Kamis, 10 September 2015

ENTONG GENDUT DARI CONDET DAN KISAH KEMATIANNYA BERDASARKAN KITAB AL-FATAWI (Pejuang Jayakarta Di Wilayah Front Timur)

Hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2015 Kemarin, saya menghadiri Lebaran Betawi yang diadakan oleh Komunitas Ciliwung Condet Jakarta Timur, sebuah Komunitas yang mempunyai kepedulian akan lingkungan sungai dan lingkungan Condet. Dalam acara tersebut telah banyak hadir para sesepuh Condet dan juga beberapa tokoh teras Bamus Betawi termasuk Haji Oding, Bang Biem Benyamin juga Ibu Sylvia Murni dan beberapa undangan dari Dzurriyah Kesultanan Banten.

Bagi saya sendiri Condet bukanlah sebuah tempat yang asing, karena sejak tahun 80an wilayah ini sering saya datangi, puncaknya adalah ketika pada tahun 1989 – s/d 1995 saya rajin datang berziarah kerumah  Habib Umar bin Hud Al Attas untuk minta didoakan dengan berbagai hajat. Disamping itu saya juga rajin menghadiri maulid-maulid seperti kediaman Alhabib Syekh Al-Jufri di depan Masjid Al-khairat, Al-Habib Husein bin Ali Al-Attas di Gang Buluh, Alhabib Abdul Qodir Al Haddad Al Hawi, di Majlis Kebajikannya KH Sasi Cililitan. Condet semakin melekat di hati saya ketika akhirnya saya selama 11 tahun ini telah mencari nafkah di daerah ini  dengan mengajar di salah satu sekolah Islam yang berada di wilayah Bale Kambang, tepatnya yang berada disamping Gang Pangeran. Di Condet ini bahkan saya pernah berkunjung dan silaturahim ke kediaman Penulis Handal Jakarta yaitu Almarhum Firman Muntaco dan bahkan pernah ngobrol-ngobrol dengan anak beliau yang bernama Mpok Fifi Firman Muntaco yang meneruskan jejak perjuangan Babe Firman ini..

Bagi saya sisi yang menarik dari Condet adalah sejarah panjangnya. Condet adalah merupakan daerah yang cukup unik, dari sebuah daerah yang dulunya merupakan pinggiran Jakarta kini menjelma menjadi sebuah daerah yang sarat akan nilai-nilai perkotaan. Beberapa hal yang menurut saya cukup menonjol dari Condet adalah Karakter Islamnya. Sampai saat ini Islam di tanah Condet masih bertahan dengan baik, sama baiknya seperti daerah tetangga lainnya seperti Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Tentu bertahannya Islam di Tanah Jakarta yang satu ini menjadi sebuah pertanyaan yang menarik bagi kita semua. Jawaban itu sebenarnya bisa kita dapati kalau saja kita mau keliling dan mempelajari sejarah tokoh-tokoh pada masyarakat Condet ataupun Tanjung Barat.  Di Condet ini sebenarnya banyak makam-makam bersejarah dari tokoh-tokoh besar pada masa lalu seperti Makamnya Datuk Ibrahim dan kakeknya yang datang kurang lebih 300 tahun lalu. Beliau ini adalah keturunan Maulana Malik Ibrahim (Walisongo) yang berdakwah di tanah Condet. Salah satu Situs yang juga pernah saya dengar riwayatnya adalah keberadaan wilayah Pesantren Tapak Sunan. Daerah ini dahulunya merupakan salah satu wilayah yang pernah dikunjungi Fattahillah dan beberapa Wali dalam rangka dakwah Islamiah. Sehigga sangat wajar jika pemimpin pondok pesantren ini memberikan nama TAPAK SUNAN.

Di samping  itu, Condet juga dulu pernah bermukim seorang tokoh besar Pejuang Dan Pemimpin Jayakarta yang bernama Aria Wiratanudatar. Aria Wiratanudatar ini adalah pemilik tanah-tanah Condet dan Tanjung Barat (termasuk gedung tinggi yang berada dipertigaan Rindam-TB Simatupang) sebelum dirampas oleh Penjajah Belanda karena Aria Wiratanudatar diketahui mengkoordinir pejuang Jayakarta untuk melawan penjajah, hingga menyebabkan beliau akhirnya hijrah di Cianjur Jawa Barat dan menjadi Adipati Cianjur. Beberapa rekan kerja saya di Condet juga bahkan mengatakan bahwa di Condet masih ada beberapa situs dan makam tua dari beberapa tokoh masa lalu yang terjepit pada beberapa rumah penduduk. Hanya saja saya belum sempat mengadakan penelitian ke makam-makam tersebut.

