Senin, 20 Juni 2016

"MENGENANG ASY-SYAHID KH ZAENAL MUSTOFA.." JIHADIS TANGGUH DARI TASIKMALAYA

Pagi hari ini... untuk yang kesekian kalinya saya mencoba kembali mengangkat beberapa episode sejarah yang menurut saya sangat patut diungkap dan jika perlu “diluruskan”, salah satunya adalah kisah tentang KH Zaenal Mustofa yang berasal dari Tasikmalaya Jawa Barat. Sengaja saya mengangkat kisah tentang beliau setelah sebelumnya saya telah menonton film “SANG KIAI’. Selama ini sebenarnya saya sudah mendengar nama beliau, namun ketertarikan saya muncul saat melihat beberapa adegan dalam film “SANG KIAI’ yang menurut saya patut dikaji ulang kembali. Karena dalam film itu ada kesan bahwa langkah perjuangan KH Zaenal Mustofa, dianggap tidak “sefaham” dengan strategi politik yang dicanangkan oleh Mbah Hasyim itu sendiri (walaupun saya sendiri tidak yakin Mbah Hasyim seperti itu, apalagi ini hanyalah sebuah film yang unsur imajinasi dan “kreatifitasnya” cukup tinggi).
Saya merasa kisah KH Zaenal Mustofa ada ketidak adilan dalam panggung sejarah bangsa ini, padahal perlawanan yang beliau lakukan itu telah banyak menggetakan Nyali penjajah. Bahkan dapat dikatakan jika beliau ini adalah pelopor perlawanan terbuka terhadap Jepang. Perlawanan beliau yang begitu heroik dan gigih bahkan telah banyak menginspirasi pejuang-pejuang dari Jawa Barat dan beberapa daerah lain, hingga nama beliau harum semerbak. Perlawanan kerasnya yang terkenal saat pesantren yang dipimpinnya dikepung Jepang, tapi disitu beliau bersama para santri berani melawan dengan gigih, dan kabar perlawanan ini akhirnya telah banyak membuat fihak berdecak kagum. Di saat kondisi masyarakat yang serba ketakutan dengan munculnya penjajah Jepang, KH Zaenal Mustofa mampu menunjukkan kehormatan dirinya sebagai pejuang dan ulama yang konsisten terhadap apa yang dia perjuangkan. Baginya jihad fisabilillah adalah jalan terakhir untuk menghadapi penjajah. Sepertinya darah perlawanan yang ada pada diri beliau itu muncul dari para leluhurnya yang saya ketahui memang banyak yang merupakan mujahid-mujahid besar di masa lalu. Faktor nasab memang terkadang bisa menjadi “ukuran” dalam menentukan watak dan karakter seseorang. MACAN SELALU MELAHIRKAN MACAN !
Begitu hebatnya sosok beliau bahkan setelah sekian puluh tahun jasadnya menghilang setelah dimutilasi oleh Jepang, jasadnya itu telah kembali ditemukan dalam kondisi yang telah menyatu ! utuh sebagaimana layaknya sebuah jenazah ! (tentu ini semua atas izin Allah) dan yang mengagumkan, jasadnya beliau ini masih mengeluarkan darah segar. Ini menandakan jika beliau memang gugur sebagai Syuhada sejati. Salah satu saksi dari itu semua adalah Kolonel Syafii dari Majalaya Bandung yang saat itu menyaksikan kebiadaban Jepang terhadap beliau, maka Kolonel Syafii inilah yang tahu persis lokasi penyiksaan dan kubur masal yang didalamnya terdapat Kyai Zainal Mustofa. Setelah diketemukan makam beliau, para ahli waris dan saksi jenazah beliau telah melihat betapa sosok ulama ini masih dijaga Allah dengan utuhnya jasad beliau, bahkan masih mengeluarkan darah...Subhanallah.........
Oleh karena itu untuk mengetahui siapa KH Zaenal Mustofa ini, dibawah ini saya coba berikan fakta tentang beliau yang ditulis oleh orang yang faham dengan sejarah Jawa Barat itu sendiri, khususnya Sejarah KH Zaenal Mustofa. Inilah tulisan tentang Asy-Syahid KH Zaenal Mustofa...
Perlawanan Kaum Santri, 25 Pebruari 1944 (MENGENANG SYAHIDNYA KH ZAENAL MUSTOFA)
Oleh PROF. DR. NINA HERLINA LUBIS
“I HAVE nothing to offer but blood, toil, tears, and sweat.” Itulah “kata-kata bersejarah” yang diucapkan Winston Churchill pada tanggal 13 Mei 1940, tiga hari setelah dia diangkat menjadi perdana menteri Inggris. Kata-kata itu ternyata memberi spirit yang luar biasa kepada para pejuang Inggris untuk memenangkan Perang Dunia ke-2.
