Selasa, 26 Januari 2016

"28 NOVEMBER 1945, PERTEMPURAN LEGENDARIS TENTARA SEKUTU MELAWAN LASKAR HIZBULLAHNYA KOLONEL KH NOER ALI DI JEMBATAN KALI SASAK PONDOK UNGU BEKASI"

Diposkan tanggal 28 November 2015 di Fb Iwan Mahmoed Al Fattah

Hari ini tanggal 28 November 1945 setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, di Jakarta suasana mencekam juga terjadi karena Belanda berusaha datang untuk menguasai kembali. Pada bulan November turunlah mereka di pelabuhan Tanjung Priuk dengan peralatan perangnya yang bertujuan ingin merebut kembali Jakarta. Sebelumnya Sekutu sudah menggempur Surabaya, namun kedatangan mereka mampu dihadapi dengan heroik oleh arek-arek Suroboyo.
Kedatangan pasukan Sekutu yang didalamnya ada pasukan Belanda di Jakarta melalui Tanjung Priuk sempat dicegat oleh kelompok para ulama yang menamakan dirinya "Laskar Hizbullah" di bawah koordinator KH. Ahmad Mursidi, H. Darip, KH. Noer Ali dan para ulama beserta jamaahnya yang berkumpul di bilangan Matraman. Hal itulah yang membuat pihak Belanda melancarkan tembakannya ke arah para ulama dan jamaahnya. Dengan kalimat Takbir mereka maju tanpa takut sedikitpun. Belanda pun dibuat kewalahan. Berondongan peluru tidak mempan. KH. Ahmad Mursidi berteriak: "Masih ade lagi pelornye? Kalo abis, nih boleh Ente pungutin sendiri!" Belanda dibuat takjub dengan tangan kosong H. Darip membalikan mobil-mobil pengangkut tentara penjajah. Belanda merasa kewalahan, sekalipun demikian tetap saja kelompok ulama dan jamaahnya masih kalah jumlah. Akhirnya upaya membendung kedatangan Belanda sedikit alot. Karena pihak ulama dan jamaahnya merasa letih, pihak Belanda pun dapat memukul mundur sampai ke perbatasan Bekasi. Perburuan Belanda terhadap para ulama dan jamaahnya terjadi. Dan itu yang membuat Gerilya dari Laskar Hizbulloh yang imbasnya Jakarta tidak jatuh ke tangan Belanda untuk ke dua kalinya.
Fakta ini jelas menunjukkan jika para ulama telah menjadikan kawasan Matraman dan sekitarnya menjadi kawasan terpenting dalam perjuangan, dan ini seolah mengulang kembali ajang pertempuran bersejarah yang pernah terjadi beberapa ratus tahun yang lalu dikawasan ini. Tiga ulama ini memang dikenal merupakan ulama-ulama yang terkenal sangat keras dalam menghadapi penjajah.
KH Noer Ali adalah ulama besar bangsa ini, siapapun yang pernah membaca biografinya akan terkagum-kagum dengan sepak terjangnya dalam mempertahankan Kemerdekaan RI. Namanya semakin tenar ketika Bung Tomo selalu menyebut dalam beberapa orasinya di Radio Pemberontak dengan kalimat “Kyai Haji Noer Ali”. Sejak itulah namanya terkenal dengan nama “Kyai Haji Noer Ali”. Disebutnya nama Kyai Noer Ali oleh Bung Tomo menandakan bahwa kiprah perjuangan KH Noer Ali sangat diperhitungkan sepak terjangnya oleh berbagai kalangan. Jika Surabaya bergolak dan didalamnya terdapat peran serta ulama-ulama dan santri maka untuk wilayah Jakarta Raya nama seperti Kolonel KH Noer Ali bersama KH Ahmad Mursyidi, Haji Darip dan juga Guru Amin Kalibata mampu “menggetarkan” jagat perjuangan saat itu dengan “Laskar Hizbullahnya”. Jika sejarah mau jujur, perlawanan dari para ulama-ulama inilah yang nanti banyak memberikan pengaruh besar bagi mental pejuang untuk terus berjuang. Laskar Hizbullah memang pada waktu itu terkenal “Selon” dalam menghadapi penjajah. Modal mereka, doa, keberanian dan takbir, sehingga percaya diri mereka itu sudah tidak perlu diragukan lagi. Mati bagi mereka tidak masalah. Sehingga dengan keberanian seperti ini kadang banyak membuat fihak geleng-geleng kepala, seolah bingung kenapa para pejuang tersebut bisa “nekat”.
