Minggu, 14 Agustus 2016

MAKAM TUA DI CONDET MILIK KI TUA/KI BALUNG TUNGGAL, (PRA SEJARAHKAH ???), (Mastur yang seolah "tekunci")

Setelah tulisan tentang Pangeran Astawana berlalu, edisi kali ini saya akan mencoba untuk menulis kembali tentang seorang tokoh yang sampai saat ini keberadaannya masih menjadi teka-teki dalam sejarah Condet itu sendiri.
Pembahasan kali ini adalah tentang keberadaan salah satu makam yang dianggap paling tua di wilayah Condet yaitu makam Ki Tua. Selain orang Condet yang menyebutnya sebagai makam Ki Tua, ada juga yang menyebutnya sebagai makam Ki Balung Tunggal. Disebut Ki Tua karena beliau dianggap sesepuh masyarakat Condet pada masa lalu, ada juga yang berpendapat, karena beliau ini adalah orang yang pertama berdiam di wilayah sekitar Condet. Keterangan lain yang juga tidak kalah menarik mengenai nama lainnya yaitu Ki Balung Tunggal. Ada yang mengatakan bahwa bahwa Ki Tua atau Ki Balung Tunggal adalah seorang pelarian yang menyamar karena dikejar-kejar Penjajah, sedangkan nama aslinya adalah Sya’ban. Sebagai seorang “buronan’ sudah tentu sosoknya selalu berganti-ganti nama.
Dari beberapa tempat lain yang saya ketahui nama Ki Balung Tunggal entah mengapa, ternyata juga ditemukan. Pada beberapa makam yang berada di wilayah Jawa Barat, nama Ki Balung Tunggal juga terdapat di Gunung Sanggabuana Karawang, Limbangan Garut, Sangkajaya Sumedang dan Bogor Barat. Di Daerah Bogor Barat bahkan nama Ki Balung Tunggal menjadi tempat wisata ziarah. Dan semua rata-rata nama Ki Balung Tunggal adalah sosok yang waskita.
Sampai saat ini jika saya pelajari tentang sejarah Condet, keberadaan makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini masih dianggap oleh sebagian masyarakat di Condet sebagai makam yang paling tua didaerah tersebut. Sebenarnya selain Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ada juga beberapa makam tua seperti makam Datuk Ibrahim, Datuk Jiin, Datuk Kudul, Datuk Geong, Datuk Raiman, Datuk Maliki, Datuk Safar, Datuk Merrah dan Datuk Tonggara di Kramat Jati, namun berhubung tentang sosok Ki Tua/ Ki Balung Tunggal sudah sering dianggap sebagai makam yang paling tua, maka itu telah membuat saya tertarik untuk mengkaji sosok seperti ini.
Beberapa pendapat yang pernah saya baca mengatakan, bahwa Ki Tua/Ki Balung Tunggal adalah sosok manusia yang hidup pada masa pra sejarah. Adanya pendapat seperti ini dikarenakan dari beberapa penemuan arkeolog yang pernah melakukan penelitian di wilayah Condet khususnya di sekitar kali Ciliwung beberapa puluh tahun yang lalu, telah ada diketemukan beberapa benda-benda atau alat-alat kehidupan yang berasal dari masa pra sejarah , dan beberapa lokasinya tidak jauh dari lokasi makam Ki Tua/Ki Balung Tunggal. Sehingga akhirnya muncullah sebuah hipotesa bahwa Ki Tua/ Ki Balung Tunggal berasal dari masa Pra Sejarah.
Benarkah demikian ?
Secara pribadi saya meragukan teori yang mengatakan bahwa Ki Tua atau Ki Balung Tunggal hidup pada masa pra sejarah, karena kondisi makam di sekitar beliau tidak di dapati makam-makam yang sejenis, seharusnya paling tidak satu atau dua bisa ditemukan hal yang sejenis. Makam-makam yang berpola sama seperti Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini bisa kita temukan di beberapa daerah Jawa Barat, dan makam-makam dengan batu kali yang tersusun mengitari makam itu lebih banyak muncul setelah setelah pra sejarah. Kebanyakan makam-makam seperti ini justru makamnya para ulama yang mastur, bisa di lihat pada daerah Limbangan Garut atau Sukapura Tasikmalaya, namun kalau Condet dikatakan sebagai sebuah daerah yang dahulunya pernah ada sebuah peradaban pada masa pra sejarah, saya sepakat karena beberapa arkeolog seperti Ali Akbar dari UI yang tergabung dengan MARI (Masyarakat Arkeologi Indonesia) sudah membuktikan dengan adanya beberapa situs yang ditemukan. Kalau sosok Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini kisahnya dikatakan berasal dari “Kitab Wangsakerta” saya justru malah mempertanyakan hal ini, karena beberapa pendapat para ahli sejarah dari Universitas Pajajaran seperti Prof. Dr. Nina Lubis telah menyatakan bahwa kitab Wangsakerta itu tidak layak dijadikan sumber rujukan, karena di dalamnya banyak kejanggalan-kejanggalan dalam metodologi ilmu sejarah. Beberapa Guru Besar Unpad bahkan mengatakan kalau Kitab Wangsakerta adalah skandal sejarah.
