Kamis, 16 Juli 2015

1 SYAWAL 933 HIJRIAH, BERDIRINYA NEGERI ISLAM FATHAN MUBINA (JAYAKARTA), Gema Takbir Mengiringi Kemenangan Sang Mujahid Agung...

الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر لااله الاالله والله اكبرالله اكبر ولله الحمد

:َاللهُ اكبَر كَبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا, لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه, مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن, وَلَو كَرِهَ الكَا فِرُون, وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن, وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن, لاالهَ اِلا اللهَ وَحدَه, صَدَق ُوَعْدَه, وَنَصَرَ عبْدَه, وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه, لاالهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُ وَِللهِ الحَمْد

Allaahu akbar kabiiraa walhamdulillaahi katsiiraa,...
wasubhaanallaahi bukrataw - wa ashillaa.
Laa - ilaaha illallallahu walaa na'budu illaa iyyaahu mukhlishiina lahuddiin walau karihal - kaafiruun, walau karihal munafiqun, walau karihal musyrikun. Laa - ilaaha - illallaahu wahdah, shadaqa wa'dah, wanashara 'abdah, - wa - a'azza - jundah, wahazamal - ahzaaba wahdah. Laa - ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil - hamd.

Artinya: Allah maha besar dengan segala kebesaran, Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, Dan maha suci Allah sepanjang pagi dan sore. Tiada Tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan agama Islam meskipun orang kafir, munafiq dan musyrik membencinya. Tiada Tuhan selain Allah dengan ke Esaan-Nya. Dia menepati janji, menolong hamba dan memuliakan bala tentara-Nya serta melarikan musuh dengan ke Esaan-Nya. Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar. Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.  Sumber Materi :


"Inilah Sepenggal Cerita Tentang Berdirinya Negeri Fathan Mubina (Jayakarta) di Malam Takbiran..."

Periode 1521 – 1522.

Pada waktu negeri sunda kelapa menyertakan dirinya berperang bersama armada Pati Unus  dari Kesultanan Demak. Negeri Sunda Kelapa berada dalam kepemimpinan Raja Alhamid Al Majid (Saka Danda Rama), didampingi Patih Panglima Fathullah Khan, Putra dari Sultan Zulkifli Majid dari Kesultanan Aru Barumun Pasai.

Dengan kekalahan dari Armada Paringgi (Portugis) yang diperangi Armada Bintara Demak dibawah pimpinan Al Haj Fattahillah yang  pada waktu itu menyerang Paringgi di Pasai, keadaan Sunda Kelapa  sangat lemah, sebab Sultan Pati Unus mengalami kekalahan, Fattahillah kemudian berlayar ke mesir.

Paringgi (portugis) kemudian memasuki Pelabuhan Jayapati (kini menjadi pelabuhan Pasar Ikan) Sunda Kelapa, jadi tidak di pelabuhan Marunda Jakarta Utara.

Paringgi dan Pajajaran dibawah pimpinan Adipati Singa Menggala bin Prabu Surawisesa Kemudian mengadakan perjanjian di pelabuhan Jayapati ditahun 1522.

Angkatan Perang Sunda Kelapa sempat melakukan penyerangan dibawah pimpinan Panglima Fathullan Khan dilautan. Namun kemudian Bala tentara Pajajaran menyerang balik Keraton Sunda Kelapa di Marunda sehingga mengakibatkan tewasnya Raja Sunda Kelapa dan juga menyebabkan Sunda Kelapa menjadi tidak aman dan tidak kuat.

Keraton Sunda Kelapa di Marunda dapat dimasuki bala tentara Pajajaran dibawah pimpinan Singa Menggala bin Prabu Surawisesa dari Kerajaan Pajajaran.

Agar Supaya Keraton dan rakyat tidak mengalami kerusakan maka gusti Ratu Surya Nara telah mengambil keputusan dan untuk menghindarkan malapetaka telah mengadakan musyawarah antara fihak Sunda Kelapa dan fihak Pajajaran.

Akhirnya Kesepakatan dapat dicapai yang berisi : 

 1. Gusti Ratu Suryanara tetap menjadi Raja di Sunda Kelapa yang menggantikan ayahandanya dan bersedia menjadi istri dari Singa Menggala.
 2. Singa Menggala bin Prabu Surawisesa menjadi Adipati Pajajaran di Sunda Kelapa.

Dengan demikian kedudukan Sunda Kelapa masa itu raja bawahan dari Pajajaran.

Sesudah Sunda Kelapa Jatuh dan Pajajaran mempunyai Raja Bawahan yang adipatinya adalah Singa Menggala bin Prabu Surawisesa.

Penguasaan Pajajaran terhadap Sunda Kelapa menyebabkan beberapa keluarga bangsawan Sunda Kelapa yang Islam menyingkir ke Cirebon dan Demak, termasuk keluarga besar Kesultanan Aru Barumun Pasai yang sudah lama menetap di Sunda Kelapa untuk menyusun kembali kekuatan dalam merebut Sunda Kelapa.


Periode 1526 – 1527 (Berdirinya Negeri Fathan Mubhina/Jayakarta)

Pada Periode ini Sultan Bintoro Demak saat itu (Sultan Trenggono) terutama pada bulan Sya’ban 933 Hijriah memerintahkan Fattahillah dan pasukan Mujahidin untuk kembali lagi ke negeri Sunda Kelapa, karena mendengar Portugis atau Paringgi akan masuk berlabuh. Namun demi untuk menghormati Bulan Puasa dan ibadah ramadhan, Sultan Trenggono pada bulan Sya’ban kemudian memulangkan terlebih dahulu para Panglima, hulu balang dan tamtamanya ke daerahnya masing-masing. Sultan Trenggono melarang keras semua fihak melakukan huru hara dan membuat keributan.

Kemudian sesudah puasa semua harus masuk kembali ke keraton Sunda Kelapa tepatnya di Marunda Jakarta Utara (Marunda Kalapa). Maka sesudah satu bulan Bala Tentara Kesultanan Demak Bintoro berada di Marunda Kalapa dan sesudah ibadah puasa Ramadhan, bala tentara Armada Bintara Demak memasuki Istana atau Keraton  Ratu Gusti Surya Nara Kalapa pada malam Takbiran.

Pada malam Takbiran itu, Gusti Ratu Surya Nara sudah duduk bersama tamunya termasuk Maulana Hasanuddin Banten.

Maka Pada Bakda Subuh tepatnya tanggal 1 Syawal 993 Hijriah, Gusti Ratu Surya Nara menyerahkan kekuasaan negeri Marunda Kelapa kepada Panglima Al Haj Fattahillah beserta kekuasaan pemerintahannya.

“Tafsir Sejarah Dari Kitab Al Fatawi”

Penjelasan Kitab Al Fatawi yang disusun oleh Al Allamah KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma ini telah menjelaskan secara tegas bahwa Sunda Kelapa telah menjadi wilayah Islam sebelum kekuasaanya direbut oleh Kerajaan Pajajaran dibawah pimpinan Singa Menggala. Untuk memperkuat fakta tersebut Sunda Kelapa bahkan pernah terlibat perang dalam melawan Portugis di Malaka. Itu artinya Sunda Kelapa sebelum tahun 1521 masehi adalah sekutu terkuat dari Kesultanan Demak, khususnya pada masa Sultan Muhammad Yunus (Pati Unus 1) bin Raden Fattah serta Senopatinya yang terkenal yaitu Raden Abdul Qodir bin Muhammad Yunus (Pati Unus 2). Sedangkan perang di Malaka yang menyebabkan kekalahan pertama terjadi tahun 1513 dan terakhir tahun yang menyebabkan syahidnya Pati Unus 2 di Malaka tahun yaitu 1521 Masehi (sayangnya tahun 1521 jarang diungkap). Setelah kekalahan ini Kerajaan Pajajaran yang telah mendengar kekalahan Demak yang kedua kalinya, mengambil momentum dengan merebut Sunda Kelapa dan menjadikan tanah jajahan. Direbutnya Sunda Kelapa karena daerah ini dianggap penting karena merupakan daerah penghasil merica terbesar saat itu dan juga merupakan pelabuhan penting antara Sumatra dan Sunda. Sehingga dengan menguasai daerah Sunda Kelapa, Pajajaran bisa meningkatkan perekonomiannya serta bisa memutus mata rantai hubungan Sunda Kelapa  dengan Kesultanan Demak dan khususnya Kesultanan Aru Barumun Pasai yang saat itu bangsawannnya banyak terdapat di Sunda Kelapa.  Di samping itu dengan menguasai Sunda Kelapa, mereka ingin merubah image mereka sebagai negara yang tangguh hanya di daratan saja. Dan ini kemudian mereka realisasikan ketika pada bulan Agustus tahun 1522,  mereka membuat perjanjian dengan fihak portugis di Pelabuhan Jayapati (Jagpad) yang kini menjadi Pelabuhan Pasar Ikan dan itu diabadikan dengan adanya Prasasti Padrao. Begitu kuatnya hubungan Pajajaran Dan fihak Portugis, bahkan Portugis sempat pula mendatangi dan hadir di Pajajaran ketika Prabu Surawisesa dilantik menjadi Raja Pajajaran.

Dikuasainya Sunda Kelapa oleh Pajajaran menyebabkan banyak fihak hijrah yang diantaranya adalah Fattahillah. Dari Fattahillah Kesultanan Demak tahu bagaimana sebenarnya kondisi Sunda Kelapa, sehingga Sultan Trenggono yang sangat perhatian terhadap perkembangan dakwah Islam di Jawa dan Sunda memutuskan untuk kembali menguasai Sunda Kelapa dalam rangka menegakkan kembali Islam yang sudah ditanam keluarga Pasai terutama dari Kesultanan Aru Barumun yang juga berkerabat dengan Fattahillah. Selama beberapa tahun Fattahillah terus mengadakan persiapan untuk menguasai kembali Sunda Kelapa. Tentu Fattahillah akan berfikir bagaimana menguasai Kembali Sunda Kelapa tanpa harus terjadi pertempuran, mengingat Sunda Kelapa yang sebagian masyarakatnya sudah Islam dan juga masih dipegang oleh satu kerabat beliau yaitu Gusti Ratu Surya Nara.

Sudah tentu Fattahillah juga membutuhkan bantuan Sunda Kelapa untuk menghalang masuk Portugis yang sudah mendekat di Banten pada tahun 1526 tepatnya akhir bulan Desember.

Dari tahun 1521 s/d 1527 Sunda Kelapa dikuasai oleh Gusti Ratu Surya Nara bin Sultan Alhamid Majid yang mempunyai nama laqob Sansekerta yaitu Saka Danda Rama. Pasca kekalahan Sunda Kelapa Gusti Ratu Surya Nara memutuskan menikah dengan Singa Menggala. Fakta ini membuktikan jika Singa Menggala sudah masuk Islam, karena Gusti Ratu Surya Nara adalah muslimah yang taat dan leluhurnya berasal dari Pasai yang terkenal akan keislamannya. Gusti Ratu Surya Nara adalah wanita yang lebih mementingkan rakyat ketimbang kekuasaanya. Tentu dengan bersedianya beliau menikah dengan Singa Menggala, karena beliau mempunyai strategi dakwah Islam yang cerdik dalam menghadapi Pajajaran, mengingat Pajajaran adalah sebuah Kerajaan Besar di Sunda bahkan dapat dikatakan sebanding dengan Majapahit, apalagi seperti yang kita tahu Islamisasi di Keraton Pajajaran itu sebenarnya sudah lama terjadi, hanya saja masih belum banyak dikaji oleh Sejarawan. Gusti Ratu Suryanara tentu tidak ingin Islam yang sudah dibangun di Sunda Kelapa kembali menjadi nol, apalagi akar keislaman di Sunda Kelapa belum sebaik di daerah lain. Singa Menggala sebagai seorang Kesatria Pajajaran ketika mendapatkan penawaran untuk menikah dengan Gusti Ratu Surya Nara tentu menyambutnya dengan positif, mengingat juga fihak Sunda Kelapa sudah menyatakan tahluk, apalagi dalam sejarah Jayakarta, Singa Menggala ini terkenal kooperatif terhadap Islam, dan ini dibuktikanya ketika beliau menikahkan anaknya yang bernama Ratu Ayu Jati Balabar  dengan Cucu Raden Fattah yang bernama Arya Jipang atau Aria Penangsang dari Jipang Panolan, dan kelak keturunan Arya Jipang di Jayakarta dari jalur Ratu Ayu Jati Balabar bin Singa Menggala akab banyak yang meneruskan jejak langkahnya. Diantara keturunan Arya Jipang adalah Para Pendekar Pituan Pitulung (Pitung).