Hal lain yang juga tidak kalah menarik adalah bahwa Condet ini dahulunya terkenal sebagai penghasil buah-buahan terbaik di Jakarta khususnya salak condet. Sampai saat ini bekas-bekas pohon salak masih bisa kita temukan dipinggir-pinggir sungai Ciliwung dan beberapa tanah warga yang belum dibangun perumahan. Kehidupan lain yang masih bisa kita temukan adalah pembuatan makanan tradisional seperti Emping Condet, Dodol Condet, Geplak dan makanan-makanan khas Jakarta lainnya.

Pada perayaan Lebaran Betawi di Condet 2015, terus terang saya seperti memasuki masa-masa tahun 80an saja, saat saya masih remaja, dimana dulu masih dapat saya tenemukan lingkungan yang asri dan budaya-budaya Jakarta yang khas. Tanah Jakarta termasuk Condet saat itu masih hijau dan rindang, bahkan sampai saat ini masih ada beberapa tempat di Condet yang masih bertahan dengan keasriannya, salah satunya tanah dimana tempat yang menjadi markasnya Komunitas Ciliwung Condet ini. Dahulu menurut ayah saya yang pernah ke Condet tahun 1955, Condet benar-benar masih sangat desa banget. Kebetulan ayah saya bersama rombongannya pernah silaturahim kepada beberapa tokoh Condet dan Tanjung Barat untuk sekedar “adu maenan” dan “tuker-tukeran ilmu”. Menurut beliau aspal baru sampai Cililitan saja, setelah itu masuk Condet masih jalan setapak yang betul sangat alami. Condet menurut beliau sangat jauh keadaanya dengan Pasar Senen Jakarta Pusat yang sudah dipenuhi dengan kehidupan kota. Menurut beberapa orangtua yang ada di Condet, Condet itu memang daerah yang sangat bersahaja dan sarat akan nilai-nilai pertaniannya. Dan mereka itu sangat ramah terhadap pengunjung luar, setiap rumah bahkan selalu didepan terasnya disediakan gentong air untuk para musafir yang kelelahan. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain cukup berjauhan, namun nilai-nilai silaturahimnya tetap kuat, apalagi saat itu keberadaan ulama sangat menonjol seperti misalnya pada sosok karismatik yaitu Habib Muhsin bin Muhammad Al-Attas (tokoh yang pertama mendirikan Masjid Al-Hawi yang berada di Ujung Cililitan Jakarta Timur) pada awal-awal tahun 20an. Tidaklah mengherankan bila pada tahun 50 sd 70an banyak kalangan Habaib dan arab lainnya yang berasal dari Tenabang, Pekojan,  Kwitang, Karet, banyak  memilih pindah ke Condet karena memang lingkungannya yang menyenangkan dan Islami.

Kecintaaan akan Condet bahkan bertambah saat saya mendengar kisah kepahlawanan salah seorang Mujahid Condet yang bernama Entong Gendut. Nah berawal dari kehadiran saya di Lebaran Betawi 2015 inilah saya tertarik ingin mengangkat kembali Sejarah Entong Gendut tersebut. Kenapa saya tertarik mengangkat kisah perjuangan Entong Gendut ini ? karena  pada saat pameran foto tokoh-tokoh Condet klasik hingga pada masa sekarang kemarin, saya belum menemukan sosok Entong Gendut berada pada jajaran tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan saat saya berkunjung di Museum Muhammad Husni Thamrin di Kenari Jakarta Pusat, nama Entong Gendut masuk sebagai Pahlawan Jakarta lengkap dengan lukisannya yang berkarakter tegas. Nama Entong Gentong bahkan di Museum ini disejajarkan dengan Muhammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Letkol Imam Syafi’i, Benyamin S dan beberapa tokoh Betawi lainnya.

Siapa sebenarnya nama Entong Gendut ini ?

Berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, Entong Gendut ini digambarkan sebagai sosok yang pemberani dalam melawan kezaliman dan kesewenang-wenangan Tuan Tanah yang didukung oleh Penjajah Belanda.  Dinamakan Gendut karena perawakannya agak gemuk. Panggilan Entong sendiri merupakan panggilan akrab kepada yang muda pada masa itu. Di beberapa wilayah seperti Pondok Gede dan Bekasi, panggilan Entong ini bahkan masih sering saya dapati. Bahkan salah seorang orangtua sahabat saya, kalau ketemu saya selalu memanggil saya Entong...

Keberadaan atau kisah Entong Gendut ini dapat saya katakan sangat minim referensinya dalam sejarah Jakarta, namun bagi orangtua di Condet yang usianya diatas 70 tahun, nama yang satu ini sangatlah melekat dihati mereka. Entong Gendut sendiri kisahnya sudah masuk dalam Forklore (cerita rakyat). Itu artinya keberadaan beliau sudah diakui masyarakat Jakarta baik secara fakta maupun legenda, jadi sangatlah mengherankan jika ada warga Jakarta, apalagi mereka yang senang akan sejarah tidak mengenal sosok Entong Gendut ini.

Entong Gendut memang sosok yang misterius dan cukup menarik untuk dilacak sejarahnya. Beberapa tahun lalu untuk melacak jejak dirinya, saya pernah mendengar jika beliau ini punya keturunan yang tinggal di sekitar Gang Pangeran di samping SMA Global Islamic School. Memang jika saya melihat Gang Pangeran ini masih ada beberapa peninggalan rumah betawi Tua, yang satu berada di samping mushola yang satu dipinggir jalan Gang Pangeran. Insya Allah ke depannya saya akan mencoba mencari jejak keturunan Entong Gendut ini.

Dalam perjalanan hidupnya Entong Gendut adalah sosok pembela rakyat Condet yang telah lama ditindas secara semena-mena oleh Tuan Tanah dan antek-anteknya. Tuan Tanah dari bangsa asing ini serta penjajah Belanda banyak berbuat zalim dengan cara membuat pajak tanah dan pajak tanaman dengan nilai uang yang sangat  tinggi, bahkan mereka tidak segan-segan merampas secara sefihak tanah-tanah pertanian rakyat.  Tanah Condet pada masa lalu memang sangat makmur dan menjanjikan bagi para pemiliknya, apalagi daerah ini merupakan dataran tinggi yang aman dari wilayah banjir serta jauh dari pengawasan pemerintahan Penjajah Belanda yang berada dipusat kota seperti daerah Jakarta Pusat yang sekarang ini.

Perlawanan para pemuda dan pejuang Jakarta terhadap para Tuan Tanah dan Penjajah pada masa lalu memang kebanyakan berawal dari masalah pertanahan. Sejak dahulu masalah tanah selalu menjadi gejolak antara si kaya dan si miskin, antara rakyat dan penguasa. Tanah-tanah rakyat inilah yang akhirnya selalu menjadi penyebab timbulnya perjuangan. Tanah yang harusnya menjadi milik pribumi, justru telah dirampas dan dimiliki oleh Tuan Tanah dari Bangsa Asing. Ironisnya Tuan Tanah dari Bangsa Asing ini banyak juga dibantu oleh para penghianat yang rela mengorbankan darah saudaranya sendiri demi kepuasan harta dunia. Rakyat seperti bukan hidup di negerinya sendiri. Mereka seperti tamu di negerinya sendiri, bangsa asinglah yang justru menjadi Raja. Rakyat betul-betul menderita dan itu juga dialami oleh Entong Gendut. Sekalipun rakyat dicekam ketakutan oleh tindak tanduk Tuan Tanah dan Penjajah Belanda,  namun hampir semua rakyat Condet sangat mendukung dan simpati terhadap perjuangan Entong Gendut ini,  walau mereka hanya bisa mendukung melalui doa. Rakyat memang tidak bisa membantu langsung perjuangan Entong Gendut itu karena mereka selalu  dicekam ketakutan karena telah terus menerus mendapatkan ancaman intel-intel dan pasukan Belanda yang terus mencari keberadaan Entong Gendut dan kawan-kawannya.

Perlawanan Entong Gendut sendiri muncul setelah redupnya perlawanan Pendekar Pitung, dimana satu persatu anggotanya Syahid dan gugur ditangan penjajah Belanda.

