Selasa, 26 Januari 2016

WASIAT, NASEHAT DAN AJARAN ARIA JIPANG/ARIA PENANGSANG KEPADA RAKYAT JAYAKARTA (1540 - 1546)

WASIAT ARIA JIPANG KEPADA RAKYAT JAYAKARTA

  1. Tidak Pemarah
  2. Tidak Banyak Bicara
  3. Adil Dan Bijaksana
  4. Menurunkan sesuatu yang baik
  5. Budi Pekerti Terpuji Dan Jujur
  6. Menghindarkan diri dari segala macam pertengkaran
  7. Berpendirian Teguh
  8. Membela siapa yang wajib dibela

NASEHAT DAN AJARAN ARIA JIPANG
  1. Sebarkan Ajaran Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Turuti perilaku Walisongo, diantaranya puasa untuk menahan hawa nafsu, karena hawa nafsu lebih banyak batilnya.
  3. Laksanakan Perintah Guru Ratu Pangatur Akur (Pemelihara Kedamaian).
  4. Laksanakan Wasiat Al Haj Fattahillah.
  5. Bela Hak Bagi Warga Kaum (Rakyat pribumi).
  6. Panggilah dia dengan kedudukannya.
  7. Sabar Menerima Cobaan.

Sumber :

KH Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma, Kitab Al Fatawi (Silsilatul Syar’i), Palembang: Penerbit Majelis Adat Al Fatawi Jayakarta, 1910, hlm 54.

Keterangan :

Aria Jipang nama lainnya adalah Aria Penangsang (Sayyid Husein) bin Pangeran Sekar Seda Lepen (Sayyid Ali) bin Raden Fattah (Sayyid Hasan), beliau pada tahun 1540 Masehi pernah menjadi Mangkubumi pada pemerintahan Hikmah Jumhuriah Jayakarta yang dipimpin Maulana Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Pada masa Aria Jipang ini Jayakarta mengalami puncak kejayaan. Islam berkembang dengan pesat diberbagai wilayah Jayakarta. Islam yang berkembang adalah Islamnya Walisongo dan Kesultanan Demak yang menganut faham Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Ketika itu Maulana Hasanuddin menjabat sebagai Pangeran Ratu Jayakarta Yang Pertama. Maulana Hasanuddin menjabat dari tahun 1527 s/d 1552 M. Di tahun 1552 Masehi  Maulana Hasanuddin Banten diangkat menjadi Sultan Banten Pertama dan bersamaan dengan itu Banten juga memerdekakan diri dan independen dari Kesultanan Demak.

Keberadaan Aria Jipang di Jayakarta adalah atas mandat dari  Majelis Dakwah Walisongo dan Kesultanan Demak untuk mendampingi Fattahillah dan Maulana Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati/Syekh Syarif Hidayatullah dalam membangun kota Jayakarta yang kini bernama Jakarta. Jayakarta pada waktu itu membutuhkan orang-orang yang ahli dalam bidang pemerintahan dan juga militer. Dari sekian banyak putera-putera Kesultanan Demak, Sultan Trenggono/Sultan Demak III mempercayakan keponakan tercintanya itu untuk membenahi wilayah Jayakarta.  

Pasca dilantiknya Maulana Hasanuddin Banten menjadi Sultan, negeri Jayakarta menjadi wilayah kekuasaan Banten. Namun hubungan antara keturunan Banten dan keturunan Demak masih tetap terjalin dengan baik. Pengganti selanjutnya dari Maulana Hasanuddin adalah Pangeran Wijayakusuma dengan gelar Pangeran Wijayakrama yang makamnya ada di jalan raya Tubagus Angke. Keberadaan keluarga Demak tidak berhenti sekalipun Aria Penangsang telah hijrah ke Palembang untuk memperdalam dunia “makrifatnya”. Aria Penangsang sama sekali tidak tewas di Jipang Panolan seperti diceritakan pada babad tanah jawi, justru dia hijrah ke Komering dan Palembang dengan aman bahkan diketahui oleh keluarga besar Kesultanan Demak. Keturunan Aria Jipang atau Aria Penangsang bersama dengan keturunan Banten, Demak, Mataram bahu membahu dalam melakukan perjuangan melawan penjajah Portugis, Belanda.