Kembalinya Sunda Kelapa ke Pangkuan Umat Islam ternyata tidak dilakukan dengan perang seperti yang ditulis oleh sejarawan Portugis atau beberapa hikayah yang tidak jelas, karena walaupun saat itu sudah banyak tentara Demak yang mendekat di Marunda  Kelapa, namun karena perintah Sultan Trenggono agar semua pasukan menahan diri untuk tidak berperang demi menghormati Ibadah Puasa Ramadhan, semua pasukan Islam sepakat menunggu momentum yang tepat, dan momentum itu terjadi pada malamTakbiran atau tanggal 1 Syawal 933 Hijriah atau 1 juli 1527 Masehi, Sunda Kelapa berhasil dikuasai kembali dengan jalan damai berkat kesepakatan antara Penguasanya dan fihak Kesultanan Demak.. Bahkan saat itu untuk membuktikan bahwa Sunda Kelapa dikuasai dengan damai Maulana Hasanuddin Banten sudah lebih dahulu masuk dan mengadakan misi diplomasi damai. Sejarah ini sekaligus membuktikan dan membantah jika Fattahillah membumi hanguskan Fattahillah dan membunuh tokoh “Wak Item” yang ternyata dalam catatan kitab Al-Fatawi tidak ada sama sekali, artinya tokoh ini adalah FIKTIF!.

Tidak lama sesudah dikuasainya Sunda Kelapa secara damai, Portugis yang terlambat mendengar berita bahwa Sunda Kelapa sudah kembali kepangkuan umat islam, telah mendekat di Pelabuhan Jayapati (Pasar Ikan).  Ddiperkirakan Portugis mendekat dua  atau tiga minggu sesudah dikuasainya Sunda Kelapa, karena pada pertengahan Agustus mereka sudah berada Malaka, dan kemudian Fransesco De Sa yang merupakan pemimpin ekpedisi perjalanan ke Sunda Kelapa telah mengirim surat ke rajanya pada tanggal 7 September 1527 Masehi,

Bersamaan dengan masuknya Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa,  tidak lama kemudian  Pasukan Fattahillah yang sudah kuat di Sunda Kelapa menyerbu dan berhasil menenggelamkan sebagian kapal perang Portugis, sebagian pasukan Portugis yang sudah mendarat langsung di serang, hingga mengakibatkan kepanikan luar biasa pada fihak Portugis. Sehingga menyebabkan mereka mundur dan kembali ke Malaka. Kekalahan memalukan mereka ini, sampai sekarang tidak pernah tercatat dalam Sejarah Portugis, bahkan kebencian terhadap Islam dan juga terhadap Fattahillah semakin membekas pada diri bangsa yang mengaku pada saat itu sebagai negara terkuat di dunia dalam bidang militer dan kelautan..Anehnya berkat informasi Sejarawan Portugis seperti De Baros dan De Couto, sampai saat masih ada saja dari bangsa kita yang percaya kalau Fattahillah justru sebagai pembunuh terhadap rakyat Sunda Kelapa (sebuah pemutar balikan fakta !). Saksi adanya perang antara Portugis dan Pasukan Mujahidin Kesultanan Demak masih bisa kita lihat di Museum Kraton Kesepuhan Cirebon yang didalamnya banyak terdapat baju perang Portugis dan Meriam.

Kemenangan 1 Syawal 933 Hijriah ditambah kemenangan terhadap Portugis menyebabkan Kesultanan Demak, Walisongo dan Kesultanan lain menjadi bangga, karena misi Portugis di Sunda Kelapa berhasil dipatahkan oleh Pasukan Jihad Islam dibawah pimpinan Fattahillah. Dan sejak tanggal 1 Syawal 933 Hijriah itulah Sunda Kelapa dirubah namanya menjadi Negeri Fathan Mubina dan kemudian berkembang dengan nama“Pemerintahan Hikmah Jumhuriyah Jayakarta” dengan asaz Islam yang dianut keluarga besar Walisongo dan Kesultanan Islam Demak Bintoro yaitu Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.

Kemenangan 1 Syawal 993 Hijriah adalah kemenangan murni umat Islam tanpa dilalui dengan peperangan, Sunda Kelapa kembali kepangkuan Umat Islam berkat perjuangan suci para mujahidin yang tidak saja berasal dari Kesultanan Demak, tapi disana banyak Mujahidin dari Banten, Cirebon, Ternate, Pasai, Bahkan dari Malaka yang ikut bergabung demi mematahkan ambisi Portugis yang akan melanjutkan misi perang salib mereka di Asia Tenggara sesuai dengan adanya perjanjian Tardesillas.

Sumber :

Al-Allamah KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, Kitab Al-Fatawi-Silsilatul Syar’i, Palembang : 1910.
Iwan Mahmud Al Fattah, Fattahillah Mujahid Agung Pendiri Kota Jayakarta, Jakarta : Madawis, 2014.
Gunawan Mertakusuma, Wangsa Aria Jipang Di Jayakarta, Jakarta : Penerbit Agapress, 1986.
Gunawan Mertakusuma, Tafsir Kitab Al Fatawi, Jakarta : Al Fatawi, 1981.
Yosef Iskandar, Sejarah Jawa Barat, Bandung, CV Geger Sunten, 1997.

MAJELIS DAKWAH WALISONGO & KESULTANAN ISLAM DEMAK (SALAH SATU PELETAK DASAR WAJAH ISLAM NUSANTARA)


Tema Islam Nusantara rupanya masih terus diperdebatkan, beberapa hari belakangan ini, tema yang satu ini rupanya semakin “meledak”, terutama ketika ada seorang Ustadzah di salah satu stasiun TV melemparkan statement agar Islam Nusantara segera “dicoret” dari bumi Nusantara ini. Akibat dari penyataan beliau itu sepertinya semakin membuat suasana semakin “menghangat” kembali, apalagi seperti yang kami ketahui, bahwa disamping Ustadzah tersebut ada juga pendukung kuat “faham” Islam Nusantara yang merupakan budayawan dan seniman nyentrik. Pernyataan Sang Ustadzah tersebut sudah tentu membuat beberapa fihak meresponnya dengan antusias, terutama kepada fihak yang selama ini sangat “khawatir” dengan munculnya istilah Islam Nusantara.

Sejenak  kami merenung, begitu menakutkankah istilah yang satu ini? Kenapa sebagian orang  begitu paranoid terhadap tema yang satu ini ? Padahal belum tentu kita faham akan akar sejarah pada wajah Islam yang satu ini. Ketika sebuah wacana dilontarkan, bukankah akan lebih baiknya kalau kita melakukan sebuah tabayyun kepada fihak yang melemparkan wacana tersebut. Mengatakan Islam Nusantara sebagai sebuah tema yang “berbahaya” bagi kelangsungan hidup bangsa  tanpa pernah mau mempelajari  akar sejarah munculnya tema tersebut, menurut kami bukanlah hal yang bijak.

Seharusnya ketika menghadapi tema tersebut, mari dihadapi dengan mengadakan sebuah dialog dan adu pemikiran, bukan justru adu hujat, adu sindir, adu kuat-kuatan pendapat tapi ironisnya banyak dari kita yang  “minim dan miskin”  akan pemahaman sejarah tema tersebut.

Dalam pandangan kami yang selama beberapa tahun ini fokus pada beberapa penelitian Islam Nusantara, terutama penelitian sejarah para tokoh-tokohnya, kami justru banyak melihat hal-hal yang positif. Itu karena dalam beberapa fakta yang kami temukan, tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan wacana tersebut,  justru banyak dari mereka yang  merupakan peletak utama pada sendi-sendi  penyebaran Islam yang berwajah ramah, toleran, akomodatif namun tidak pula meninggalkan sikap ketegasannya. Dalam beberapa penelitian kami,  justru kami banyak menemukan fakta yang mencengangkan jika mereka yang mengusung “faham” Islam Nusantara itu banyak merupakan sosok-sosok yang ditakuti penjajah dan juga pemikir-pemikir cerdas dan brilian pada masanya. Bahkan berdirinya beberapa ormas seperti NU dan Muhammadiyah juga tidak lepas dari andil dari keturunan tokoh-tokoh Islam Nusantara tersebut. Kami sendiri membahas tema yang satu sudah beberapa tahun yang lalu (kam isudah membahas tema-tema ini secara serius sejak tahun 2005), artinya apa yang kami uraikan ini tidak ada hubungannya  dengan fihak yang melemparkan wacana ini, dan ini juga bukan merupakan “pesanan” dari fihak-fihak tersebut,  semua murni karena kami melihat bahwa isu yang satu ini sudah disalahfahami terlalu jauh.

Islam Nusantara yang wacananya dilemparkan oleh PBNU, sebenarnya kalau mau difahami secara jernih dan mendalam, tidak perlu disikapi dengan reaksi-reaksi yang berlebihan, karena apa yang ada pada wacana ini nantinya sangat berkaitan dengan jejak langkah para ulama terdahulu, lagipula Istilah Islam Nusantara itu bukanlah merupakan mazhab tersendiri atau firqoh baru. Islam Nusantara itu sudah lama ada dan sudah jalankan (sadar atau tidak sadar).  Islam Nusantara, ya Islam yang sejak dahulu kita anut dan sarat akan nilai-nilai budaya dan sosial yang bisa diterima oleh banyak masyarakat dan tema ini bukan “idiologi kaku”, jadi kalau ada orang atau fihak yang tiba-tiba mengeluarkan wacana ini dianggap sebagai  sebuah  “faham” baru yang “sesat menyesatkan” atau “bid’ah yang kesekian kalinya”, menurut kami masih terlalu prematur, apalagi bila diembel-embeli dengan perkataan-perkataan “musyrik”, “kafir”, “jumud”, “lebay”, “tidak syar’i”, “Neo JIL”, KPQ (Komunitas Perusak Aqidah), “Keblinger”, “JIN (Jemaah Islam Nusantara) dengan embel-embel pakaian pocong batik”,   dan cap-cap yang  terkesan kurang dilandasi pada sisi ilmiah, sehingga pada pandangan kami cap-cap tersebut merupakan sesuatu yang terlalu dipaksakan. Lebih tidak masuk akal lagi bila wacana Islam Nusantara itu dianggap sebagai “Pesanannya Amerika Serikat” dengan tujuan “meninabobokan” bangsa ini karena sudah merasa “terbaik” dan “bangga” dengan wacana tersebut. Seolah yang melemparkan wacana itu adalah “pengikut setia” anak emas dari Bani Israil  yang sekarang ini. Padahal dilemparkan wacana tersebut sebenarnya untuk menawarkan sekaligus menunjukkan bahwa Islam itu sebenarnya tidak ektrim, jumud, dan mudah untuk menyalah-nyalahkan sesuatu. Kecenderungan untuk mudahnya menyalahkan, memvonis, bahkan bersikap ekstrim  dengan menggugat terhadap kebiasaan yang sudah lama kita jalankan,  memang akhir-akhir ini telah mengemuka baik dalam konsep negara yang sudah matang  dan final maupun kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mayoritas menganut faham Ahlussunah Wal Jama’ah. Inilah yang menyebabkan wacana Islam Nusantara muncul.

