Senin, 20 Juni 2016

LUAR BATANG TANAH MILIK SIAPA ?

(Duka Nestapa Rakyat Jelata Dan Arogansi Pemimpin Jakarta Yang Buta Akan Sejarah )
Oleh : Iwan Mahmud Al-Fattah
Berdasarkan beberapa sumber yang kami dapati wilayah Luar Batang ini dahulunya merupakan sebuah tempat yang dimiliki oleh Sayyid Husein bin Abi Bakar Alaidrus yang merupakan salah satu ulama besar Jakarta yang hidup pada masa pertengahan abad ke 18 Masehi. Sekalipun beliau ini bukan asli orang Jakarta, namun jasanya dalam terhadap rakyat sangatlah besar. Berkat dakwah Islamiahnya wilayah Jakarta khususnya pesisir Jakarta Utara semakin semarak.
Mengenai status tanah Luar Batang, itu adalah merupakan pemberian dari Gubernur Batavia saat itu sebagai bentuk permintaan maaf karena telah menahan dan memenjarakan Sayyid Husein Alaidrus. Sejak diberikan tanah Luar Batang inilah beliau membangun sebuah rumah tempat tinggal dan juga membangun sebuah surau yang terus berkembang hingga menjadi sebuah Masjid Luar Batang yang berdiri kini (Abdu Kodir, 2011 : 26).
Sayyid Husein bin Abi Bakar Alaidrus sendiri menurut sejarah yang dimiliki oleh beberapa sumber Sumber dari keluarga besar Alawiyyin, datang ke Jakarta pada tahun 1746 M pada usia sekitar 25 tahun. Ia datang melalui Pelabuhan Sunda Kelapa dan setelah tiba langsung menetap di Kampung Baru Pasar Ikan Jakarta Utara yang saat itu merupakan benteng pertahanan VOC dan pada masa itu merupakan kawasan terlarang bagi penduduk (Abdul Qodir, 2011 : 33).
Di Jakarta Sayyid Husein termasuk pejuang Nasional yang gigih membela Tanah Air Indonesia. Dimasa hidupnya ia berjihad melawan penjajah, itulah sebabnya VOC pada waktu itu sering menjebloskannya di penjara. Namun disisi lain, para petinggi-petinggi VOC tidak berani untuk mengusiknya, hal ini karena keberanian, ketegasan dan wibawanya. Karena Sayyid Husein bin Abi Bakar Alaidrus adalah ulama karismatitk yang memiliki pengaruh yang begitu besar. Sosoknya sangat disegani oleh kalangan pribumi maupun pemerintahn kolonial Belanda. Orang mengenalnya sebagai sosok pribadi yang pemberani, sangat alim, bijaksana, tenang, lemah lembut dan berakhlak (Abdul Qodir, 2011 : 37).
Sebagai sosok ulama yang karismatik sosok Sayyid Husein bin Abi Bakar Alaidrus masih terus dikenang sampai sekarang, bahkan berkat nama besarnya Kampung yang dia tempati kini menjadi sebuah pemukiman yang cukup dikenal di seluruh Indonesia bahkan luar negeri, yaitu KAMPUNG KERAMAT LUAR BATANG. Makam beliau dan Masjid Keramat Luar Batang seolah menjadi magnet bagi para peziarah pada hari-hari biasa, ratusan peziarah berdatangan dari segala penjuru, sementara pada waktu maulid ataupun Haul beliau, ribuan peziarah membanjiri komplek halaman mesjid (Abdul Qodir, 2011 : 41). Bahkan orang-orang besar di negeri ini pernah mendatangi situs bersejarah ini untuk berziarah seperti GUS DUR dan SBY. Ulama-ulama besar Indonesia dan juga dari luar negeri bahkan setiap tahun sering menjadikan makam beliau sebagai tujuan utama wisata religi, sehingga tidak heran jika kegiatan religi Masjid dan Makam Keramat Luar Batang ini berlangsung selama 24 Jam.