Pertempuran Kolonel KH Noer Ali yang sangat begitu heroik dalam melawan sekutu adalah tatkala beliau dan pasukan Hizbullahnya bertempur mati-matian mempertahankan Front terakhir di perbatasan Jakarta Bekasi pada tanggal 28 November 1945, 18 hari setelah perang besar 10 November 1945 di Surabaya. Pertempuran 28 November 1945 tepatnya berlangsung di Jembatan Kali Sasak di daerah Pondok Ungu Medan Satria Bekasi Barat (kebetulan dekat dengan rumah kami). Dalam pertempuran hidup mati ini, banyak saksi mata yang mengatakan jika pasukan KH Noer Ali kebal terhadap peluru, demikian pula KH Noer Ali, dengan bekal wirid-wirid yang pernah diajarkan oleh guru-gurunya, KH Noer Ali mampu menghidupkan keberanian para anak buahnya.
Begitu heroiknya pertempuran ini, sampai-sampai Chairil Anwar membuat sebuah Syair yang terkenal berjudul KARAWANG BEKASI. Pertempuran di Kali Sasak Pondok Ungu ini dapat dikatakan satu pertempuran terkeras dan tersengit di wilayah Jakarta Raya. Tidak heran pasca serangan besar-besaran yang ditujukan kewilayah Bekasi Karawang, kondisi menjadi luluh lantak seperti kondisi kota Surabaya. Sekutu sepertinya tidak puas jika belum membom wilayah Karawang Bekasi. Karawang Bekasi memang sangaja dihancurkan karena daerah ini merupakan lumbung beras terakhir untuk wilayah Jakarta, jika daerah ini hancur, maka logistik beras untuk rakyat Jakarta, otomatis terhenti. Namun sekalipun Karawang Bekasi hancur, perjuangan Pasukan KH Noer Ali dan juga Kapten Lukas (kelak beliau masuk Islam setelah menikah dengan istrinya yang muslimah) tetap menggelorakan perjuangan.
Dengan semangat jihad serta kelihaian Strategi Kolonel KH Noer Ali mampu menunjukkan kelasnya sebagai komandan tempur yang handal, bersama dengan Kapten Lukas, dua orang ini merupakan “buronan” penjajah Belanda, karena pasukan mereka terkenal alot dan cerdik dalam melakukan sergapan.
Sampai saat ini nama Kolonel KH Noer Ali begitu melegenda di daerah Bekasi. Kami sendiri adalah pengagum beliau dan Alhamdulillah masih sempat bertemu beberapa kali dengan beliau dalam acara-acara Maulid ataupun Haul yang sering diadakan Majelis-majelis di Jakarta pada dekade tahun akhir 80 dan awal 90an. Pada masanya, nama beliau banyak disebut-sebut penjajah Belanda. Seorang pakar sejarah Belanda bahkan pernah terkagum-kagum dengan beliau ini, pakar tersebut bahkan sempat berkata kepada Kyai Noer Ali, “ternyata seorang Kolonel Noer Ali bukan tentara yang gagah perkasa. Penampilan anda begitu bersahaja, bahkan sangat sederhana, malah pakai kain dan jubah, saya takjub dengan jati diri anda”. Kiprah dan kisah perjuangan Sang Kolonel yang Ulama bahkan pernah ingin dibuat oleh Dinas Sejarah TNI AD, namun karena Sang Kolonel tipikalnya rendah hati dan hati-hati, Sang Kolonel memberikan syarat, jika ingin membuat kisahnya, Dinas Sejarah TNI AD harus bersumber langsung darinya, dan Kolonel ingin melihat tulisan Dinas Sejarah tersebut, akur atau tidak dengan kisah sesungguhnya dari Sang Kolonel. Sampai wafatnya akhirnya kisah perjuangan beliau lebih banyak ditulis fihak lain daripada fihak militer, padahal Sang Kolonel sangat dikagumi banyak pejuang sepeti Jenderal Abdul Haris Nasution dan juga tokoh-tokoh besar lainnya.
Mengenai hubungan dengan Masjid Jami Matraman Dalam dan wilayah sekitarnya, tidak bisa dipungkiri bila hal itu memang ada, apalagi bila melihat data diatas. Dalam tulisan selanjutnya juga akan diketahui bahwa ilmu beladiri yang dimiliki Kolonel KH Noer Ali bersama Haji Darip Klender salah satunya berasal dari dari aliran SILAT MATRAMAN yang merupakan warisan dari putra dari Pangeran Diponegoro yang nantinya akan banyak memberikan warna pada perjalanan sejarah Masjid Jami’ Matraman Dalam dan sekitarnya.