Kalau ada kekhawatiran bahwa  Islam akan semakin “bias” dengan adanya wacana ini, justru menurut kami dengan adanya wacana ini harusnya bisa “memaksa” kita untuk terus mau mempelajari  bagaimana sebenarnya  sejarah perkembangan Islam itu sendiri, baik secara fiqih, tauhid, tassawuf, tafsir, sirah dan cabang-cabang ilmu lainnya. Kalau kita berkata bahwa “Islam ya Islam” atau pendapat “ Islam ya harus kembali kepada Al-Qur’an Dan Sunnah”, “Islam ya harus seperti pada masa Rasulullah SAW”, itu memang benar secara umum, namun secara rinci dan runut,  kalau kita mau jernih dan jeli, bukankah Islam di masa Rasulullah SAW hingga kepada masa sekarang ini, telah kita ketahui berjalan secara mata rantai  yang berkesinambungan,  melalui ilmunya para Ulama yang secara estafet dan sudah saling mewarisi antara satu generasi dengan generasi selanjutnya, hingga  sampai pada masa sekarang, misalnya mulai dari Rasulullah SAW, Para Sahabat, Tabi Tabiin, Ulama-ulama dahulu hingga akhirnya pada ulama yang sekarang, bukankah itu berjalan secara estafet?  Bicara aliran saja, sampai saat ini masih terus terjadi perbincangan hangat, seperti misalnya mengenai Syiah, Sunni, Khawarij dan lain-lain, sehingga dalam pembahasannya, kita ini tetap membutuhkan peran ulama dalam menjelaskan apa Islam yang sesungguhnya. Belajar tentang Islam sebenarnya tetap harus membutuhkan peran serta dan bimbingan ulama yang lebih mengerti seluk beluknya agama Islam. Tidak bisa kita belajar agama secara otodidak apalagi hanya melalui sebuah terjemahan. Islam ya tetap harus dipelajari kepada ulama yang memiliki pengetahuan mendalam dan juga memiliki sanad yang berkesinambungan. Jadi menurut kami  jangan juga memotong peran para ulama dalam memperkenalkan Islam ini dengan mengambil loncatan langsung kepada masa Rasulullah SAW  apalagi dengan mengeyampingkan perjalanan sanad dari para Sahabat, Tabi tabiin, Ulama Ahlul Bait, Imam Mazhab Empat dan ulama-ulama yang bersanad lainnya seperti Majelis Dakwah Walisongo.

Kita semua harus tahu, bahwa yang dimaksud dengan Islam Nusantara itu adalah Islam yang dibawa oleh penyebar Islam yang bernaung dalam organisasi Majelis Dakwah Walisongo yang kesemuanya ini mempunyai mata rantai atau sanad keilmuwan hingga kepada Rasulullah SAW. Sehingga kekhawatiran akan tema Islam Nusantara sebenarnya tidak perlu harus terjadi.

Majelis Dakwah Walisongo atau kami menyebutnya Madawis adalah organisasi dakwah yang berdiri sejak tahun 1404 Masehi atas prakarsa Sultan Muhammad I dari Turki Usmani. Didirikannya Organisasi ini  karena berkat adanya kerjasama yang baik antara keluarga besar keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan dengan fihak Turki. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan adalah salah satu keturunan dari Keluarga Besar Alawiyyin yang hijrah dari Tarim Hadramaut ke India. Sebagian keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan ini kemudian banyak menyebar di berbagai negara dan mereka banyak mempunyai hubungan yang baik dengan para penguasa-penguasa di setiap negara termasuk Turki Usmani yang saat ini sedang membangun kejayaannya.

Puncak kejayaan Majelis Dakwah Walisongo adalah ketika berdirinya Kesultanan Islam Demak terutama ketika pada masa Raden Fattah. Kesultanan Islam Demak yang merupakan negara Islam pertama di Pulau Jawa sangat mendukung gerakan Madawis ini. Dibawah lindungan Kesultanan Islam Demak, Majelis Dakwah Walisongo semakin berkibar di Nusantara. Tidak akan berjaya Islam pada saat itu tanpa ada hubungan yang harmonis antara Kesultanan Islam Demak dan Majelis Dakwah Walisongo. Sehingga sangatlah wajar dari generasi satu hingga generasi saat ini keturunan Walisongo dan Keturunan Islam Demak masih terus menjalin hubungan yang baik.

Tentu sebagai sebuah organisasi dakwah yang isinya banyak ulama-ulama dan dai-dai berpengalaman, mereka mempunyai cara dan strategi tersendiri dalam melakukan penyebaran Islam. Pada setiap tempat yang akan mereka singgahi, metode dakwah mereka selalu menyesuaikan dengan kultur setempat tanpa pula harus kehilangan nilai-nilai Islam yang kuat. Dan sudah  tentu Islam yang dikembangkan oleh Majelis Dakwah Walisongo adalah Islam yang dianut para leluhur mereka yang ada di Hadramaut Yaman yaitu Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah. Walisongo secara mutlak adalah penganut Islam yang sama dengan Imam Ahmad Al-Muhajir yang merupakan nenek moyangnya Bani Ba’alawi yang banyak menyebar ke berbagai penjuru dunia. Keluarga Besar Majelis Dakwah Walisongo dan juga Kesultanan Islam Demak adalah penganut setia faham dan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Walisongo Dan Kesultanan Islam Demak yang merupakan bagian keluarga Alawiyyin, dalam praktek keislamannya selalu mengedepankan Akhlak dan Budi Pekerti yang sesuai dengan ajaran leluhur mereka, dari mulai Akhlaknya Rasulullah SAW, Imam Ali KWA, Sayyidina Husein Ra, Imam Ali Zaenal Abidin Ra, Imam Muhammad Al-Baqir Ra, Imam Jakfar As-Shodiq Ra, Imam Ali Al-Uradidhi Ra, hingga kepada Imam Ahmad Al-Muhajir, kemudian jejaknya mereka ini diteruskan oleh salah satu keturunan mereka yang bernama Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang hijrah Ke India, kemudian dilanjutkan lagi oleh keturunan mereka yang bernama Majelis Dakwah Walisongo.

Majelis Dakwah Walisongo adalah pemegang mazhab Imam Syafi’i, Mereka juga sangat teguh dalam ajaran dan aqidahnya Imam Abu Hasan Al Asy’ari (Asy’ariah), mereka juga banyak mempelajari dan mempraktekkan tassawufnya Al Ghazali, Syadzili dan juga Syekh Abdul Qodir Jaelani. Mereka  juga banyak yang merupakan mursyid Thariqoh dan sufi-sufi yang terkenal, mereka juga merupakan negarawan, politikus, ahli strategi militer, budayawan, ahli dinar dirham, ahli tata negara, dokter, dan bidang profesi lainnya. Islam Ahlussunah Wal Jama’ah dalam konsepnya Walisongo penuh dengan keramahan, kaya akan nilai-nilai toleransi, akomodatif terhadap keinginan masyarakat, tegas dalam bersikap. Dan wajah islam inilah yang kelak ditanam secara sporadis oleh Majelis Dakwah Walisongo dan Kesultanan Islam Demak di bumi Nusantara ini.

Yang juga perlu kita harus ketahui bersama bahwa sebenarnya  Islam yang disebarkan Walisongo dan Kesultanan Islam Demak itu tidak hanya berada di pulau Jawa saja, namun peta penyebarannya ternyata juga merambah ke berbagai wilayah Nusantara lain, tercatat betapa hubungan dakwah Madawis ini juga merambah wilayah Champa (Vietnam Selatan), Patani (Thailand), Kelantan, Malaka (Malaysia), Tumasik (Singapura), Mindanau Sulu (Phlipina), Kalimantan (Borneo, Banjar), Sulawesi, Lombok, Ternate, Tidore, Jazirah Al-Mulk (Maluku), Aceh (Pasai), Aru Barumun (Deli Lama), Melayu (Riau), Minangkabaw, Pagar Uyung, Jambi, Palembang, Lampung, Sunda, dll. Selama ini kita sering menyangka jika Walisongo dan Kesultanan Islam Demak peta penyebaran Islamnya hanya berkibar di Jawa dan Sunda saja, padahal gerak langkah mereka banyak merambah ke berbagai wilayah Nusantara, baik itu berupa hubungan diplomatik maupun hubungan dagang, militer dan juga dakwah. Kami sendiri heran jika Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ruang lingkupnya hanya disebut dan dibatasi di pulau Jawa saja, padahal hubungan dan jaringan mereka itu tersebar di berbagai wilayah Nusantara, ini Nanti akan dibuktikan dengan banyaknya keturunan mereka yang hijrah dan berdakwah di daerah daerah Nusantara tersebut,  bahkan jaringan mereka juga tersebar di berbagai mancanegara seperti Turki, Samarkand (Uzbekistan), Maroko, India, Afrika, Yaman, Irak, Iran, Mekkah, Madinah.

Sebagai sebuah organisasi gerakan dakwah, sudah tentu cara dakwah mereka  dilakukan dengan  sistematis dan terukur. Sehingga pada akhirnya bisa kita lihat pada masa sekarang ini, betapa Islam yang tumbuh dan berkembang adalah Islam yang ramah, toleran, akomodatif dan kultural tanpa kehilangan sebuah sikap tegas. Namun demikian sudah tentu Majelis Dakwah Walisongo pada masa itu juga tidak ingin nasib dakwahnya seperti negara Andalusia (Spanyol), Bani Abbasiah, Bani Umayyah, dan beberapa lagi yang lainnya yang kini hanya menjadi kenangan. Pelajaran berharga ini tentu telah mereka dapati dan pelajari kenapa Andalusia dan beberapa negeri Islam  yang lain bisa lenyap dan berganti kepercayaan lain. Oleh karena itu dari kegagalan negeri-negeri Islam itulah Majelis Dakwah Walisongo telah belajar banyak, dan ini terbukti hingga kini Islam masih bisa terus bertahan  sesuai dengan khasnya sendiri.

Dalam beberapa pendapat, ada fihak yang mengatakan kalau Islam Nusantara terlalu akomodatif terhadap beberapa aliran menyimpang dan terkesan lembek dalam menghadapi hal tersebut, sebenarnya hal tersebut tidak benar juga. Kalau dikatakan Islam Nusantara itu seolah lembek atau terlalu akomodatif pada pemikiran atau aliran yang menyimpang, jangan lupa, dalam sejarahnya Islam Nusantara itu berapa kali pernah bersikap tegas dalam berapa hal, terutama ketika menghadapi penguasa Majapahit yang bernama Dyah Ranawijaya yang telah mengkudeta Kertabumi. Dyah Ranawijaya inilah yang kemudian dihadapi Majelis Dakwah Walisongo dan Kesultanan Islam Demak karena sepak terjangnya yang intoleran terhadap perkembangan Islam pada masa itu, padahal Kertabumi sendiri telah menjalin hubungan baik dengan Walisongo dan Demak. Pada sisi lain Madawis  dan Kesultanan Islam Demak juga pernah menghadapi Portugis yang ingin menjajah Sunda Kelapa (kini Jakarta) dan Panarukan (kini berada di Siitubondo Jawa Timur). Pada masa Raden Fattah, terutama pada tahun 1512 – 1513 Masehi  Kesultanan Islam Demak dibawah Restu Majelis Dakwah Walisongo bahkan pernah mengirim “Tim Expedisi Jihad Ke Malaka”, kemudian dilanjutkan lagi pada tahun 1521 Masehi. Adanya ekspedisi jihad dan perlawanan terhadap Majapahit era Dyah Ranawijaya/Girindrawardana membuktikan jika Madawis dan Demak bisa bersikap tegas.

Pada kedua persoalan tersebut Madawis dan  Kesultanan Islam Demak bahkan bisa dikatakan bahwa mereka sudah  masuk dalam semangat “jihad fi sabilillah”, karena ini menyangkut kehormatan Islam yang sudah dibangun  dengan damai di bumi Nusantara, dan ini ternyata pernah terjadi pada   tanggal 10 November 1945 dimana Mbah Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan resolusi jihad, sehingga membuat santri dan ulama-ulama seluruh ulama Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur turun habis-habisan melawan tentara Sekutu. Sehingga pada tanggal tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan, dan sebagai unsur terpenting dalam perlawanan tersebut adalah para santri dan ulama, dan ini diakui oleh Bung Tomo sebagai pembakar semangat jihad pada perang tersebut. Bahkan Bung Tomo selalu menunggu fatwa-fatwa dari Mbah Hasyim Asy’ari untuk melakukan perjuangan melawan penjajah.

