Kamis, 10 September 2015

PENGGUSURAN KAMPUNG PULO SOLUSI BANJIR ? DUKA NESTAPA &TANGIS PEDIH RAKYAT KECIL JAKARTA TERHADAP AROGANSI PENGUASA

"Turut Berduka Cita atas penindasan yang dilakukan Penguasa Jakarta Kepada Rakyat"

Miris saya mendengar telah terjadinya bentrok antara fihak Pemda DKI dengan warga Kampung Pulo Kampung Melayu Jakarta Timur yang terjadi pada hari ini (Kamis, 20 Agustus 2015). Sepertinya untuk menyelesaikan sebuah masalah, kekerasan selalu menjadi sebuah jalan keluar yang “terbaik” menurut sudut pandang pemerintah. Pengerahan Satpol secara besar-besaran dengan didukung aparat keamanan sepertinya merupakan “jurus jitu” untuk menundukan rakyat jelata yang tinggal didaerah yang “mereka” anggap tidak layak dan katanya “mengganggu” lingkungan, ironisnya pada satu sisi sangat jarang saya mendengar kalau pengerahan besar-besaran seperti ini ditujukan kepada fihak golongan kaya yang tinggal dipemukiman-pemukiman elit, padahal pemukiman tersebut telah merusak dan menghancurkan lingkungan serta ekosistem yang ada. Stratifikasi sosial sepertinya telah menjadikan pemerintah “tebang pilih” dalam menjalankan setiap “operasinya”. Mirip dengan perilaku Kumpeni Belanda dulu terhadap rakyat miskin. Dengan angkuhnya penjajah Kumpeni Belanda itu menindas rakyat jelata, namun terhadap Tuan-tuan tanah Penjajah Belanda sangat memanjakan betul mereka itu. Rakyat Pribumi seperti tidak berada di negerinya sendiri...dan itu kini terjadi sekarang!

Penggusuran dengan alasan apapun pada dasarnya sangatlah tidak manusiawi dan tidak beradab. Saya berani mengatakan seperti ini karena cara-cara yang dilakukan para penggusur tersebut bila kita lihat secara kasat mata cenderung sangat melukai perasaan rakyat kecil. Akibatnya dengan adanya perilaku seperti itu semakin membuat adanya jarak antara “si miskin” dan “si kaya” atau “si lemah’ dan “si kuat”. Kalau memang ingin mengadakan sebuah penggusuran, apakah tidak ada cara yang lebih beradab dan bermartabat ? sudah putus asakah mereka yang menjadi penguasa, sehingga tidak ada cara yang lebih elegan dalam menyelesaikan masalah seperti ini ?  Pendekatan “kerakyatan” dulu yang pernah dilakukan pada saat kampanye politik sepertinya tidak berlaku lagi bila untuk masalah penggusuran, dulu begitu butuhnya mereka para pemimpin itu pada rakyat, kini justru malah menyakiti rakyat. Ingat bung, ini Jakarta, kota yang penuh dengan sejarah yang panjang. Jangan pernah menyakiti rakyat kalau anda tidak ingin menyesal.

Saya bukan anti terhadap pemerintah DKI, tapi jika mereka selalu memakai cara-cara kekerasan seperti ini apalagi untuk masalah sosial, itu sama saja mereka akan menciptakan bom waktu yang mungkin sangat mengerikan bila terjadi. Kita tentu masih ingat bagaimana dulu Peristiwa penggusuran Makam Mbah Priok yang berakhir dengan kekerasan yang cukup “mengerikan” bukan?. Kalau penggusuran untuk alasan mencegah banjir, kenapa tidak dimulai dari hulunya dulu?  Permasalahan banjir ini sangat kompleks, namun demikian, sekalipun masalahnya komplek perlu ada sebuah skala prioritas, maka menurut saya skala prioritasnya adalah dimulai dari Hulu dulu dengan mengadakan kerjasama yang baik, bukan justru dari hilirnya dulu seperti yang dilakukan pada Kampung Pulo yang jelas-jelas berada di pusat kota (hilir), mau ditanggulangi seperti apapun, tetap saja masih sangat berpotensi besar untuk banjir, karena posisi tanahnya memang sudah rendah, dengan posisi tanah Jakarta yang seperti ini, tetap saja bahaya banjir akan selalu mengintai. Justru saya sendiri sangat malu pada diri sendiri kalau melihat perjuangan penduduk Kampung Pulo itu bertahan dari bahaya banjir (apa pemimpin Jakarta yang sekarang sudah berbasah-basah ria masuk kelorong kampung ini pada saat banjir besar ? ). Di satu sisi kita hanya bisa menyalahkan mereka kenapa mereka tinggal disana, padahal mereka itu sudah tinggal berpuluh-puluh tahun yang lalu dan hanya bisa memilih tinggal di tempat itu karena keadaan.

Kalau ingin melihat sesuatu lebih baik janganlah kita semua melihat dari sudut pandang kita saja, terutama pemerintah DKI Jakarta ini. Setiap permasalahan sosial di DKI tidak harus diselesaikan dengan cara AROGAN dan SARAT AKAN KEKERASAN. Kalau setiap masalah sosial seperti penanggulangan banjir diselesaikan dengan cara penggusuran apalagi disertai dengan kekerasan, plus diiringi dengan pengerahan besar-besaran Satpol dan aparat keamanan, pertanyaannya adalah, apakah Jakarta ini “medan perang”?. Tentu dengan adanya pengerahan seperti ini, rakyat pun akan mudah terpancing karena terbakar hatinya, mereka tentu sangat marah karena ditindas oleh adanya keangkuhan penguasa Jakarta ini. Memang kita tahu Jakarta ini membutuhkan kepemimpinan yang tegas dan disiplin dalam setiap hal, tapi itu bukan berarti si pemimpin jadi semena-mena dan mentang-mentang baik dari keputusan ataupun mulutnya. Pendekatan terhadap rakyat itu harusnya ambil hati mereka mas, bukan menunjukkan arogansi dan merasa paling benar, rakyat itu berfikirnya normal-normal saja kok, untuk urusan hukum mereka itu lugu dan tidak neko-neko, yang penting bagaimana mereka itu tidak terganggu akan hajat hidupnya. Penggusuran jelas sangat menggangu  hajat hidup mereka. Jangan karena anda  itu “berkuasa” dan “menang” terhadap hukum di Jakarta ini, semua bisa dilibas, semua harus tunduk, semua harus memaklumi, semua harus mendengar. Ini negeri Jakarta bung, negeri yang dahulunya merupakan wilayah yang damai dan penuh dengan toleransi kepada siapapun, negeri ini panjang sejarah perlawanannya terhadap tirani, jangan sakiti mereka para rakyat Jakarta, karena sekali anda menyakiti mereka, tunggulah, cepat atau lambat anda akan jatuh, ingat bung penguasa, sejak dahulu negeri Jakarta ini tidak pernah tunduk terhadap penguasa yang arogan dan zalim, siapapun dia....Ingat bung, kami dulu punya Pendekar Pitung yang pernah melawan kezaliman para penguasa dan tuan-tuan tanah budak penguasa, bukan tidak mungkin kalau anda sebagai penguasa masih terus bertahan dengan gaya arogan anda, akan muncul Pitung-Pitung baru yang lebih keras dari Pitung-Pitung yang dahulu dalam menghadapi kezaliman anda....

Jakarta, 20 Agustus 2015

Iwan Mahmud Al-Fattah (Pemerhati Sejarah Jakarta)