Luar Batang jelas merupakan sebuah situs sejarah penting bagi kota Jakarta, keberadaanya bukan hanya dirasakan oleh warga pribumi ataupun keturunan Arab saja. Dalam catatan A. Heuken SJ yang mengutip catatannya Van Der Berg, disamping sebagai pusat ziarah Nusantara, Luar Batang juga banyak diziarahi orang CHINA CAMPURAN dan INDO untuk memohon keberhasilan dalam usaha mereka untuk memperoleh keturunan dan sebagainya (Heuken, 2003 : 50). Heuken juga menambahkan bahwa berdasarkan laporan dari Ong Hoe Hoe bahwa sudah sejak lama banyak orang TIONGHOA berziarah ke Luar Batang antara lain karena adanya makam Abdul Kadir yang terletak di dekat makam Sayyid Husein Bin Abi Bakar Alaidrus (Heuken, 2003 : 54). Keterangan tersebut jelas menunjukkan bahwa di daerah Luar Batang masyarakat Islamnya sangat terbuka bagi umat lain, sekalipun mayoritas warga China yan datang itu non muslim, namun sampai saat ini tidak pernah ada larangan bagi mereka untuk berkunjung ke makam Luar Batang.
Sejak masa Sayyid Husein Alaidrus hidup hingga sampai sekarang ini Luar Batang adalah salah satu pemukiman tua yang berada di kota Jakarta. Sayyid Alwi Shahab bahkan menuliskan di dalam bukunya bahwa Luar Batang sudah ada sejak tahun 1630an. Artinya daerah sebelum Sayyid Husein datang memang sudah ada.Luar Batang menurut penulis Betawi yang aktif ini merupakan salah satu tempat persinggahan TUKANG PERAHU PRIBUMI yang ingin masuk Pelabuhan ke Sunda Kelapa (Alwi Shahab, 2004 : 20 - 21).
Daerah yang berada tidak jauh dari laut ini bahkan merupakan Kampung Nelayan yang kehidupan lautnya sangat bersahaja. Laut lagi masyarakat Luar Batang adalah denyut nadi kehidupan mereka, Di daerah ini terdapat beberapa situs penting dan juga Pasar Ikannya yang cukup dikenal seantero Jakarta. Di Luar Batang juga banyak terdapat masyarakat yang sudah hidup lebih dari 4 generasi, artinya banyak yang menetap di daerah ini lebih dari 100 tahun. Sekalipun kehidupan di Luar Batang itu terlihat kumuh namun kehidupan di daerah ini sangatlah damai dan normal, dan itu sudah sering kami saksikan, mengingat kami ini sering berziarah kemakam Sayyid Husein Alaidrus. Luar Batang bahkan pernah dijadikan sebagai Tur Sejarah bagi orang-orang dari Luar Negeri, sehingga akhirnya daerah ini banyak dikenal dan kemudian dijadikan tujuan wisata sosial bagi turis-turis asing. Dengan keberadaan Kampung Keramat Luar Batang ini telah terbentuk sebuah wajah kehidupan yang unik yang kemudian mampu bertahan hingga ratusan tahun.
Namun semua itu kini tinggal kenangan, Luar Batang akhirnya digusur !!!
Pemerintah Pemda DKI atas nama peraturan daerah telah dengan semena-mena menggusur secara paksa masyarakat yang hidup di wilayah bersejarah ini. Dengan alasan untuk dijadikan RUANG HIJAU Pemda DKI yang dikomandoi oleh IR. BASUKI CAHAYA PURNAMA (kelihatannya nama yang cukup indah) menggusur habis-habisan masyarakat yang tinggal disekitar masjid dan makam, padahal dahulunya wilayah yang ditempati masyarakat Luar Batang adalah milik Sayyid Husein bin Abi Bakar Alaidrus !!! Sekalipun yang digusur itu adalah masyarakat sekitar makam dan masjid, ini jelas adalah sebuah “Pembodohan Sejarah” karena siapapun tahu bahwa masyarakat Luar Batang dengan Makam dan Masjid Luar Batang satu kesatuan. Kalau masyarakatnya dijauhkan dari makam dan masjid sudah tentu situs bersejarah tersebut akan terisolasi dari kehidupan sosial. Setelah terisolasi bukan tidak mungkin lama kelamaan akan “dihabisi”. Adanya klaim kalau tanah Luar Batang adalah tanah Pemda DKI atau Tanah Negara adalah sebuah hal yang menggelikan, mengngat status tanah tersebut sudah ratusan tahun dihuni oleh masyarakat Luar Batang. Kalaupun tiba-tiba muncul sebuah SERTIFIKAT ATAS NAMA DAERAH ATAU NEGARA, sejak kapan kemunculannya ? Sejak Masa Ir. BASUKI CAHAYA PURNAMA ??? SIAPA PULA YANG MENGELUARKAN KEBIJAKAN TERSEBUT ??? AHOK ??? ATAU “BADAN PERTAHANAN NEGARA” ???