Pada permasalahan lain, misalnya perbedaan sudut pandang tentang aliran tassawuf atau keputusan-keputusan hukum pada masa itu, semua diselesaikan dengan adanya  sebuah halaqoh dengan diiringi hikmah kebijaksanaah terlebih dahulu antar anggota Walisongo, setelah itu baru keluar produk hukum dan ini kemudian diikuti jejaknya oleh para kyai-kyai keturunan Walisongo yang berfikir bijak dulu sebelum melakukan produk hukum. Islam di masa Walisongo dan Kesultanan Demak betul-betul seperti merupakan wajah Islam yang ideal, sehingga pada masa itu,  di wilayah-wilayah binaan Walisongo dan Demak nuansa kenyamanan sangat terasa.

Islam yang dikembangkan Madawis dan Demak kalau mau dipelajari adalah Islam yang berwajah khas dan unik karena disitu telah banyak terjadi akulturasi dalam berbagai bidang, disamping itu latar belakang pendidikan agama para anggota Walisongo yang berbeda telah memunculkan wajah Islam yang khas Nusantara.

Dalam sejarah Majelis Dakwah Walisongo, beberapa tokohnya seperti Sunan Giri atau juga Sunan Ampel adalah merupakan simbolisasi gerakan Islam yang murni dan konsekwen, hal ini wajar karena latar belakang pendidikan mereka itu lebih banyak berada diwilayah pesisir pantai seperti Aceh, Champa, dimana daerah-daerah tersebut interaksi dengan dunia Timur Tengah lebih banyak dilakukan dan wajah keislamannya memang terkenal tegas dan disiplin (namun bukan pula keras seperti Kaum Khawarij dan juga “neonya”). Sikap yang timbul pada beliau-beliau ini  adalah hal yang wajar mengingat mereka ini mempunyai ilmu yang mendalam tentang tauhid dan ilmu fiqih, maka sudah tentu mereka sangat berhati-hati sekali dalam menentukan hukum dan takut bila terjerumus pada perbuatan  yang tidak sesuai dengan Sunnah Rasul, apalagi medan dakwah mereka kali ini sebuah negeri yang berbeda dari negeri lain.

Sedangkan pada barisan kedua adalah seperti Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Derajat yang wajah Islamnya sudah lebih kental dengan wilayah pedalaman, dimana masyarakatnya masih banyak dipengaruhi kebudayaan lama. Pada wilayah pedalaman, para Walisongo yang kami sebut ini mempunyai pandangan, bahwa dakwah di wilayah pedalaman ini tidak sama dengan wilayah pesisir,  proses pengislamannya tidaklah sama dengan wilayah pesisir yang lebih terbuka dan cepat apalagi pola komunikasi pesisir bisa langsung dengan tokoh dari luar yang banyak membawa ajaran Islam yang langsung dari wilayah Timur Tengah seperti Mekkah, Madinah, Yaman dll, sedangkan  pada masyarakat pedalaman ini, mereka masih tertutup aksesnya terhadap luar, mereka lebih fokus pada sisi agraris daripada kelautan yang didominasi kalangan pesisir. Pada masyarakat pedalaman, kebanyakan mereka masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan lama sehingga butuh proses dan waktu yang tidak sebentar serta strategi cerdas dan bijaksana  untuk mengislamkan mereka.

Uniknya sekalipun antara Walsongo berbeda cara dan strategi dalam melakukan proses Islamisasi, justru perbedaan mereka itu bisa menyatu dengan sinergis dan mengagumkan, terutama ketika Kesultanan Islam Demak berdiri. Dibawah pemerintahan Kesultanan Islam Demak yang Sultan Pertamanya adalah Raden Fattah, semua bisa bersatu dalam misi menyebarkan Islam  Yang Rahmatan Lil Alamin. Majelis Dakwah Walisongo masing-masing bisa bergerak dengan pola dakwahnya yang khas tanpa harus mengatakan bahwa “pola dakwah wali yang satu itu bid’ah atau sesat”, atau misalnya dengan mengatakan  “pola dakwah wali ini tidak ada di masa Nabi”. Masing-masing Walisongo tetap saling menghormati dan saling memberikan masukan, penguatan dan motivasi. Pada wilayah pesisir Islam dikembangkan dengan caranya sendiri dan langkah ini juga didukung oleh Walisongo yang bergerak di pedalaman, sedangkan pada wilayah pedalaman, Islam juga dikembangkan sesuai pemahaman masyarakat pedalaman, dan langkah walisongo yang di pedalaman ini sangat difahami oleh Walisongo yang bergerak di pesisir. Dan untuk melakukan sebuah evaluasi gerakan dakwah mereka,  pada setiap waktu tertentu telah disepakati untuk mengadakan sebuah pertemuan, apakah itu di Kesultanan Islam Demak, di Ampel, di Giri Kedaton, di Cirebon, Tuban, Kadilangu, Derajat, dan beberapa tempat wali lainnya. Pada pertemuan itu masing-masing anggota Walisongo bisa saling bertukar pengalaman dalam penyiaran agama pada masa itu. Sekalipun Walisongo yang kami sebut itu tidak hidup pada suatu masa yang sama, namun komunikasi antar pengikut, atau anak-anak mereka tidak pernah putus untuk koordinasi mengenai penyebaran Islam di Nusantara. Betapa indahnya Islam pada masa Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ini, semua bisa saling menghargai dan saling kersajama tanpa perlu mengatakan, itu sesat, ini keblinger, ini bid’ah, ini aliran baru, ini itu bla bla bla.............

Dibawah Pemerintahan Kesultanan Islam Demak wajah khas Islam Nusantara semakin berkibar, disitu ada wajah timur tengahnya, disitu ada wajah pedalamannya, disitu ada wajah akulturasinya, disitu juga ada pengaruh gaya pemerintahan Turki Usmani, disitu juga banyak dikembangkan kehidupan sosial budaya, pada bidang kegiatan sastra, seni semakin banyak bermunculan karya-karya berkelas, pada bidang militer juga  banyak mengadopsi strategi militernya Rasulullah SAW, pada bidang bilateral juga ditambah dengan menghubungi kesultanan-kesultanan Nusantara, dan untuk membuat jaminan kehidupan aman, maka dibuat Undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam (pada masa ini muncul kitab Jugul Muda, Salokantara sebagai Kitab Undang-Undang), toleransi juga dilaksanakan kepada pemeluk agama lain (banyak bangunan hindu budha yang dibiarkan berdiri). Wajah Islam ditangan Walisongo dan Kesultanan Islam Demak telah membuat kagum beberapa kesultanan sehingga Demak dan Walisongo banyak didatangai berbagai bangsa untuk melihat lebih dekat bagaimana kehidupan Islam yang telah berhasil di tanam ini. Pada masanya beberapa wilayah Nusantara terus mengadopsi wajah Islam yang dikembangkan Walisongo dan Demak.

Islam pada masa Walisongo dan Kesultanan Islam Demak adalah Islam yang betul-betul “warna-warni” dengan ke kekhasannya, nilai-nilai budaya setempat dan nilai-nilai nuansa timur tengah bahkan bisa menjadi satu, serapan bahasa, gaya berpakaian, dan juga aturan hukum dan adat bisa selaras, jadi kalau ada fihak mengatakan Islam Nusantara itu anti akan hal-hal yang berbau arab, ini justru menurut kami aneh, lebih aneh lagi kalau Islam Nusantara seolah-olah  tidak bisa dihubungkan dengan arab. Kalau kita melihat bagaimana lukisan-lukisan Walisongo yang beredar, kita bisa lihat bagaimana wajah mereka yang memelihara jenggot dan berikatkan sorban (imamah) dan juga memakai jubah/gamis, namun uniknya dipinggang mereka juga kadang diselipkan keris. Pakaian keulamaan Walisongo itu berkembang lebih khas, justru ketika pada masa Walisongo itu sendiri. Para ulama NU dan Muhammadiyah dulu bahkan kalau mau dilihat cara pakaian dan wajahnya, sangat khas arabnya (sekalipun sebenarnya interpretasi budaya arab dan sunnah Rasul itu sering tertukar dalam konteksnya).  Pada aspek pakaian yang dikembangkan Walisongo, sebenarnya juga merupakan alat untuk berdakwah, seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga. Alangkah anehnya Islam Nusantara jika dikatakan anti arab, padahal anggota Walisongo dan keturunannya justru keturunan Arab !

Islam Nusantara secara simpelnya sebenarnya bisa kita lihat dengan adanya kebiasaa-kebiasaan yang  sering dilakukan oleh banyak masyarakat Islam di Nusantara seperti  misalnya : berziarah kubur terhadap makam ulama dan juga orangtua, peringatan wafatnya ulama (Haul), perayaan Maulid Nabi, Peringatan Isra Mi’raj, Perayaan Tujuh bulanan, Pelaksanaan runtutan Aqiqah, Pelepasan dan penyambutan haji yang meriah dan syahdu, Pelaksanaan Tahlil, Pembacaan Yasin bersama, Pembacaan Riwayat Orang Soleh (manaqib), Pembuatan makanan-makanan khas menjelang hari raya besar (seperti kolak ayam di Gresik yang diciptakan Sunan Dalem bin Sunan Giri), budaya Tarekat, pemakaian beduq untuk menandakan waktu sholat,  perayaan sekaten, pemakaian tanaman gaharu dan cendana untuk menggantikan kemenyan dalam beberapa kegiatan, pembuatan Masjid dengan mengadopsi bangunan lama (lihat bangunan Masjid Kudus dan pelajari filosofis Bangunan Masjid Demak), Pendirian Pondok Pesantren yang dimulai dari Ampel, Giri, Demak yang metode belajarnya masih terus bertahan dan diikuti banyak pondok pesantren, pembuatan baju takwa dengan mengadopsi jubah dan imamah ulama (lihat blangkon dan baju Takwa ala jogya), peringatan satu Muharom (berkaitan dengan anak Yatim), Penyajian Dakwah dengan Kesenian wayang kulit, sering diadakannya kidung (mirip dengan qosidah) pada sebuah pertemuan keagamaan, dan juga membuat seni-seni lain sesuai Syar’i  namun juga bisa difahami dan diterima masyarakat. Semua ini pada masa Walisongo dan Kesultanan Islam Demak sudah muncul dan diakomodir Raden Fattah sebagai penguasa, hingga akhirnya masyarakatpun merasa nyaman dan merasa bahwa Islam itu agama yang melekat di hati mereka. Sebenarnya masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang kami sebut diatas, dan itu baru sebagian kekayaan Islam Nusantara. Dan sebagian tradisi itu mulai digugat oleh sebagian fihak. Padahal apa yang dilakukan oleh Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ini sudah difikirkan secara matang dan selaras dengan ajaran Islam. Bukankah  anggota Walisongo itu merupakan ulama yang multi talent dalam berbagai  bidang keilmuwannya? Bukankah Raden Fattah juga merupakan Sultan yang alim dan kebanggaan Sunan Ampel ?  Jadi kalau ada yang mengatakan Islam yang dikembangkan Walisongo dan Kesultanan Islam Demak itu penuh dengan penyimpangan dan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian, sebaiknya menurut kami pelajari dululah siapa Walisongo dan juga Kesultanan Islam Demak secara utuh dan mendalam, bukankah ada peribahasa “tidak kenal maka tidak sayang”.