Empat tahun kemudian, di tempat nun jauh di Timur, di mana jam menunjuk angka enam jam lebih cepat, “kata-kata bersejarah” itu menjadi fakta sejarah. Pada tanggal 25 Februari 1944, yang jatuh pada hari Jumat, di sebuah kampung di daerah Singaparna, Tasikmalaya, terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis.
Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa, sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan keringat, seperti kata Winston Churchill di atas.
Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengangkat K.H. Zaenal Mustofa sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden No. 064/TK/1972.
Makna
PERISTIWA heroik dan tragis itu telah berlalu enam dasawarsa lebih. Apakah gunanya mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang menyedihkan itu?
Manakala sebuah kisah sejarah ditampilkan kembali, tentu bukan sekadar untuk mengenang sesuatu yang sudah lewat, atau mengenang gugurnya para pahlawan. Sejarah berfungsi edukatif, agar manusia sekarang mau belajar dari masa lalu, meneladani apa yang baik, meninggalkan yang tidak baik, memetik hikmah suatu peristiwa, menghargai jasa mereka yang berjuang tanpa pamrih, belajar dari kegagalan, kekalahan, dan mencintai negeri.
Kalau saja kita tahu, bagaimana kemerdekaan negeri ini diperjuangkan, sudah bisa diprediksi bahwa paling tidak kita akan memiliki rasa cinta tanah air, memiliki jiwa patriotis sehingga kita tidak akan meruntuhkan negeri yang sudah dibangun selama 63 tahun ini, dengan cara menggerogotinya beramai-ramai.
Salah satu peristiwa heroik yang perlu kita ketahui adalah usaha para santri pimpinan K.H. Zaenal Mustofa melawan fasisme Jepang, yang terjadi pada tanggal 25 Februari 1944 itu. Mungkin sudah banyak yang mengetahui kisah ini, namun tidak ada salahnya untuk ditampilkan kembali.
Santri Sukamanah
K.H. ZAENAL MUSTOFA yang dilahirkan pada tahun 1899 di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang bernama Desa Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, sejak tahun 1927 mendirikan Pesantren Sukamanah. Kiai yang menjadi wakil ketua NU Kabupaten Tasikmalaya ini, dalam setiap dakwahnya, selalu menyerang kebijakan-kebijakan politik kolonial Belanda dengan kata-kata yang pedas. Oleh karena mata-mata penjajah ada di mana-mana, akibatnya, kiai yang telah belajar di berbagai pesantren selama 17 tahun ini sering mendapat peringatan. Kadang-kadang pidatonya dilarang untuk dilanjutkan, apabila ia tengah mengupas kekejaman serta kepalsuan politik kolonial Belanda.
Tanggal 17 November 1941, K.H. Zaenal Mustofa, bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat, untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka dipenjarakan di Tasikmalaya selama satu hari, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin di Bandung.
Setelah dibebaskan, K.H. Zaenal Mustofa tidak berubah. Kembali ia berdakwah yang isinya jelas-jelas menentang penjajah. Pada akhir bulan Februari 1942, ia dan Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan ditahan di penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, K.H. Zaenal Mustofadibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud, karena K.H Zaenal Mustofa dengan tegas menolak. Bahkan kepada para santrinya, ia memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang.
Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu).
Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang. Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.
Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas dan salah seorang santri yang bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00 datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Maka terjadilah apa yang dikisahkan pada awal tulisan ini.
Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa.
Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena dianggap tidak terlibat.
Penutup
DENGAN membaca kisah ringkas perlawanan para santri dari Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zaenal Mustofa di atas, setidaknya kita bisa melakukan refleksi sejenak. Sesungguhnya para pahlawan itu adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih, siap berkorban dengan nyawanya sekali pun. Tentu saja, mereka tidak pernah terpikir untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Masih banyak peristiwa heroik dari para pahlawan kita dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini.
Sementara itu, kita, anak cucunya tinggal enaknya menerima warisan. Sebuah negara yang sudah merdeka. Masalahnya adalah, apakah pengorbanan mereka, keikhlasan mereka, harus dikorbankan oleh kita, dengan cara menggerogoti negeri ini perlahan-lahan, dengan segala kerakusan dan keserakahan hingga hancur sehancur-hancurnya. Marilah kita sadar sebelum semuanya terlambat. ***
(Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, dan Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad.)
Sumber: Pikiran Rakyat, Pebruari 2008.