Pada masa pendudukan Jepang (tahun 1942-1945) namanya sempat dimasukan ke dalam SHUMUBU yaitu Kantor Urusan Agama Jepang. Pada pertengahan April 1942, KH Noer Ali memenuhi undangan tentara Jepang menghadap pimpinan Shumubu yang berada dekat Masjid Jami’ Matraman Dalam Jatinegara Jakarta Timur (kemungkinan kantor ini sesudahnya menjadi rumah KH Wahid Hasyim). Ternyata dikantor ini KH Noer Ali bertemu dengan Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya saat berada di Mekkah dan saat itu sudah menjadi ketua Shumubu. Saat itu secara resmi beliau diminta menjadi anggota Shumubu, namun dengan gaya diplomasi beliau bisa menghindarkan diri dari aktifitas Shumubu yang merupakan propaganda politik Jepang.
Keberadaan KH Noer Ali yang secara historis sangat dekat dengan wilayah Matraman dan sekitarnya tentu sangat membanggakan bagi masyarakat setempat. Perlu diketahui pada masa itu Masjid Matraman Dalam dan sekitarnya adalah masuk wilayah Jatinegara Jakarta Timur, sebelum nanti akhirnya dipecah dan menjadi daerah Jakarta Pusat. Pada masa itu Matraman dan sekitarnya adalah daerah pergolakan, tentu KH Noer Ali yang merupakan pejuang, intelektual, ulama, guru besar, sangat mengetahui persis tentang sejarah dari Masjid Jami’ Matraman Dalam dan sekitarnya, apalagi pada masa itu banyak penduduk atau ulama-ulama keturunan Matraman Dalam asli yang masih hidup, tentu interaksi beliau cukup baik.
Dalam perjalanan Majelis Taklim yang pernah kami ikuti di jalan Kimia yang diasuh oleh Al-Ustadz Ishak Usman, pada tahun 1988 – 1989 bahkan Kyai Noer Ali ini pernah diundang dalam acara kegiatan pengajian. Beliau datang dengan jubah hitam dengan ikat sorban dikepala (imamah) yang berwarna kuning dengan memakai tongkat. KH Noer Ali memang sangat karismatik dan berwibawa. Memang ciri khas beliau ini selalu memakai jubah, kadang hijau, kadang hitam, kadang putih. Dalam pengalaman kami bertemu beliau, memang beliau ini dimana-mana selalu ditunggu dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Kami termasuk fihak yang “kenyang” bertemu beliau, sehingga kami hafal ditempat mana beliau biasanya datang dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang diadakan ulama-ulama Jakarta, seperti Maulid Nabi, Haul, Isra Mi’raj, dll.

Setiap pertemuan dengan beliau, selalu saja kami mendengar tentang “keajaiban” kisah beliau dalam berperang melawan penjajah Belanda dan sekutunya. Sehingga itu menambah keinginan kami untuk lebih dekat melihat beliau. Ceramah beliau memang sangat bisa difahami dengan mudah, bahasa beliau cukup ringkas tapi penuh arti. “Singa Karawang Bekasi” ini secara tidak langsung telah memberikan warna keagamaan dalam hidup kami. Kami sendiri setahun yang lalu bahkan pernah berkunjung ke kediaman KH Amir Noer dan cucu beliau di Pondok Pesantren Ujung Harapan Bekasi dalam rangka penelitian nasab yang sesungguhnya KH Noer Ali. Penelitian kami lakukan karena kami ingin mengetahui siapa sebenarnya leluhur dari Pahlawan Besar ini. Bahkan dengan cucu beliau yang merupakan lulusan dari Zabid Hadramaut kami sempat melakukan wawancara cukup panjang, namun Sayangnya penelitian ini tidak kami lanjuti karena kesibukan-kesibukan yang tidak bisa kami tinggal.
Sampai akhir hayatnya, Sang Kolonel lebih banyak berkiprah didunia dakwah dan pendidikan. Beliau sepertinya lebih nyaman menjadi ulama ketimbang menjadi abdi pemerintah ataupun politikus. Nasehat gurunya (Syekh Ali Al-Maliki) saat di Mekkah sepertinya selalu terbayang dan terngiang, bahwa gurunya itu tidak akan pernah Ridho Dunia Akhirat jika mendengar muridnya ini menjadi abdi pemerintah. Sikap hormat dan patuh terhadap gurunya ini memang sudah banyak didengar oleh beberapa sahabatnya, sehingga tidaklah mengherankan jika mereka melihat KH Noer Ali kemudian menjadi ulama plus pendidik tangguh di wilayah Bekasi dan sekitarnya. Sampai saat ini nama Sang Kolonel yang juga Kyai ini masih harum. Beruntunglah rakyat Bekasi mempunyai ulama yang dulu pernah mampu menghadapi penjajah dengan perlawanan hebatnya.....
KARAWANG BEKASI !!!
Sumber :
Al Fattah, Iwan Mahmud. Masjid Jami Matraman Dalam Dan Sekitarnya, Harta Karun Sejarah Jayakarta, Jakarta : Ikrafa, 2015, hlm 197 – 200