Kolaborasi Walisongo dan Kesultanan Islam Demak ini pada akhirnya memunculkan wajah Islam  yang unik inilah yang didalamnya penuh dengan nilai-nilai ramah, toleransi, akomodatif, kultural, dan juga tegas. Dan inilah yang disebut Islam khas Nusantara. Islam Nusantara terus berkembang dan terus dipertahankan di banyak pondok-pondok pesantren yang diasuh ulama-ulama serta para tokoh politik bangsa yang juga banyak keturunan dari Walisongo dan Kesultanan Islam Demak seperti Pangeran Diponegoro (Dzurriyah Raden Bondan Kejawan/Sayyid Abdurrahman Jumadhil Kubro), Imam Bonjol (Dzurriyah Sunan Giri), Syekh Nawawi Banten (Dzurriyah Sunan Gunung Jati), Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi (Dzurriyah Sunan Giri), Mbah Kholil Bangkalan (Dzuriyah Sunan Kudus), Kyai As’ad Syamsul Arifin (Dzuriyah Sunan Ampel),  Syekh Junaid Al-Batawi (dzuriyah Raden Fattah), Kyai Hasan Besari (Dzurriyah Raden Fattah), HOS Cokroaminoto (Dzurriyah Raden Fattah), KH Muhammad Dahlan Pendiri Muhammadiyah (Dzurriyah Sunan Giri), Mbah Hasyim Asy’ari (Dzurriyah Syarif Muhammad Kebungsuan Azmatkhan) dan masih banyak lagi lainnya yang namanya kini telah tercatat dalam sebuah kitab nasab yang bernama Al-Mausuuah Li Ansabi Al Imam Al-Husaini yang disusun Oleh As-Syekh As-Sayyid Bahruddin bin Sayyid Abdurrozaq Azmatkhan Al-Husaini.

Secara umum ajaran yang dikembangkan oleh Walisongo dan Demak tetap mengacu prinsip “Rahmatan Lil Alamin”. Konsep ini kemudian juga mengacu pada Surat Annahl Ayat 125 yang berbunyi :  “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

Sedangkan Secara rinci ada lima strategi dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dalam mengemban misi Islam yaitu :
  1. Penyebaran ulama ke daerah-daerah yang menjadi bawahan Majapahit.
  2. Sistem dakwah dilakukan dengan cara pengenalan ajaran islam melalui pendekatan persuasif yang berorientasikan penanaman aqidah Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
  3. Melakukan perang idiologi untuk memberantas etos dan nilai-nilai dogmatis yang bertentangan dengan nilai-nilai aqidah Islam dimana peran ulama harus menciptakan mitos dan nilai-nilai tandingan baru yang sesuai dengan Islam.
  4. Melakukan pendekatan terhadap para tokoh yang dianggap mempunyai pengaruh di suatu tempat dan berusaha menghindarkan konflik.
  5. Berusaha menguasai kebutuhan kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, baik kebutuhan yang bersifat materi maupun spritual.
Dari ayat inilah peran Majelis Dakwah Walisongo lebih terasa pada masa itu, terutama ketika mereka mampu menanamkan nilai-nilai pribadinya sebagai uswah bagi masyarakat seperti misalnya :   
  1. Mempunyai sifat Mahabbah/Kasih Sayang.
  2. Menghindari pujian karena pujian hanya milik Allah
  3. Selalu risau dan sedih bila melihat kemaksiatan
  4. Semangat berkorban  harta dan jiwa
  5. Selalu memperbaiki diri
  6. Mencari Ridho Allah SWT
  7. Selalu istigfar setelah melakukan kebaikan
  8. Sabar menjalani kesulitan
  9. Memupukkan semua kejagaan hanya kepada Allah SWT
  10. Tidak putus asa  dalam menghadapi ketidak berhasilan usaha
  11. Istiqomah seperti unta
  12. Tawadhu seperti bum
  13. Tegar seperti gunung
  14. Pandangan luas dan tinggi menyeluruh seperti langit
  15. Berputar terus  seperti matahari sehingga memberikan kepada semua mahluk  tannpa minta bayaran

Dari ayat annahl 125 kemudian diaplikasikan dengan 15 hal diatas ini,  inilah jejak dan langkah Majelis Dakwah Walisongo dalam menyebarkan Islam yang Rahmatan lil alamin yang bersendikan ajaran leluhur mereka yaitu ajaran “Ahlusunnah Wal Jama’ah” dengan khasnya tersendiri, hingga kemudian memunculkan wajah Islam yang dikenal ramah dan damai dimata beberapa negara lain yaitu “Islam Nusantara”, dan itu adalah berkat jasa Majelis Dakwah Walisongo dan Kesultanan Islam Demak.

Sumber :

Syaifullah, Ajaran Dan Amalan Walisongo, Yogyakarta : Interpree Book, Cet 1,  2010.
Iwan Mahmud Al Fattah, Raden Fattah, Sang Patriot Revolusioner (Pendiri Kesultanan Islam Pertama di Pulau Jawa), Jakarta : Ikrafa-Madawis, 2015.
Nur Amin Fattah, Metode Dakwah Walisongo, Pekalongan : CV Bahagia, cet ke 6, 1997. As-Syekh Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al-HJusaini, Al-Mausuuah Li Ansabi Al-Imam Al-Husaini, Jakarta : Madawis, 2015.
Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, The Return Of Dinar Dirham, Jakarta : Madawis, 2014.

Profil Penulis :

Anggota Majelis Ilmu Al Mujahidin Jalan Kimia & Raudatul Fattah Matraman 1988 - 1993
Anggota Perguruan Jamiah Nurul Hikmah Jakarta 1989 – 1993
Santri Madrasah Diniyah Tsaqofah Islamiah Bukit Duri  Jakarta Selatan (Sayyid Abdurrahman Assegaf) 1991 – 1994
Remaja Masjid Jami’ Matraman Dalam Jakarta Pusat 1991 -1993
Mengikuti Pendidikan Kader Dakwah GP Anshor Jakarta 1991
Aktifis HMI MPO  1993 – 1995
Anggota Laskar Muda Pecinta Alam (Lampea) 1994 s/d sekarang
Aktifis Resimen Mahasiswa Attahiriah 1993 – 1995
Anggota Seni Bela Diri Prana Shakti Jayakarta 1995
Anggota IKPA YBSJ (Bea Siswa Pemda DKI) 1995 – 1998
Pendiri Pencinta Alam Girindra IKPA 1997
Kader Konservasi Alam Dan Lingkungan 1995 – 1998
Kader Penyuluh Pariwisata Bagi Pecinta Lingkungan 1996
Kader Konservasi Laut (Pendidikan Kelautan TNI AL di Makasar) 1997
Aktivis pada Organ Kemahasiswaan FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se Jakarta) 1998 – 1999
Meraih gelar S 1 PAI di Universitas Islam Attahiriah Jakarta 1999
Anggota Perhimpunan Penempuh Rimba Dan Pendaki Gunung Wanadri 2001 s/d sekarang
Angota Korps Suka Rela PMI Jakarta Selatan 2002 s/d sekarang
Guru SMA Global Islamic School Jakarta 2005 s/d sekarang
Pengurus Masjid Azzahra Condet Jakarta 2007 – 2009
Pendiri dan Pembina Gloics Adventure Team SMA GIS 2007
Anggota IGI (Ikatan Guru Indonesia) 2009
Anggota MGBK Jakarta Timur 2009
Jamiah Zikir Manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani Jalan Talang Jakarta 2010
Meraih Magister S2 Psikologi tahun 2009 di UPI YAI Jakarta
Ketua Ikatan Keturunan Raden Fattah (Ikrafa) 2011 s/d sekarang
Ketua Majelis Dakwah Walisongo Indonesia 2012 s/d  sekarang

PETA DAKWAH NABI MUHAMMAD & PARA SAHABAT KE SELURUH DUNIA (TERMASUK NUSANTARA)

Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh (Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)

KEHEBATAN DAN KEISTEMEWAAN NABI MUHAMMAD DALAM MEMIMPIN STRATEGI DAKWAH ISLAM KE SELURUH DUNIA

Allah Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan tentang wilayah dakwah Nabi Muhammad Saw:

[ وَماَ أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ - [ الأنبياء: 107

"Dan Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam".

Strategi dakwah Islam Rahmatal Lil 'Alamin yang dipimpin oleh Rasulullah Saw, dibuktikan oleh catatan sejarah berikut ini (disesuaikan dengan Geografi Negara saat ini):

ASIA BARAT
  1. Ali bin Abi Thalib, pernah datang dan berdakwah di Kawasan Asia Barat meliputi beberapa negara: Arab Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Iraq, Yordania, Syiria, Lebanon, Palestina, Israel, Cyprus, Turki, Afghanistan, dan Iran. Dilakukan sejak tahun 622 Masehi. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.9; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  2. Abu Bakar Ash-Shiddiq, berdakwah ke Damaskus, Syiria (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929,h.10; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  3. Umar bin Khattab, berdakwah juga di kawasan Palestina, Syiria, Turki dan kawasan Mesopotamia (Iraq). (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.11, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  4. Mu'adz bin Jabal, berdakwah ke Yaman (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.12)
  5. Amr bin 'Ash, berdakwah ke Yerussalem, Palestina (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.13; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  6. Surahbil, berdakwah ke Yerussalem, Palestina (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.13; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  7. Abdullah bin Hudhafah as-Sahmi, berdakwah di Persia, diutus kepada Kisra Persia. Sekarang negara Iran. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.14)
  8. Shuja’ bin Wahab al-Asadi, berdakwah kepada Pangeran Ghassan. Palestina (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.15)
  9. Hauzah bin ‘Ali Hanafi, berdakwah dan diutus kepada penguasa Yamamah. Yamamah terletak di Negara Saudi Arabia. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, 15)
ASIA SELATAN
  1. Ali bin Abi Thalib, Pernah datang dan dakwah di kawasan Shind (Hind), yang meliputi kawasan: Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, Sri Lanka. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.20)

ASIA TENGGARA
  1. Ali bin Abi Thalib, pernah datang dan berdakwah di Garut, Cirebon, Jawa Barat (Tanah Sunda), Indonesia, tahun 625 Masehi. Perjalanan dakwahnya dilanjutkan ke dari Indonesia ke kawasan Nusantara, melalui: Timur Leste, Brunai Darussalam, Sulu, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar, Kampuchea. (Sumber: H.Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, Bulan Bintang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39)
  2. Ja'far bin Abi Thalib, berdakwah di Jepara, Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah (Jawa Dwipa), Indonesia,sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.33)
  3. Ubay bin Ka'ab, berdakwah di Sumatera Barat, Indonesia, kemudian kembali ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.35)
  4. Abdullah bin Mas'ud, berdakwah di Aceh Darussalam dan kembali lagi ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay Archipelago)
  5. 'Abdurrahman bin Mu'adz bin Jabal, dan putera-puteranya Mahmud dan Isma'il, berdakwah dan wafat dimakamkan di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. sekitar tahun 625 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.38)
  6. Akasyah bin Muhsin Al-Usdi, berdakwah di Palembang, Sumatera Selatan dan sebelum Rasulullah Wafat, ia kembali ke Madinah. sekitar tahun 623 M/ 2 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39; Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986; R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929;  T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968)
  7. Salman Al-Farisi, berdakwah Ke Perlak, Aceh Timur dan Kembali Ke Madinah. sekitar tahun 626 M/ 4 H. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39)

ASIA TENGAH
  1. Utsman bin Affan, pernah datang dan berdakwah di Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgystan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, 15)
  2. Zaid bin Tsabit, pernah datang dan berdakwah di Armenia (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.20)
  3. Abdullah ibn Zubair, pernah datang dan berdakwah di Kazakstan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.32)
  4. Sa’id ibn Ash, pernah datang dan berdakwah di Kirgystan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.41)
  5. Abdurahman ibn Harits ibn Hisyampernah datang dan berdakwah di Tajikistan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.54)
  6. Malik Ibn Abi ‘Amirpernah datang dan berdakwah di Uzbekistan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.88)
  7. Katsir Ibn Aflahpernah datang dan berdakwah di Uzbekistan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.99)
  8. Hudzaifan bin Yamanpernah datang dan berdakwah di Armenia dan Azerbaijan(Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h,114)

ASIA TIMUR
  1. Anas ibn Malikberdakwah ke China/Tiongkok melalui Nusantara, kawasan yang disinggahi yaitu: Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Mongolia, RRC, dan Taiwan. (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.61)
  2. Abdul Wahab Abi Kasbah, berdakwah ke China/Tiongkok melalui Nusantara dan Wafat dimakamkan di China. Kawasan yang disinggahi adalah: Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Mongolia, RRC, dan Taiwan. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.41;  T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968 ; F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua,His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159.)