Dalam beberapa riwayat, dan ditulis yang kami ketahui beberapa tahun lalu, Perlawanan Entong Gendut ini tidak lama karena keburu “gugur” oleh Penjajah Belanda. Nah pada sisi inilah saya ingin  menjelaskan sejarahnya lebih dalam lagi. Pada beberapa versi yang pernah kami ketahui, Entong Gendut ditulis gugur pada tahun 1916 Masehi setelah tertembak ditepi sungai Ciliwung. Versi kedua Entong Gendut “naas” karena menyalahi pantangan ilmunya yang tidak boleh menyeberangi sungai, sehingga ia akhirnya tertembak dan tewas. Versi ketiga Entong Gendut Gendut terjebak di tepian sungai Ciliwung dan ditembaki oleh pasukan Belanda, namun beliau dikatakan kebal dan tahan peluru, namun akhirnya menyerah karena kalah jumlah, kemudian dia memberi tahu kelemahan ilmu yang dimilikinya. Versi keempat beliau tertembak dan tewas kemudian mayatnya dibawa ke Cililitan namun kemudian ternyata hilang, kemudian tidak lama kemudian terdengar bahwa beliau “hidup” dan muncul di Purwakarta Jawa Barat.

Dari sekian versi tersebut, semua rata-rata menyatakan bahwa Entong Gendut gugur, walaupun ada beberita cerita yang dipengaruhi unsur mistik, dan cerita seperti ini memang biasa disebarkan fihak fihak penjajah kepada rakyat untuk menggambarkan bahwa “sesakti-saktinya” jagonya pribumi, tetap saja ia kalah oleh Penjajah ! Padahal kematian Entong Gendut jauh dari prasangka dari penjajah ini.

Namun berdasarkan keterangan kitab Al-Fatawi dan keterangan KH Ahmas Syar’i Mertakusuma. Entong Gendut ini seperti yang digambarkan diatas. Entong Gendut memang gugur namun caranya tidaklah seperti yang diatas.

Entong Gendut dalam catatan KH Ahmad Syar’i Mertakusuma ternyata adalah merupakan bagian dari strategi perjuangan dari Mujahidin Jayakarta. Entong Gendut ini ternyata masuk dalam jaringan Gerakan Perjuangan KI DALANG yang berpusat di Desa Teluk Naga Kampung Melayu Tangerang, sedangkan Majelisnya berada di Kampung Bambu Larangan Cengkareng, Masjid Kumpi Haji Kuntara Nitikusuma (kini nama Masjid Kuntara berganti menjadi Masjid Safinatul Husna). Pada waktu itu wilayah Tangeran Kampung Naga masuk menjadi wilayah Jayakarta. Dan di wilayah Tangerang dan Cengkareng inilah banyak terdapat Mujahidin Jayakarta.

Gerakan KI DALANG adalah gerakan Perjuangan Mujahidin Jayakarta, setelah redupnya perlawanan 7 Kesatria Jayakarta, Pendekar Pituan Pitulung (Pitulung). Tumbangnya gerakan Pitung di tahun 1905 Masehi setelah gugurnya Penghulu mereka yaitu Radin Muhammad Ali Nitikusuma, setelah itu semua Mujahidin Jayakarta melakukan konsolidasi dibawah tanah hingga kemudian akhirnya pada tahun 1914 muncul Gerakan Perjuangan Ki Dalang.
Gerakan Ki Dalang adalah gerakan perlawanan terhadap kezaliman Tuan Tanah dari bangsa asing ataupun bangsa sendiri yang didukung Penjajah Belanda. KI Dalang ini memang banyak yang terdiri dari Dalang, namun dalam praktek perdalangannya mereka menyebarkan ajaran jihad fisabilillah terhadap pada Tuan Tanah dan Penjajah Belanda. Kata-kata “kafir” sering dikumandangkan untuk membedakan antara Tuan Tanah, penjajah dan rakyat Jayakarta.

Gerakan Ki Dalang dimulai tahun 1914 dan berakhir pada tahun 1926.

Dalam perjuangan KI Dalang ini Entong Gendut mendapatkan tugas  di bagian Timur Jayakarta, termasuk Desa Condet, sedangkan bagian Selatan yang mendapatkan tugas adalah Entong Geger dari Jati Padang Pasar Minggu. Peta pergerakan Entong Gendut adalah dimulai dari Kampung Condet sampai wilayah Tanjung Barat. Setiap beberapa bulan mereka melakukan konsolidasi dan mematangkan strategi dengan para pejuang Jayakarta lainnya.