Sampai saat ini beberapa keturunan Aria Jipang telah ikut mewarnai perjalanan kota Jayakarta, seperti Raden Ateng Kertadria (Pahlawan Perang Pecah Kulit),  Pangeran Papak (Pangeran Ahmad Muhammad/Wangsa Muhammad, hijrah ke Garut karena dikejar Belanda) Aria Wiratanudatar (hijrah karena dikejar Belanda ke Cianjur dan kemudian menjadi Adipati Cianjur), Datuk Kidam Kayu Putih (Pendiri Pondok Pesantren di Kayu Putih Jakarta Timur), Syekh Junaid Al Batawi (Maha Guru Ulama Mekkah), Syekh Mujtaba Al Batawi (Ulama Betawi Karismatik), Syekh Abdul Ghoni Mertakusuma (Mufti Betawi Pertama), Guru Mansur (Ahli Falak Betawi), KH Ahmad Syar’i Mertakusuma (pencatat Sejarah Jayakarta), Pendekar Pituan Pitulung (Pendekar Pitung). semua ini tercatat di dalam kitab Al Fatawi dan Al Mausuuah Li Ansabi Al-Imam Al-Husaini.

GELAR DATUK/DATO DALAM KHAZANAH SEJARAH JAYAKARTA

Bagi sebagian masyarakat Jakarta, untuk menghormati seorang tokoh biasanya pada nama tokoh tersebut selalu disematkan dengan sebuah gelar yang menandakan apa yang disandingkannya  tersebut sesuai dengan karakter dirinya.

Dahulu terutama pada awal-awal abad 20 jika ingin menyebut seorang ulama yang ilmunya dalam, di Jakarta selalu disematkan dengan  gelar GURU. 

Sampai tahun 60an gelar ini masih bertahan di sebagian masyarakat Jakarta. Sayangnya pada tahun 70an hingga sekarang, gelar GURU tergantikan dengan gelar KH (Kyai Haji). Padahal dengan pemakaian gelar GURU itu, Jakarta akan memiliki ciri khas gelar tersendiri dalam bidang keagamaan, dan ini adalah bagian kearifan loKal. Coba kita tengok di Sunda dimana ada Gelar Ajengan, di Aceh, Melayu Riau, Medan ada gelar Tengku, di Jawa ada gelar Kyai, di Lombokada Tuan Guru, di Sumatra Barat ada Buya, di Madura ada Bendara, di Sukawesi ada Tofanrita, di Kalimantan Selatan ada GURU (mirip dengan Jakarta) dan masih banyak lagi gelar-gelar keagamaan lokal yang ada di bumi Nusantara ini.

Diantara mereka yang pernah mendapatkan gelar di Jakarta  misalnya Guru Mansur, Guru Romli, Guru Mughni, Guru Majid, Guru Abdullah, Guru Mahmud, Guru Marzuki, Guru Amin, Guru Riun, Guru Junaidi, Guru Cit,  Guru Alif, Guru Ending,  dan masih banyak lagi ulama-ulama Jakarta yang memakai gelar seperti ini. Tentu gelar ini bukanlah gelar sembarangan mengingat mereka yang saya sebut ini pada masanya dikenal sebagai ulama yang karismatik dan dalam ilmunya. Gelar Guru memang menandakan kalausi pemilik ilmu diakui secara budaya berdasarkan keilmuannya. Namun demikian bergesernya gelar Guru menjadi Kyai Haji memang bukan merupakan kesalahan, karena setiap kebudayaan pasti akan mengalami perkembangan. Dulu mungkin masyarakat akrab dengan panggilan Guru namun seiring berjalan waktu, title Kyai Haji itu kemudian mengambil alih kedudukan spiritual ulama-ulama Jakarta, misalnya KH Abdullah Syafi’I, KH Thohir Rohili, KH Noer Ali, KH Zayadi Muhajir, KH Nahrowi Abdussalam, KH Syafi’I Hadzami, KH Abdurrozaq Khaidir, KH Fathullah Harun, KH Sasi, KH Zaenuddin MZ, dan masih banyak lagi.

Di samping gelar GURU di Jakarta ternyata ada satu gelar yang menarik untuk dikaji, yaitu gelar DATUK/atau DATO. Pada setiap budaya di Nusantara ini, terutama Melayu, Gelar Datuk/Datu/Dato memang memiliki makna yang berbeda pada setiap daerah seperti misalnya :

1.  Ayah atau kakek
2.  Yang Dituakan
3.  Yang dipertuan

Dalam konteks sejarah Jakarta, tentu menjadi sebuah kajian yang menarik ketika gelar tersebut muncul.