AMERIKA UTARA
  1. Abu Bakrah (nama lengkapnya Nafi’ bin al-Harith bin Kaldah Bin ‘Amr bin Ilaj bin Abi Salamah), pernah datang dan berdakwah di wilayah Amerika Utara (Bani Qanturah) pada tahun 622-637 M, melalui jalur: Amerika Serikat dan Kanada. Bukti ini dapat dilihat dalam sebuah hadits: Dari Abu Bakrah bahwasanya Rasulullah telah bersabda: “Akan ada segolongan kaum dari umatku yang menetap di sebuah daerah yang mereka namakan Bashrah, di sisi sebuah sungai yang disebut Dijlah (Dajlah), dan di atas sungai itu ada sebuah jembatan. Penduduk daerah itu akan bertambah banyak, dan ia akan menjadi salah satu negeri dari negeri-negeri orang-orang yang berhijrah. [Perawi Muhammad ibnu Yahya berkata: Abu Ma’mar meriwayatkan dengan mengatakan: negeri-negeri kaum muslimin]. Kelak di akhir zaman Bani Qanthura’ yang berwajah lebar dan bermata sipit akan datang menyerbu, sehingga mereka mencapai tepian sungai Dajlah. Pada saat itulah penduduk daerah itu akan terpecah menjadi tiga kelompok. Satu kelompok mengikuti ekor sapi (menuntun binatang mereka) dan menyelamatkan diri ke pedalaman, Mereka akan binasa. Satu kelompok lainnya memilih menyelamatkan dirinya dengan jalan memilih kekafiran. Adapun kelompok terakhir menempatkan keluarganya di belakang punggung mereka dan bertempur melawan musuh. Mereka itulah orang-orang yang akan mati syahid.” HR. Abu Daud, dihasankan oleh Al Albani. (Menurut Imam  Syamsul Haq ‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, dijelaskan bahwa Bani Qanthurah adalah Amerika).

AMERIKA TENGAH
  1. Abu Bakrah (nama lengkapnya Nafi’ bin al-Harith bin Kaldah Bin ‘Amr bin Ilaj bin Abi Salamah)pada tahun 638-653 M, meluaskan dakwahnya di wilayah Amerika Tengah melalui jalur: Belize, Dominika, El Savador, Grenada, Guetamala, Haiti, Honduras, Kep.Bahama, Kostarika, Kuba, Meksiko, Nikaragua, Panama, Puerto Rico, Rep.Saint Lucia, St. Vincent & Grenadines, Trinidad and Tobago dan Kepulauan Karibia.

AMERIKA SELATAN
  1. Abu Bakrah (nama lengkapnya Nafi’ bin al-Harith bin Kaldah Bin ‘Amr bin Ilaj bin Abi Salamah)pada tahun 654-670 M pernah datang dan berdakwah di wilayah Amerika Selatan, yaitu meliputi: Argentina, Bolivia, Brazil, Cile, Ekuador, Guyana, Guyana Perancis, Paraguay, Peru, Suriname, Uruguay dan Venezuela . Kemudian pada tahun 671 Abu Bakrah pindah ke Bashrah (Iraq), dan  menurut Ibnu Khayyat dalam kitab al-Tabaqat berpendapat Abu Bakrah wafat pada tahun 52H atau 674 Masehi.

AFRIKA BARAT
  1. Uqbah Bin Nafi, adalah komandan pasukan Islam yang membebaskan seluruh wilayah gurun besar Afrika. Wilayah yang dilalui adalah: Benin, Burkina Faso, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Liberia, Mali, Mauritania Nigeria, Pantai Gading, Senegal, Sierra Leone, Tanjung Verde, dan Togo (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, volume 4-5, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1999)

AFRIKA SELATAN
  1. Abdullah Ibn Abbaspernah datang dan berdakwah di Afrika Selatan, Bostwana, Lesotho, Namibia, Swaziland, dan Zimbabwe. Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005, h.77)

AFRIKA TIMUR
  1. ‘Amar bin Umayyah, berdakwah ke Ethiopia diutus kepada Raja Etiopia. Negara Ethiopia ada di Afrika Timur.(Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.52)

AFRIKA TENGAH
  1. Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, berdakwah di wilayah Angola, Gabon, Kamerun, Kongo, Afrika Tengah, Saotome & Principe, Zaire dan Zambia (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3, Penerbit MADAWIS, 2005, 1351)

AFRIKA UTARA
  1. Ali bin Abi Thalib, berdakwah ke Afrika Utara, Kawasan yang dilalui meliputi: Aljazair, Chad, Libya, Maroko, Mesir, Nigeria, Sahara Barat, Tunisia. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.60; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  2. Hatib bin Abi Balta’ah, berdakwah ke Mesir dan diutus kepada Gubernur Mesir, (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.62)

EROPA BARAT
  1. Utsman bin Affan, pernah melakukan safar dakwah (ekspedisi dakwah) ke wilayah Eropa Barat, melalui Jalur: Jerman, Luxemburg, Perancis, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, (Sumber: Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391)

EROPA TENGAH
  1. Abdurrahman bin Auf, pernah melakukan ekspansi Islam ke Austria, Cekoslovakia, Hungaria, Polandia, Slovakia, dan Swiss. Kebanyakan keturunan Abdurrahman bin Auf banyak di Swiss  (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 1-2, Penerbit MADAWIS, 2005, h. 70)

EROPA SELATAN
  1. Umar bin Khattab, berdakwah ke Romawi dan Yarmuk, kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.70; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  2. Abu Ubaidah bin Jarrah, berdakwah ke Romawi dan Yarmuk, kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani. (Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.71; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  3. Khalid bin Walid,berdakwah ke Romawi dan Yarmuk, kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani.(Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.72; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah)
  4. Dihyah bin Kalbi, berdakwah ke Romawi dan diutus membawa surat kepada Kaisar Romawi. Kawasan yang dilalui adalah: Albania, Andorra, Bosnia, Italia, Kroasia, Macedonia, Monaco, Portugal, San Marino, Slovenia, Spanyol, Vatikan, Yunani.(Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.72)

EROPA TIMUR
  1. Thalhah bin Ubaidillah, pernah melakukan perdagangan dan dakwah di wilayah yang sekarang di sebut Eropa Timur, meliputi Belarusia, Bulgaria, Estonia, Georgia, Latvia, Lithuania, Moldova, Rumania, Rusia dan Ukraini. Sehingga di wikayah Eropa Timur ini banyak ditemukan beberapa keturunan dari Thalhah bin Ubaidillah. (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 4, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1888)

EROPA UTARA
  1. Zubair bin Awwam, pernah ditugaskan oleh Rasulullah mendakwahkan Islam di wilayah Eropa bagian Utara, melintasi Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 5, Penerbit MADAWIS, 2005, h.2340)

AUSTRALIA
  1. Saad bin Abi Waqqas, pernah ditugaskan oleh Rasulullah mendakwahkan Islam di wilayah Australia atau Osenia, yang melintasi beberapa negara seperti New South Wales,  Victoria, Queensland,   Australia Barat,  Australia Selatan,    Tasmania,   Australia Utara dan Selandia Baru (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 4, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1541)