Perjuangan Entong Gendut ini cukup membuat repot Penjajah Belanda dan membuat ketakutan para Tuan Tanah di kawasan Condet dan Tanjung Barat, apalagi Entong Gendut ini tidak segan-segan memberikan “hukuman” keras kepada mereka yang berfihak kepada Penjajah dan Tuan Tanah, berapa kali ia bersama dengan teman-temannya berhasil memberi pelajaran telak kepada pasukan belanda, Tuan Tanah dan antek-anteknya.

Semangat perjuangan Entong Gendut adalah Jihad Fi Sabilillah, sehingga apabila dia mendengar atau melihat langsung kemungkaran, maka Entong Gendut akan segera bertindak. Semangat Islamnya sangat luar biasa sekali.  

Perjuangan Entong Gendut sendiri harus berakhir pada tahun 1920 Masehi. Pada tahun inilah Entong Gendut tertangkap Belanda. Bersama dengan tokoh KI Dalang lainnya dia tertangkap tangan. Mereka yang tertangkap adalah :

  1. Radin Abdul Karim bin Daim Nitikusuma
  2. Entong Geger dari Jati Padang
  3. Entong Gendut dari Condet
  4. KH Ahmad Syar’i Mertakusuma
Empat orang ini dibawa hidup-hidup ke Penjara  Jambi Sumatra. Entong Gendut dan Entong Geger akhirnya syahid dan gugur di dalam Penjara Jambi. Radin Abdul Karim dipindahkan di penjara Tanjung Pinang, dan pada tahun 1932 Masehi beliau wafat di rumah sakit Pangkal Pinang Sungai Liat Sumatra. Sedangkan KH Ahmad Syar’i berkat pertolongan Allah berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Bandung, kemudian beliau tertangkap di Karawang dan segera dijatuhi hukuman mati berupa gantung oleh Pemerintah Penjajah Belanda, namun beliau berhasil lolos kembali dan hijrah ke Medan Sumatra Utara, setelah itu tidak lama kemudian beliau kembali ke Jakarta untuk mengadakan pemberontakan besar-besaran Ki Dalang, lalu setelah Pemberontakan KI Dalang meledak pada tahun 1924, KH Ahmad Syar’i pada tahun 1926 memutuskan hijrah ke Palembang karena suasana Jakarta yang sudah tidak kondusif bagi dirinya, semua gerak geriknya sudah mulai tercium Belanda, beliau akhirnya hijrah ke Palembang sambil membawa semua dokumen-dokumen penting perjuangan Mujahidin Jayakarta diantaranya kitab Al-Fatawi yang menceritakan tentang sosok Entong Gendut tersebut.

Demikianlah sekelumit sejarah Entong Gendut yang ternyata merupakan salah satu Mujahidin Jayakarta dan merupakan satu rekan perjuangan dari Al-Allamah KH Ahmad Syar’i Mertakusuma yang merupakan penulis kitab Al-Fatawi, semoga kisah Entong Gendut ini menjadi inspirasi bagi kita semua dan saya berharap kedepannya, nama Entong Gendut ini bisa diperhatikan untuk diabadikan atau dijadikan nama sebuah jalan atau tempat di sekitar Condet, karena beliau ini adalah seorang pejuang dan mujahidin yang telah berani membela kehormatan rakyat Jakarta dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Mudah-mudahan tokoh masyarakat, ulama dan pemerintah setempat bisa memperhatikan nama pejuang yang satu ini.....

Wallahu A’lam bisshowab...

Sumber :
Wangsa Aria Jipang, Gunawan Semaun Mertakusuma, Jakarta : Agapres, 1986
Al-Fatawi (Silsilatul Syar’i), KH Ahmad Syar’i Mertakusuma, Jakarta – Palembang : Majelis Adat Jayakarta Al-Fatawi, 1910.
Cerita Rakyat Jakarta DKI Jakarta, Bambang Suwondo, Jakarta : Depdikbud, 1980.
Catatan Perjalanan Hidup, Gunawan Semaun Mertakusuma, Jakarta : Al-Fatawi, 1981