Dalam konteks sejarah keluarga besar Walisongo sendiri nama Datuk kita dapat lihat pada gelar Syekh Datuk Kahfi yang ada di Cirebon, memang beliau ini ayahnya banyak bertempat tinggal di Malaka.

Berdasarkan penelitian dan wawancara saya dengan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan atau mereka yang mengetahui gelar ini. 

Ternyata gelar DATUK atau DATO ini diperuntukkan bagi ulama-ulama yang hidup pada era abad ke 17 – 19 Masehi. Pada wawancara saya dengan Abuya KH Rusdi Saleh (kakeknya adalah ulama besar Betawi Kampung Melayu yang pernah 11 tahun di Mekkah) di kediaman beliau Kampung Melayu Jakarta Selatan pada tahun 2013 lalu, beliau menegaskan kepada saya bahwa semua Ketua Masjid Al Atiq Kampung Melayu sejak tahun 1700san sampai akhir abad ke 19 Masehi adalah ulama-ulama yang mumpuni ilmunya. Ketua Masjid tidak boleh dijabat oleh yang bukan ulama. Dan gelar ketua masjid Al-Atiq adalah rata-rata adalah DATUK/DATO. Pengurus Masjid pertama bernama DATUK ABDUL MAJID yang merupakan ulama besar pada masanya, terutama pada kawasan Mester cornelis.

Untuk memperkuat jika gelar DATUK atau DATO ini bukan gelar sembarangan, pada tahun 2013 saya juga mengadakan wawancara dengan beberapa sesepuh yang tinggal di daerah Condet Jakarta Timur dimana disitu terdapat  makam ulama yang bernama DATUK IBRAHIM. Datuk Ibrahim ini ternyata keturunan Maulana Malik Ibrahim yang menyebarkan Islam di Condet dan sekitarnya. Beliau adalah ulama dan waliyullah yang kapasitas keilmuwannya sangat tinggi. Beberapa sesepuh seperti Haji Musa juga menegaskan jika gelar Datuk adalah gelar untuk ulama Jakarta pada masa lalu, dan mereka yang bergelar DATUK atau DATO ini bukanlah ulama sembarangan.

Masih belum puas saya juga berusaha mencari nama DATUK/DATO BiIRU yang ada di Rawa Bunga Jatinegara Jakarta Timur dan mempunyai hubungan dengan masyarakat Condet, ternyata beliau inipun seorang ulama yang Waliyullah, dinamakan BIRU karena beliau selalu memakai pakaian dan Jubah Biru.

Berdekatan dengan Condet yang berlokasi di Kelurahan Kramat Jati Jakarta Timur ada juga salah satu makam penyebar agama Islam yang bernama DATUK TONGGARA yang berasal dari Sulawesi. Besar kemungkinan beliau ini salah satu ulama dan pasukan perangnya Syekh Yusuf Makasar yang pernah singgah di Jayakarta untuk membantu perlawanan Sultan Banten dalam  menghadapi Penjajah.

Bergeser saya kearah Kayu Putih Utara Kecamatan Pulogadung Jakarta Timur saya juga menemukan makam seorang ulama Jakarta tempo dulu yang bernama DATUK QIDAM, beliau adalah pendiri pertama Pesantren Kayu Putih ,beliau merupakan kakek dari Syekh Abdul Ghoni atau Wan Gani yang merupakan mufti betawi pertama sebelum Sayyid Usman bin Yahya. Datuk Qidam disamping seorang Mujahidin Jayakarta dia juga merupakan ulama yang Waliyullah. Gelar Datuk disandangnya karena pengakuan ulama dan masyarakat pada masa itu.

Yang juga tidak kalah menarik adalah keberadaan seorang Ulama di daerah lubang buaya pondok gede  yang bernama DATUK BANJIR yang nama aslinya Pangeran Syarif bin Syekh Abdurrahman. Beliau dikenal sebagai ulama yang mempunyai banyak karomah dan pejuang pembela rakyat yang ditindas oleh penjajah. Menurut sebuah riwayat Datuk Banjir adalah orang yang membangun masjid Maulana Hasanudin di dekat PMI jalan MT Haryono, masjid yang sering disebut kubah hijau yang tiangnya tidak memakai tiang soko guru seperti masjid lainnya, kebetulan saya sudah berapa kali sholat dimasjid ini, dan menurut dari keluarga Kong Riun yang ada Tegal Parang Jakarta Selatan, memang masjid tersebut dibangun oleh Dzurriyah keturunan Maulana Hasanuddin Banten yang ada di Jayakarta.