****DAFTAR NAMA-NAMA SAHABAT NABI MUHAMMAD****
Sahabat Nabi Muhammad – Awalan Nama A:
  1. -`Abd Allah bin `Umar [عبد الله بن عمر]
  2. - ‘Abbas bin ‘Abd al-Muttalib [عباس بن عبد المطلب]
  3. - Aban bin Said (RA) [سعيد بن أبان (ع)]
  4. - Abbad bin Bishr [عباد بن بشر]
  5. - Abd Allah bin al-Zubayr [عبد الله بن الزبير]
  6. - Abd Allah bin Rawahah [عبد الله بن رواحة]
  7. - Abd ar-Rahman bin ‘Awf [عبد الرحمن بن عوف]
  8. - Abd ar-Rahman bin Mu'adz bin Jabal
  9. - Abd-Allah bin Abd-Allah bin Ubayy [عبد الله بن عبد الله بن أبي]
  10. - Abdullah bin Abbas [عبد الله بن عباس]
  11. - Abdullah bin Abu Aufa
  12. - Abdullah bin Hudhafah as-Sahmi
  13. - Abdullah bin Jahsh [عبد الله بن جحش]
  14. - Abdullah bin Mas`ud [عبد الله بن مسعود ماس]
  15. - Abdullah bin Salam [عبد الله بن سلام]
  16. - Abdullah bin Umm Maktum [عبد الله بن أم مكتوم]
  17. - Abdullah bin Umar
  18. - Abdu’l-Rahman bin Abu Bakr [حضرة عبد الرحمن بن أبي بكر]
  19. - Abdul Wahab Abi Kasbah
  20. - Abîd bin Hamal (RA) [عابد بن الشيال (ع)]
  21. - Abîd bin Hunay (RA)
  22. - Abjr al-Muzni (RA)
  23. - Abu al-Aas bin al-Rabiah [أبو العاص بن ربيعة]
  24. - Abu Ayyub al-Ansari [أبو أيوب الأنصاري]
  25. - Abu Bakar Ash-Shiddiq [أبو بكر]
  26. - Abu Dardaa [أبو الدرداء]
  27. - Abû Dzar al-Ghifârî [أبو ذر الغفاري آل]
  28. - Abu Fuhayra
  29. - Abu Hurairah [أبو هريرة]
  30. - Abu Lubaba bin Abd al-Mundhir [أبو لبابة بن عبد المنذر]
  31. - Abu Musa al-Ashari [أبو موسى الأشعري]
  32. - Abu Sa`id al-Khudri [أبو سعيد الخباز الخدري]
  33. - Abu Salama `Abd Allah bin `Abd al-Asad [أبو عبد الله سلامة بن عبد الأسد]
  34. - Abu Sufyan bin al-Harits [أبو سفيان بن الحارث]
  35. - Abu Sufyan bin Harb [أبو سفيان بن حرب]
  36. - Abu Ubaydah bin al-Jarrah [أبو عبيدة بن الجراح]
  37. - Abu-Hudhayfah bin Utbah [حذيفة بن أبو عتبة]
  38. - Abzâ al-Khuzâ`î (RA) [Abzâ آل خزاعي î (ع)]
  39. - Adhayna bin al-Hârith (RA)
  40. - Adî bin Hâtim at-Tâî [عدي بن حاتم الطائي في]
  41. - Aflah bin Abî Qays (RA) [أفلح بن أبي قيس (ع)]
  42. - Ahmad bin Hafs (RA) [أحمد بن حفص (ع)]
  43. - Ahmar Abu `Usayb (RA)
  44. - Ahmar bin Jazi (RA) [الجازي بن الأحمر]
  45. - Ahmar bin Mazan bin Aws (RA) [مازن بن الأحمر بن أوس (ع)]
  46. - Ahmar bin Mu`awiya bin Salim (RA)
  47. - Ahmar bin Qatan al-Hamdani (RA) [الأحمر بن القطان الحمداني (ع)]
  48. - Ahmar bin Salim (RA) [الأحمر بن سالم (ع)]
  49. - Ahmar bin Suwa’i bin `Adi (RA)
  50. - Ahmar Mawla Umm Salama (RA) [الأحمر المولى أم سلمة (ع)]
  51. - Ahnaf bin Qais Tameemi [الأحنف بن قيس التميمي]
  52. - Ahyah bin Umayya bin Khalaf (RA)
  53. - Ahzâb bin Usaid [الأحزاب بن أسيد]
  54. - Akasyah bin Muhsin Al-Usdi
  55. - Al-’Ala’ Al-Hadrami [آل علاء الحضرمي]
  56. - Al-Arqam ibn-abil-Arqam [الأرقم بن أبي الأرقم،]
  57. - Al-Bara’ bin Mâlik al-Ansârî [البراء بن مالك الأنصاري]
  58. - Al-Harith bin Hisham bin Al-Mugheera (RA) [الحارث بن هشام بن مغيرة (ع)]
  59. - Ali bin Abi Talib [علي بن أبي طالب]
  60. - Al-Khansa [الخنساء]
  61. - Al-Qammah
  62. - Al-Qa’qa’a bin Amr at-Tamimi (RA) [آل Qa'qa'a بن عمرو التميمي في]
  63. - ‘Amar bin Umayyah
  64. - Ammar bin Yasir [عمار بن ياسر]
  65. - Amr bin Al`âs
  66. - Amr bin al-Jamuh
  67. - Anas bin Mâlik [أنس بن مالك]
  68. - An-Nu`aymân bin `Amr
  69. - An-Nu`mân bin Muqarrin
  70. - Arbad bin Jabir (RA) [أربد بن جابر (ع)]
  71. - Asim bin thalib
  72. - Asim bin Umar [عاصم بن عمر]
  73. - At-Tufayl bin Amr ad-Dawsi (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 1-2, Penerbit MADAWIS, 2005, h. 1-730 h)
Sahabat Nabi Muhammad – Awalan Nama B, D dan F:
  1. – Bilal bin Malik al-Mazni (RA) [بلال بن مالك آل المازني (ع)]
  2. – Bilal bin Ribah [بلال بن رباح]
  3. – Bilal bin Yahya (RA) [بلال بن يحيى (ع)]
  4. – Dihyah al-Kalbi
  5. – Dirar bin al-Azwar (RA) [ضرار بن الازور (ع)]
  6. – Fadl bin Abbas [فضل بن عباس]
  7. – Fayruz ad-Daylami (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 2, Penerbit MADAWIS, 2005, h.731-800)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama H:
  1. – Habab bin Mundhir [حباب بن المنذر]
  2. – Habib bin Zayd al-Ansari [حبيب بن زيد الأنصاري]
  3. – Hakim bin Hizam [الحكيم بن حزام]
  4. – Hamzah bin Abd al-Muttalib [حمزة بن عبد المطلب]
  5. – Harith bin Rab’i [الحارث بن ربعي]
  6. – Hashim bin Utbah [هاشم بن عتبة]
  7. – Hassan bin Ali [حسن بن علي]
  8. – Hassan bin Thabit [حسان بن ثابت]
  9. – Hatib bin Abi Balta’ah [خطيب بن أبي بلتعة]
  10. - Hauzah bin ‘Ali Hanafi
  11. – Hisham bin Al-A’as
  12. – Hudhayfah bin al-Yaman [حذيفة بن اليمان]
  13. – Hujr bin Adi
  14. – Hussain bin Ali [حسين بن علي] (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 2, Penerbit MADAWIS, 2005, h.801-940)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama I:
  1. – Ibrahim Abû Râfa`i (RA) [إبراهيم أبو رافا `ط (ع)]
  2. – Ibrahim al-`Adhrî (RA)
  3. – Ibrahim al-Ansârî (RA) [إبراهيم الأنصاري (ع)]
  4. – Ibrahim al-Ashhali (RA)
  5. – Ibrahim al-Thaqafi (RA) [إبراهيم الثقفي (ع)]
  6. – Ibrahim an-Najâr (RA) [إبراهيم النجار و(ع)]
  7. – Ibrahim at-Ta’ifi (RA)
  8. – Ibrahim az-Zuhrî (RA) [إبراهيم الزهري من الألف إلى الياء (ع)]
  9. – Ibrahim bin `Abdillah (RA)
  10. – Ibrahim bin `Ibad bin Asaf (RA) [إبراهيم بن عباد بن أساف `(ع)]
  11. – Ibrahim bin Hârith (RA) [إبراهيم بن الحارث (ع)]
  12. – Ibrahim bin Jabir (RA) [إبراهيم بن جابر (ع)]
  13. – Ibrahim bin Khalâd (RA)
  14. – Ibrahim bin Muhammad [إبراهيم بن محمد]
  15. – Ibrahim bin Na`îm (RA) [إبراهيم بن نعيم (ع)]
  16. – Ibrahim bin Qays bin Hajar (RA) [إبراهيم بن قيس بن حجر (ع)]
  17. – Ibrahim bin Qays (RA) [إبراهيم بن قيس (ع)]
  18. – Ikrima bin Abi Jahl [عكرمة بن أبي جهل]
  19. – Imran bin Husain [عمران بن حسين]
  20. – Isaf bin Anmar as-Salmi (RA) [ايساف بن انمار AS-السالمي (ع)]
  21. – Ishaq al-Ghanawy (RA)
  22. – Isma`il bin `Abdillah al-Ghafari (RA)
  23. - Isma'il bin 'Abdurrahman bin Mu'adz bin Jabal
  24. – Isma`il bin Sa`id bin `Abid (RA) [إسماعيل بن سعد بن معرف `عابد (ع)] (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 2-3, Penerbit MADAWIS, 2005,h.941-1150)

Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama J:
  1. – Jabir bin Abdullah al-Ansari [جابر بن عبد الله الأنصاري]
  2. – Jabr [جبر]
  3. – Ja'far bin Abi Talib [جعفر بن أبي طالب]
  4. – Jubayr bin Mut’im
  5. – Julaybib (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3, Penerbit MADAWIS, 2005, 1151-1200)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama K:
  1. – Ka’b bin Zuhayr [كعب بن زهير]
  2. – Khabab bin al-Arat al-Tamimi (RA) [خباب بن آرات التميمي (ع)]
  3. – Khabbab bin al-Aratt
  4. - Khadijah binti Khuwailid (Sahabat Wanita)
  5. – Khalid bin al-As (RA) [خالد بن العاص (ع)]
  6. – Khalid bin al-Walid [خالد بن الوليد]
  7. – Khalid bin Sa`id [خالد بن سعد معرف]
  8. – Kharija bin Huzafa
  9. – Khubayb bin Adiy [خبيب بن عدي]
  10. – Khunays bin Hudhayfa
  11. – Khuzayma bin Thabit [خزيمة بن ثابت]
  12. – Kinana bin Rabi` [كنانة بن ربيع `] (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1201-1320)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama L:
  1. – Labid bin Rabi’a [لبيد بن ربيعة]
  2. – Lubaynah (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1321-1340)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama M:
  1. - Mahmud bin 'Abdurrahman bin Mu'adz bin Jabal
  2. – Malik al-Dar [مالك الدار]
  3. – Maria al-Qibtiyya
  4. – Mazin bin Ghadooba
  5. – Miqdad bin al-Aswad [المقداد بن الأسود]
  6. – Mu`adz bin `Amr [معاذ بن عمرو]
  7. – Mu`adz bin Jabal [معاذ بن جبل]
  8. – Mu`âwiya bin Abî Sufyân
  9. – Mu`awwaz bin `Amr
  10. – Muhammad bin Abi Bakr [محمد بن أبي بكر]
  11. – Muhammad bin Maslamah [محمد بن مسلمة]
  12. – Munabbih bin Kamil [منبه بن كامل]
  13. – Mus`ab bin `Umair (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3, Penerbit MADAWIS, 2005, 1341-1470)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama N:
  1. – Nabagha al-Ju’adi (RA)
  2. – Nafi bin al-Harith [نافع بن الحارث]
  3. – Nuaym bin Masud
  4. – Nufay bin al-Harith (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1471-1510)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama R:
  1. – Rab’ah bin Umayah
  2. – Rabi’ah bin al-Harith [ربيعة بن الحارث]
  3. – Rabiah bin Kab [الربيعة بن كعب] (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 3-4, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1511-1540)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama S:
  1. – Sa`d bin Abî Waqâs [سعد بن أبي وقاص]
  2. – Sa`d bin ar-Rabi`
  3. – Sa`d bin Malik
  4. – Sa`d bin Mu`âdh [سعد بن معاذ]
  5. – Sa`d bin Ubadah [سعد بن عبادة]
  6. – Sa`îd bin Âmir al-Jumahi
  7. – Sa`îd bin Zayd bin Amir [سعد بن زيد رقم]
  8. – Sa`sa`a bin Suhan
  9. – Sabra bin Ma`bad [صبرا بن معان سيئة]
  10. – Safwan bin Umayya [صفوان بن أمية]
  11. – Sahl bin Sa’d [سهل بن سعد]
  12. – Sakhr bin Wada`a (RA) [صخر بن لادا `(ع)]
  13. – Sakhr bin Wadi`a (RA) [صخر بن الوادية (ع)]
  14. – Salama bin al-Aqwa
  15. – Salim Mawla Abi Hudhayfah [سالم مولى أبي حذيفة]
  16. – Salit bin ‘Amr ‘Ala bin Hadrami [عمرو 'ساليت بن الحضرمي بن العلاء]
  17. – Salma Abu Hashim [سلمى أبو هاشم]
  18. – Salman al-Fârisî [سلمان الفارسي]
  19. – Samra bin Jundab
  20. – Saraqa bin `Amru (RA)
  21. – Shadad bin Aus [شداد بن الأوس]
  22. – Shams bin Uthman [شمس بن عثمان]
  23. – Sharhabeel bin Hasana [شرحبيل بن حسنة]
  24. – Shayba bin `Uthman al-Awqas (RA)
  25. – Shuja’ bin Wahab al-Asadi [شجاع بن وهب الأسدي]
  26. – Suhayb ar-Rumi [صهيب الرومي ع]
  27. – Suhayl bin Amr [سهيل بن عمرو]
  28. - Surahbil
  29. - Suraqa bin Malik [سراقة بن مالك] (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 4, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1541-1840)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama T:
  1. – Talhah bin Ubaydullah [طلحة بن عبيد الله]
  2. – Tamim Abu Ruqayya [أبو تميم رقية]
  3. – Tamim al-Ansari [تميم الأنصاري]
  4. – Tamim al-Dari [تميم الضاري]
  5. – Thabit bin Qays [ثابت بن قيس]
  6. – Thawban bin Bajdad (RA)
  7. - Thumamah bin Uthal
  8. - Thuwaybah (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 4, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1841-1920)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama U:
  1. – Ubayd Allah bin Abd Allah [عبيد الله بن عبد الله]
  2. – Ubayda bin as-Samit [عبيدة بن AS-سامت]
  3. – Ubaydah bin al-Harith [عبيدة بن الحارث]
  4. – Ubayy bin al-Qashab al-Azdi (RA)
  5. – Ubayy bin Ka’ab bin Abd Tsawr al-Muzni (RA)
  6. – Ubayy bin Ka’ab bin Qays [أبي بن كعب بن قيس]
  7. – Ubayy bin Malik al-Qachiri (RA)
  8. – Ubayy bin Mu’adz bin Anas (RA) [أبي بن معاذ بن أنس (ع)]
  9. – Ubayy bin Shriq (RA) [أبي بن Shriq (ع)]
  10. – Ubayy bin Tsabit al-Ansari (RA) [أبي بن ثابت الأنصاري (ع)]
  11. – Ubayy bin Ujlan bin al-Bahili (RA)
  12. – Ubayy bin Umar (RA) [أبي بن عمر (ع)]
  13. – Ubayy bin Umayya bin Harfan (RA)
  14. – Umar bin Abi Salma (RA) [عمر بن أبي سلمى (ع)]
  15. – Umar bin al-Khattab [عمر بن الخطاب]
  16. – Umar bin Harits [عمر بن الحارث]
  17. – Umayr bin Sa'ad al-Ansari [عمير بن سعد الأنصاري]
  18. – Umayr bin Wahab [عمير بن وهب]
  19. – Uqbah bin Amir [عقبة بن عامر]
  20. - Uqbah bin Nafi'
  21. – Urwah bin Mas’ud [عروة بن مسعود]
  22. – Urwah bin Zubayr [عروة بن الزبير]
  23. – Usama bin Zayd bin Haritsah [أسامة بن زيد]
  24. – Utba bin Rabi’ah [عتبة بن ربيعة]
  25. – Utbah bin Ghazwan [عتبة بن غزوان]
  26. – Utban bin Malik [Utban بن مالك]
  27. – Uthal bin Nu’man al-Hanafi (RA)
  28. – Utsman bin Affan [عثمان بن عفان]
  29. – Utsman bin Hunayf [عثمان بن حنيف]
  30. – Utsman bin Madh’un
  31. - Uways al-Qarni [عويس القرني](Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, volume 4-5, Penerbit MADAWIS, 2005, h.1921-2220)
Sahabat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama W:
  1. – Wahb bin `Umayr [وهب بن عمير `]
  2. – Wahshî bin Harb [الوحشي بن حرب]
  3. – Walid bin Uqba [وليد بن عقبة بن نافع] (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, volume 5, Penerbit MADAWIS, 2005, h.2221-2250)
Sobat Nabi Muhammad S.A.W – Awalan Nama Z:
  1. – Zayd al-Khayr [زيد الخير]
  2. – Zayd bin al-Khattab [زيد بن الخطاب]
  3. – Zayd bin Arqam [زيد بن الأرقم]
  4. – Zayd bin Haritsah [زيد بن حارثة]
  5. – Zayd bin Sahl (RA) [زيد بن سهل (ع)]
  6. – Zayd bin Tsabit [زيد بن ثابت]
  7. – Ziyad bin Abi Sufyan [زياد بن أبي سفيان]
  8. – Zubayr bin al-Awwam [الزبير بن العوام،]
  9. – Zunairah al-Rumiya (Sumber: Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 5, Penerbit MADAWIS, 2005, h.2251-2345)

Wallahu A'lamu Bish Shawwab

Insya Allah akan terus diup-date...