Penggusuran Luar Batang jelas sebuah cara untuk menghilangkan “Peran Sejarah Umat Islam Jakarta” secara perlahan-lahan. Dengan mengusir penduduk yang tinggal di sekitar tempat tersebut telah menyebabkan terserabutnya akar-akar sosial yang sudah mapan dan terbentuk dengan baik di Luar Batang. Bukanlah hal yang mudah membuat struktur masyarakat sosial itu dalam sekejap, tidak mungkin profesi nelayan yang merupakan profesi yang sudah berakar berurat ratusan tahun seperti di Luar Batang ini tiba-tiba dipindahkan ke rumah susun yang jauh dari laut, kemudian “memaksa” mereka untuk berfikir segera mencari profesi selain nelayan, memangnya LAUT ITU MILIK SIAPA HINGGA ORANG TIDAK BOLEH MENJADI NELAYAN ? Sudah jelas masyarakat Luar Batang identik dengan laut dan itu dibuktikan dengan adanya Pasar Ikan. Lagipula rumah susun bukanlah sebuah solusi cerdas untuk korban penggusuran, masih banyak cara lain untuk memperbaiki lingkungan, bisa dengan penanaman besar besaran pohon mangrove disekitar pesisir pantai Jakarta, pengerukan kali yang dangkal, pelebaran waduk yang terbengkalai, membuat pori-pori tanah buatan, operasi simpatik sampah kali dan sampah laut dengan melibatkan TNI dan POLRI, penyadaran akan potensi kelautan dan perairan, melibatkan masyarakat langsung dalam mengatasi problem lingkungan, penanaman pohon-pohon dipinggir sungai Jakarta, atau dengan mendayagunakan ormas-ormas budaya untuk terlibat mengatasi masalah-masalah sosial di Jakarta dan masih banyak lagi cara lainnya. Sedangkan menggusur adalah cara “Barbar” dan “Potong Kompas” dalam mengentaskan masalah sosial. Menggusur adalah menandakan jika akal seorang pemimpin itu “BUNTU” untuk berfikir jernih dan matang. Menggusur adalah cerminan miskinnya pengalaman dalam hal Perencanaan Tata Kota. Secara umum dapat saya katakan bahwa menggusur bukanlah sebuah tindakan yang bijak dalam mengatasi persoalan, hanya pemimpin-pemimpin yang zholimlah yang senang akan penggusuran.
Adanya penggusuran yang membabi buta bukan tidak mungkin bisa membuat situs-situs bersejarah Islam lain terancam keberadaanya dan bukan tidak mungkin sejarah tempat tersebut akan segera “dihabisi” dengan cara menggusur masyarakatnya. Ini bukan Provokasi, karena jika melihat tindakan yang pernah dllakukan “anak buah” Ahok dalam menggusur pemukiman rakyat, bukanlah hal yang mustahil tempat-tempat religi bersejarah di Jakarta lainya ikut “direhabilitasi” dengan alasan “PENGADAAN RUANG HIJAU”, "PENATAAN WILAYAH KOTA" (tapi mengorbankan rakyat miskin). Alasan-alasan seperti inilah inilah yang bisa saja mengancam situs seperti Masjid dan Makam Kramat Kampung Bandan Ancol, Masjid An-Nawir Pekojan, Makam Mbah Priuk, Makam Habib Ali Kwitang dan Masjid Arriyadnya, Makam Syekh Abdul Ghoni Kayu Putih dan Masjidnya, Masjid Matraman Dalam Dan Makam KH Syamsudinya, Masjid Al Hawi dengan makam-Makam para ulama besarnya, Masjid Al Anwar Angke dengan makam para syuhadanya, Makam dan Masjid Jayakarta di Mangga Dua, Makam Sayyid Bahsin dan Masjid Al Abror Mangga Dua, Masjid Al Atiq di Kampung Melayu, Makam Pangeran Ahmad Jayawikarta dengan Masjid As-Salfiahnya di Jatinegara Kaum, Makam Pangeran Wijayakusuma di Jelambar, makam Guru Mansur dan Masjid Al Mansuriahnya, Makam Datuk Ibrahim Condet dan masjidnya, dan masih banyak yang lainnya yang keberadaanya bisa hilang karena arogansi seorang pemimpin.