Dan masih banyak lagi nama-nama Datuk yang belum saya datangi seperti DATUK GEONG, DATUK SIRRIN yang makamnya di samping SMA GLOBAL ISLAMIC SCHOOL CONDET atau juga KYAI LUKMANUL HAKIM yang bergelar DATUK di Kramat Kampung Pulo yang kini terancam digusur.  Dari beberapa riwayat dan konteks Sejarah Jayakarta jelaslah bahwa seorang DATUK/DATO itu adalah ulama yang karismatik dan dalam ilmunya. Rata-rata mereka juga banyak yang merupakan pejuang dan Mujahidin Jayakarta. Seorang yang bergelar DATUK atau DATO merupakan ulama yang mampu menjadi contoh bagi masyarakat baik perkataan maupun tingkah lakunya, karismanyapun biasanya cukup bisa dirasakan oleh masyarakat. Gelar DATUK atau DATO itu setara dengan ulama Jakarta yang karismatik pada masa awal abad 20 seperti para GURU yang sudah saya sebutkan terdahulu dan juga para Habaib seperti Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur, Habib Salim Jindan, Habib Zain Alaidrus Krukut, Habib Muhsin bin Muhammad Al-Attas, Habib Kuncung, Habib Umar Bin Hud Al-Attas. Sayyidil Walid Alhabib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, dll.

Sumber :

Wawancara dengan Abuya KH Rusdi Saleh Kampung Melayu tahun 2013
Wawancara dengan para sesepuh Condet di Masjid Assa’dah tahun 2013
Wawancara dengan salah satu Dzurriyah Kong Riun di Tegal Parang tahun 2014
Penelitian sejarah makam penyebar Islam Jakarta secara mandiri, sejak tahun 1993 sampai dengan sekarang.

PERNIKAHAN CUCU RADEN FATTAH (SULTAN DEMAK) DAN CUCU RAJA PAJAJARAN (PRABU SURAWISESA) MENGGUGURKAN MITOS PERANG BUBAT

Salah satu misteri sejarah yang sampai kini masih menjadi perdebatan adalah tentang kisah perang bubat antara Pajajaran dengan Majapahit. Bagi sebagian besar masyarakat Sunda yang mengetahui cerita yang satu ini, kisah perang bubat adalah luka kelam dalam sejarah mereka, bagi sebagian masyarakat Jawa juga merupakan kisah yang seharusnya tidak perlu terjadi dan membuat nama mereka sedikit tercemar. Sebagian orang Sunda mengatakan bahwa peristiwa perang bubat itu bukanlah perang tapi pembantaian,karena bagaimana mungkin disebut perang, karena Raja Pajajaran datang ke Majapahit justru untuk besanan dengan Majapahit tapi gara-gara arogansi Gajah Mada semua jadi berantakan. Bagi sebagian masyarakat Jawa tidak sepatutnya seorang Gajah Mada memperlakukan rombongan Pajajaran yang dipimpin Maharaja Linggabuana sampai harus terjadi pemaksaan, yang mengakibatkan gugurnya semua rombongan Pajajaran termasuk calon istri Hayam Wuruk yang bernama Dyah Pitaloka. Sehingga akibat kejadian ini Hayam Wuruk menjadi terpukul dan akibatnya kemudian Gajah Mada pun disingkirkan dari kekuasaan, dan Hayam Wuruk akhirnya mencoba menjalin kembali hubungan dengan pewaris Kerajaan Pajajaran…begitu ceritanya….

Kisah yang begitu mengharu biru ini sampai sekarang masih terus dipercaya oleh masyarakat Sunda dan Jawa, harus diakui sampai sekarang cerita ini masih sangat membekas terutama pada masyarakat Sunda. Begitu membekasnya kisah ini sampai sekarang sangat sulit mencari nama-nama yang berbau Majapahit di beberapa jalan ataupun bangunan-bangunan penting, tengok saja kalau anda ke Bandung, pasti akan sulit mencari jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk, Raden Wijaya, Brawijaya, Empu Prapanca, dll. Sedangkan di Jakarta yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Pajajaran justru nama-nama tersebut akan banyak kita temui. Cerita perang bubat seolah tidak terlepas dari Harta, Tahta, Wanita sehingga membuat orang lupa dan nestapa. Seolah sejarah kita ini identik dengan  tiga hal tersebut, kalau tidak harta kekayaan, ya perempuan, kalau tidak perempuan ya masalah kekuasaan. Dan ini selalu ada pada beberapa cerita lokal ataupun nusantara yang kebanyakan justru diterjemahkan oleh ilmuwan penjajah belanda. Dan itu juga kami sinyalir terjadi juga pada kisah perang bubat ini.