Saya lebih setuju jika Condet dikatakan sebagai wilayah yang berperadaban di pesisir Ciliwung, dikarenakan ada beberapa bukti yang telah ditemukan oleh Arkeolog Ali Akbar dan rekannya. Bagi saya adanya peradaban di sekitar sungai Ciliwung khususnya Condet bukanlah hal yang aneh, karena jalur komunikasi dan kehidupan masyarakat pada masa lalu adalah perairan. Kalau kita melihat kontur tanah Condet, maka kita akan faham kenapa Condet itu pernah punya kehidupan yang semarak pada pada masa lampau. Tanahnya subur, airnya mengalir deras, ketinggian air sungai sulit untuk mencapai ke atas mengingat Condet berada pada dataran tinggi. Sekalipun saat ini tanah Condet sudah padat karena pemukiman namun kesan tua sebagai sebuah daerah tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Kembali kepada Ki Tua atau Ki Balung Tunggal…
Jika memang Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini tidak hidup pada masa pra sejarah, maka kapankah masa kehidupan beliau ini?
Sebuah keterangan menarik saya dengar dari sahabat saya yang bekerja di Condet, dia mendapatkan informasi ini dari salah seorang temannya yang senang akan wisata ziarah. Menurut teman yang akrab dipanggil dengan sebutan Bang Mukhlis, berdasarkan informasi yang dia peroleh, Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini merupakan penasehat dari Pangeran Astawana. Status social beliau sebagai seorang Penasehat telah menunjukkan bahwa Ki Tua atau Ki Balung Tunggal adalah orang yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan Pangeran Astawana. Keterangan yang diberikan kepada saya ini semakin menarik dikarenakan makam Pangeran Astawana dan Ki Balung Tunggal itu saling berdekatan. Jika Pangeran Astawana berada di tanah yang agak tinggi, maka makam Ki Balung berada di bawahnya.
Keterangan Bang Mukhlis ini tentu menjadi menarik buat saya, karena dengan demikian kita bisa mengambil benang merah kapan beliau ini hidup. Kalau Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini hidup pada masa Pangeran Astawana maka sudah jelas dia beragama Islam dan hidup pada abad akhir 17 atau awal abad 18. Artinya Ki Tua ini satu masa dengan Datuk Tonggara dan Datuk Ibrahim. Kedua-duanya adalah penyebar agama Islam di wilayah Condet dan Kramat Jati. Jika Ki Tua ini dianggap sebagai orang diburu oleh penjajah sehingga nama aslinya menjadi “samar’ itu adalah hal yang wajar, apalagi status kedudukan dia adalah penasehat. Kita juga harus tahu Penjajah VOC itu tidak segan-segan untuk terus memburu para Mujahid Jayakarta kemanapun mereka bersembunyi sehingga pada masa lalu banyak dari para mujahid itu menyembunyikan atau menyamarkan namanya, termasuk Ki Tua ini, apalagi sejak dahulu berdasarkan kitab Al-Fatawi Condet adalah salah satu basis perlawanan para Mujahid terhadap penjajah VOC dan penjajah-penjajah selanjutnya.
Keterangan ini akan semakin mendekati korelasi hubungan tatkala saya dapati bahwa anak dari Ki Tua atau Balung Tunggal bernama Datuk Imut yang makamnya berada persis depan pagar pemakaman Kober Balekambang. Gelar Datuk sudah menunjukkan kalau beliau ini adalah seorang ahli dalam bidang agama dan juga sekaligus merupakan sesepuh. Ketiga tokoh tersebut makamnya saling berdekatan, sehingga dapat disimpulkan kalau mereka ini adalah sosok-sosok yang saling berhubungan. Dalam tradisi pemakaman tempo dulu, orang yang dimakamkan berdekatan, biasanya orang-orang yang mempunyai hubungan yang cukup dekat, baik itu melalui nasab, kekerabatan, pekerjaan, jabatan, dll. Intinya mereka itu bukanlah orang jauh, baik itu ditinjau dari masa ataupun kronologis sejarah.
Hal lain yang juga tidak kalah menariknya, ketika saya mengamati makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal, saya melihat bahwa arah makam ini seperti menghadap ke Kiblat, sekalipun susunan batu kali itu tidak menunjukkan mana kepala mana kaki, namun ketika saya melihat arah makam beliau yang menghadap ke kali Ciliwung, ujungnya ternyata terlihat seperti menyerong ke kanan, artinya itu seperti menghadap kiblat persis. Artinya Ki Tua atau Ki Balung Tunggal ini adalah muslim sejati.
Ada sebuah cerita dari kawan saya itu tentang keajaiban makam ini, pada tahun 2007 saat banjir besar melanda Jakarta, wilayah Condet adalah salah satu daerah yang terkena imbasnya, banjir datang cukup besar dengan debit air yang luar biasa derasnya. Anehnya setelah banjir surut, batu-batu yang tersusun di sekitar pusara atau makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal tidak ada satupun yang berpindah atau bergeser, padahal saat itu banjir sangat besar dan deras, dan disekitar beliau banyak batu yang berserakan, jangankan batu-batu ukuran kecil, jembatan yang begitu kerasnya saja hancur, rumah-rumah saja banyak yang tegerus, tanah saja banyak yang longsor, namun untuk makam Ki Tua atau Ki Balung Tunggal, tidak satupun batunya bergerak dan bergeser, seolah makam tersebut tidak terjadi apa-apa.
Begitulah tentang sosok Ki Tua atau ki Balung Tunggal …
Apapun interpretasi sejarah tentang diri Ki Tua atau Ki Balung Tunggal, keberadaan makamnya telah menunjukkan kalau daerah Condet adalah sebuah wilayah sejarah yang penting bagi Jakarta. Keberadaan makam beliau, Pangeran Astawana jelas merupakan bentuk peninggalan sejarah yang nyata yang wajib kita pelihara sampai seterusnya…
Al Fatehah untuk Ki Tua/Ki Balung Tunggal/Ki Sya’ban….