Memang upaya yang paling mudah untuk mengusir masyarakat adalah dengan cara merampas “TANAH-TANAH RAKYAT PRIBUMI” menggunakan alasan “LEGAL FORMAL” dan “TERTIB ADMINISTRASI”. Ironisnya Penggusuran itu “disinyalir” justru untuk kepentingan bisnis para Taipan China Hokkian yang sedang mengerjakan Mega Proyek Reklamasi Pantai. Kasus seperti ini mengingatkan saya akan peristiwa yang terjadi pada 130 – 150 tahun yang lalu dimana Penguasa Penjajah yang Berkolaborasi dengan Tuan Tanah China di Batavia serta didukung penghianat Pribumi telah banyak merampas tanah-tanah milik Pribumi asli termasuk tanah keluarga besar Pituan Pitulung (Pitung). Dengan liciknya mereka itu menggunakan aturan yang mereka buat sendiri serta membuat sertifikat-sertifikat tanah fiktif yang dicap dari Penguasa Penjajah. Tidak heran dengan tindakan kejam dari Penguasa Penjajah, Tuan Tanah China dan Juga Inlander penghianat bangsa tersebut telah banyak menimbulkan perlawanan di Jakarta Dan Sekitarnya seperti, Perlawanan Pituan Pitulung ditahun 1889 - 1903, Perlawanan Rakyat Tambun Bekasi, Perlawanan Rakyat Tangerang & Jakarta Tahun 1924 (Ki Dalang), Perlawanan Petani Condet 1916, dan masih banyak lagi lainnya. Jika saya renungkan sepertinya kondisi sekarang ini seperti De Javu Sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Dan mereka sebagian yang kini berkuasa itu rupanya ada yang tidak menyadarinya atau memang sebenarnya mereka itu BUTA SEJARAH..???
Penggusuran yang terjadi di Luar Batang adalah sebuah tragedi rakyat yang paling menyakitkan, anehnya tragedi pilu ini masih saja “dimaklumi” dan “dilogikakan” oleh pendukung Ir. Basuki Cahaya Purnama bahwa tindakannya itu benar, titik !. Disaat air mata rakyat Luar Batang tumpah dan tubuh dan jiwa mereka “tercabik cabik” para pendukung “Gubernur DKI” ini bisa-bisanya sebelumnya mengadakan syukuran karena target periolehan KTPnya tercapai. Apakah mereka ini tidak melihat wajah-wajah derita rakyat Luar Batang yang dulu pernah memilih idolanya itu hingga menang telak didaerah Luar Batang ! Bahkan untuk penggusuran tersebut saja TNI dan POLRI sangat berperan aktif padahal seragam dan senjata mereka berasal dari uang rakyat...Ah Betapa Ironisnya...Saya sendiri ketika melihat aparat negara ini yang banyak berada di lokasi, tiba-tiba jadi ingat beberapa Sumpah dan Janji yang pernah mereka ucapkan dimana salah satunya adalah melindungi rakyat, saya juga ingat akan sosok Jenderal Andi Muhammad Yusuf dan Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Satpol PP ? ah jangan-jangan mereka tidak faham arti lambang yang digunakan dibaju yang mereka pakai itu ? lebih menyakitkan lagi beberapa "media besar" bahkan sangat minim pemberitaan terhadap tragedi kemanusiaan ini, ada apa dengan ini media media ini ? Sudah terjualkah idealisme mereka ? Dimana pula suara orang orang yang dulu pernah kritis dimasa pemerintahan terdahulu ? Keheranan saya juga semakin bertambah tatkala mengamati respon para pejabat kita termasuk Bapak Presiden RI Ir. Joko Widodo yang tidak begitu reaktif dan keras dalam menyikapi kasus tersebut, yang saya peroleh dari fakta informasi valid beberapa hari setelah peristiwa Luar Batang, beliau justru sangat sibuk menerima tamu dari “DELEGASI PARTAI KOMUNIS CHINA”. Yang juga tidak kalah anehnya, para aktivis seperti Ratna Sarumpaet ditangkap dengan alasan sebagai Provokator, padahal dia hanya mendampingi rakyat Luar Batang seolah dia ini teroris Sekalipun Ratna mungkin ada beberapa pendapatnya yang tidak saya setujui, namun sikapnya membela rakyat kecil Luar Batang telah membuat saya malu sebagai lelaki.
Ah, Luar Batang ini Sebenarnya Tanah Milik Siapa sih ???
DAFTAR PUSTAKA
Mauladawilah, Abdul Qodir Umar. 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia, Malang : Pustaka Bayan, 2011.
Shahab. Alwi. Saudagar Baghdad Dari Betawi, Jakarta : Republika, 2004.
SJ, A, Heuken. Mesjid-Mesjid Tua DI Jakarta, Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003.