo dengan proses Islamisasi yang bisa diterima dengan tangan terbuka.

Kedua bidang yang disebut tadi (pendikan dan seni) bahkan sampai sekarang masih bisa dinikmati seperti misalnya :

  1. Permainan anak anak seperti : Jelungan, jamuran, Jor, gula ganti, gendi gerit, cublak cublak suweng, ilir ilir dan sebagainya.
  2. Nyanyian yang isinya sarat dengan pesan pesan keagamaan seperti Tembang Dolanan Bocah, Lir Ilir.
  3. Seni Ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat untuk menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya dianggap sebagai seni ukir nasional, padahal itu adalah kerya walisongo, sebelum zaman walisongo kebanyakan seni ukir bermotifkan binatang atau manusia.
  4. Seni drama, seni pahat, seni gamelan, seni pakaian (seperti baju takwa). corak batik bergambar burung yang filosofinya adalah supaya manusia senantiasa berkata baik dengan memelihara lisannya dari mengeluarkan kata kata yang kurang baik.
  5. Pondok-pondok Pesantren yang ada sekarang ini adalah kebanyakan metodologinya mengikuti cara-cara Walisongo, apalagi sebagian besar pengasuhnya banyak keturunan Walisongo.
  6. Tradisi Penulisan yang dilakukan Walisongo sampai saat ini masih banyak diteruskan oleh para keturunannya.
  7. Dan masih banyak lagi jejak-jejak jasa lainnya.

So jadi siapa bilang WALISONGO itu tidak punya jasa...

Walllahu A'lam Bisshowab...

Sumber :

Idrus HA, Kitab Asror Walisongo, Pekalongan : Penerbit CV bahagia, 1995, hlm 29-30.
Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, The Return Of Dinar Dirham, Jakarta : Madawis, 2015, hlm 91 - 101.
Iwan Mahmud Al Fattah, Raden Fattah Sang Pendobrak, Jakarta : Madawis, 2015.
Faris Khoirul Anam, Al Imam Ahmad Al-Muhajir, Malang, Darkah Media, 2010.