Daftar Pustaka

F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries,
G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay Archipelago
Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929
H.Zainal Abidin Ahmad, Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, Bulan Bintang, 1979
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah
Imam  Syamsul Haq ‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud,
 Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979
Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986
R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929
Shohibul Faroji Azmatkhan,Ekspansi Islam Era Utsman bin Affan,Penerbit Madawis, 2005,
Shohibul Faroji Azmatkhan, Ensiklopedi Sahabat Nabi, Volume 1-5, Penerbit MADAWIS, 2005
St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159.
S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39
T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968 ;

MANFAAT & HIKMAH MEMPELAJARI ILMU NASAB (GARIS KETURUNAN)

Ada yang berkata kepada kami, bahwa mereka yang belajar ilmu nasab (kita sering menyebutnya silsilah) pada prinsipnya tidak bermanfaat sama sekali. Menurut orang-orang ini, apa pentingnya belajar ilmu seperti ini?, apa lagi ditengah zaman yang sangat modern seperti sekarang ini.  Berbagai ungkapan ungkapan Pengkerdilan ilmu nasab sudah sering saya temukan, Ilmu nasab benar benar dipandang sebagai ilmu yang aneh, ilmu yang tidak bisa disetarakan dengan ilmu-ilmu lain. Bahkan ucapan-ucapan ketus sering saya baca dan saya temukan diberbagai forum dunia maya. Mereka bahkan dengan entengnya berkata, “nasab lagi nasab lagi..., memangnya apa pentingnya sih nasab itu?”, menurut  sebagian orang ini, bukankah Allah itu melihat seseorang dari Iman dan Takwanya....? Ada juga yang berkata sinis, “saya tidak peduli nasab, toh saya bisa berhasil karena usaha saya sendiri”, atau perkataan “Terus kalau kita bernasab, apa bisa dijamin masuk surga?” lha Nabi-Nabi saja ada keluarganya yang tidak beriman, apalagi kita”.  Kondisi seperti ini akan semakin buruk ketika ada orang yang katanya mengerti ilmu nasab tapi justru kelakuannya malah memperburuk citra Ilmu Nasab. Tidak jarang saya melihat beberapa orang yang posisinya sering dianggap “ahli” dan “jago” dalam ilmu nasab justru hobinya membuat statement atau ungkapan yang mengarah ke Fitnah tentang ilmu nasab , entah itu dengan menggunakan identitas palsu atau melalui “tangan kanannya”.

Apakah  persepsi ilmu nasab seburuk itu? Apakah ilmu nasab sama sekali tidak mempunyai manfaat baik itu di dunia dan akhirat? Apakah ilmu nasab itu justru menjadikan yang mempelajarinya buruk dan arogan? Apakah dengan kita mengetahui ilmu nasab kita jadi terbelakang ?

Mari kita jawab kesemuanya itu, apakah benar kalau ilmu nasab itu tidak mempunyai manfaat dan hikmah dalam kehidupan kita.
Menurut Nurul Irfan (2012) bahwa nasab itu adalah :
  1. Salah satu pondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antara pribadi berdasarkan kesatuan darah
  2. Untuk menjaga terjadinya perzinahan melalui pernikahan yang sah
  3. Menjaga pernikahan yang semahram berkat pengetahuan ilmu ini.
  4. Karunia yang besar  yang diturunkan Allah kepada hambanya (Al Furqon, 54)
  5. Mempunyai pengaruh  dalam membina rumah tangga, keluarga dan masyarakat.
  6. Hak pertama yang harus diterima bayi agar terhindar  dari kehinaan dan ketelantaran seperti mendapatkan perawatan, nafkah, hak waris dan perwalian nanti.
  7. Menjaga keserasian  dan kesetaraan kedua pasang calon mempelai (kafa’ah), hal ini dimaksudkan  agar tujuan  perkawinan dapat tercapai yaitu berupa ketenangan hidup berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Sedangkan menurut Idrus Al Masyhur (2010) mengutip beberapa Hadist dan perkataan sahabat serta kata kata ulama mengenai arti pentingnya Ilmu nasab ini yaitu diantarannya :
  1. Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh, Rasululullah SAW bersabda : “Pelajarilah nasab kalian, agar kalian  mengenali  hubungan darah kalian”.
  2. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW  : “Telah kafir bagi siapa saja yang berlepas diri dari urusan nasab, jika hal tersebut samar-samar. Dan telah kafir bagi siapa saja yang menyambungkan nasab yang tidak diketahuinya”.
  3. Berkata Umar bin Khattab : Pelajarilah nasab kalian, janganlah seperti kaum Nabat hitam, yang jika salah satu  diantara mereka ditanya  darimana asalnya, maka mereka Cuma berkata “dari desa ini”.
  4. Al Halimi berkata : “Siapa yang tidak mengenal nasabnya berarti ia tidak mengenal manusia, maka siapa yang tidak kenal manusia tidak pantas baginya kembali kepada manusia”.
Setelah kita mengetahui manfaat dan hikmah dari adanya ilmu nasab kita, bagaimana langkah kita selanjutnya ? apakah masih tetap memandang rendah ilmu nasab? Atau cuek sama sekali karena terjebak pola hidup individualitas?  Mereka yang selama ini menganggap rendah terhadap ilmu nasab, atau sama sekali tidak peduli, menurut saya patut diluruskan cara berfikirnya. Saya sendiri merasakan manfaat yang sangat besar ketika mempelajari garis keturunan keluarga besar saya, saya bisa bersilaturahim, saya banyak mendapatkan saudara, saya jadi tahu sejarah yang benar dan yang paling penting saya bisa merasakan keberkahan dan manfaat ketika saya mengetahui garis keturunan saya. Sebagai orang yang besar dalam dunia pendidikan, tentu saya ingin apa yang saya pelajari bersifat ilmiah dan rasional serta diiringi dengan sikap keimanan yang seiring sejalan dengan kedua hal yang saya sebutkan tadi. Memandang rendah atau tidak peduli dengan nasab, sama saja membuat hidup kita sempit, seolah olah kita tidak punya saudara, seolah-olah kita sebatang kara, seolah keluarga kita hanya itu itu saja, padahal saudara kita masih banyak dan bertebaran dimana-mana. Seorang yang mengetahui nasab, biasanya selalu berhasrat ingin terus menjalin tali kekerabatan dan silaturahim, dan itu saya buktikan sendiri.

Mengetahui nasab itu penting, karena dengan kita mengetahui nasab, kita bisa mengambil pelajaran kehidupan melalui perjalanan perjalanan para leluhur kita, apalagi jika leluhur kita dulunya adalah orang-orang yang hebat dan mulia. Kalau kita rajin mempelajari sejarah kehidupan leluhur kita, maka kita tentu bisa mengambil suri tauladan atau manfaat yang pernah perbuat. Orang yang mengetahui nasab itu sangat aneh jika dia justru berprilaku sombong atau mengagung agungkan nasabnya kepada orang lain. Orang yang tahu akan nasabnya, sudah seharusnya semakin bernasab justru semakin tawadhu, menjauhi fitnah dan semakin berakhlak. Seorang Habib Bahruddin Azmatkhan yang merupakan ulama ahli nasab bahkan pernah berpesan melalui riwayat salah seorang cucunya, bahwa orang yang bernasab itu bagaikan permata, semakin diasah semakin berkilau, sekalipun dia ada di lumpur maka dia tetaplah permata. Syekh Abdul Qodir Jaelani, seperti yang dikutif oleh Abdurrozaq Al Kailani (2009) mengatakan, bahwa sekalipun Syekh Abdul Qodir Jaelani bernasab kuat (karena ibu bapaknya keturunan Sayyidina Husein & Sayyidina Hasan), beliau paling tidak suka menyebutkan atau menyombongkan nasabnya, bahkan beliau melarang anak-anaknya melakukan hal tersebut karena disebabkan sikap tawadhu beliau.

Oleh karena itu bagi mereka yang sudah mengetahui nasab atau mempelajari ilmu nasab sebaiknya marilah kita bersikap seperti yang ditulis dibawah ini;
  1. Semakin faham ilmu nasab atau semakin tahu nasab kita justru semakin rendah hati.
  2. Mengetahui nasab justru semakin membuat kita berakhlak seperti akhlaknya Rasulullah SAW.
  3. Mengetahui nasab semakin membuat kita cinta akan silaturahim.
  4. Mengetahui nasab semakin membuat kita cinta kepada kaum fakir miskin, anak yatim dan masyarakat dari berbagai lapisan.
  5. Mengetahui nasab akan semakin membuat kita lebih kuat dalam beribadah.
  6. Mengetahui nasab tidak membuat kita jadi feodal, arogan, individual dan eksklusif.
  7. Mengetahui nasab justru membuat kita semakin termotivasi dalam berprestasi.
  8. Mengetahui nasab justru  semakin menjadikan kita rajin untuk selalu menuntut ilmu sampai wafat.
  9. Mengetahui nasab semakin membuat kita cinta akan saudara saudara kita dimana saja.
  10. Mengetahui nasab justru menjadikan benteng kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan  yang tidak benar.
  11. Mengetahui nasab justru akan menjadikan lebih energik dalam menghasilkan karya karya dalam bidang ilmu pengetahuan.
  12. Mengetahui nasab semakin bisa mendekatkan diri kita dengan pola hidup nrimo, apa adanya, ikhlas, sabar dan tawakal.
  13. Mengetahui nasab justru membuat kita semakin bisa belajar tentang bagaimana sabarnya para leluhur kita dalam menghadapi fitnah dan cobaan.
  14. Mengetahui nasab semakin membuat kita cerdas dalam segala hal.
  15. Mengetahui nasab semakin membuat kita senang akan hal-hal persaudaraan.
  16. Mengetahui nasab semakin membuat umur kita berkah.
  17. Mengetahui nasab semakin membuka pintu rezki yang mungkin selama ini tertutup...

Wallahu A’lam Bisshowab...

Sumber :

As-Syekh Abdurrozaq Al-Kailaini. Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani, Guru Para Pencari Tuhan. Penerbit : Mizania, Bandung, 2009.
As-Sayyid Idrus Alwi Al Mahsyur. Sejarah Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika. Penerbit Saraz Publishing. Jakarta, 2010.
Nurul Irfan. Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam. Penerbit : Amzah, Jakarta, 2012.
As-Syekh As-Sayyid Bahruddin Azmatkhan & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan. Dasar-dasar ilmu nasab, Penerbit: Majelis Dakwah Walisongo, Jakarta, 2014.