Akibat dari adanya ini semua kami sedikit banyak bertanya...

Benarkah kisah Perang Bubat ini ?

Kenapa kisah ini baru dimunculkan pada awal abad 20 ?

Kenapa dari Walisongo sampai muculnya kisah tersebut sama sekali tidak tercatat ?

Kisah Perang Bubat kalau kita mau mengkaji lebih dalam lagi, ternyata cerita tersebut terdapat pada naskah Serat Pararaton dan naskah Kidung Sunda (Sundayana) yang berbentuk Syair, dan katanya naskah tersebut ditemukan di Bali ! Nah kalau kita mau kritis sedikit, kedua naskah ini ternyata yang menerjemahkan adalah J.L.A. BRANDES ! ia adalah seorang filolog (ahli bahasa kuno), kolektor barang kuno, dan leksikografer (ahli penyusun kamus bahasa langka) berkebangsaan Belanda. Brandes merupakan ilmuwan dari Penjajah kolonial Belanda yang ditugaskan untuk menterjemahkan naskah-naskah Jawa kedalam bahasa Belanda. Dan tujuan dari penerjemahan itu sudah jelas untuk membengkokan sejarah bangsa ini, karena Belanda tahu bahwa dengan merusak sejarah dan budaya bangsa ini maka mereka akan lebih mudah menguasai Indonesia. Tidak heran jika Bung Karno selalu meneriakan semboyan JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Sekalipun isi naskah pararaton dan kidung sunda ada perbedaan, namun ujung dari peristiwa dibubat sama, yaituTragis !

Sampai saat ini bila kita pertanyakan, dimana naskah asli dari Pararaton dan Kidung Sunda itu ? tidak pernah ada jawaban yang jelas dan siapa juga penulis terakhirnya tidak ada yang bisa mengetahuinya, yang ada hanya bentuk terjemahannya saja dari J.L.A. Brandes  yang kemudian diterjemahkan oleh C.C.Berg pada tahun 1927 – 1928. Padahal kunci untuk menentukan keabsahan sebuah tulisan sejarah itu harus dilihat dari naskah aslinya, setelah ketemu naskah aslinya maka penulisnyapun perlu kita teliti ulang siapa dia, apakah dia mempunyai mata rantai penulisan (dalam islam disebut sanad), bagaimana kemampuan menulis sejarahnya, bagaimana pemahanan dia terhadap garis keturunan-keturunan Nusantara. Nah pada kasus Pararaton dan Kidung Sunda (Sundayana) yang ini justru kita hanya mendapati cerita terjemahan Brandes yang sekali lagi saya tegaskan bahwa dia adalah ilmuwan yang bekerja dan dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda,yang tujuannya sudah jelas untuk menjalankan politik devide et impera.

Perlu anda ketahui pada saat penerbitan naskah terjemahan PARARATON DAN KIDUNG SUNDA , itu masanya hampir bersamaan dengan masa-masa akan diadakannya SUMPAH PEMUDA, artinya ada kecendrungan usaha untuk memecah belah usaha para pemuda Nusantara untuk bersatu, dan  salah satu kekuatan utama atau pelopor gerakan sumpah pemuda saat itu adalah masyarakat SUNDA dan JAWA, sehingga untuk membendung gerakan ini muncullah terjemahan Pararaton dan Kidung Sunda yang disebarkan oleh Belanda dan kemudian banyak dibaca oleh sebagian besar masyarakat Sunda dan Jawa pada saat itu. Gerakan Belanda ini juga sepertinya satu paket untuk serba memajapahitkan atau menghinduisasikan sejarah Nusantara secara umum, sehingga akhirnya sejarah Islam menjadi tersingkir, padahal sejarah Islam cukup menentukan kelangsungan bangsa ini.

Munculnya naskah-naskah yang kontroversial seperti Pararaton atau Kidung Sunda memang bertujuan untuk merubah alur sejarah bangsa ini, agar mereka buta dan apatis terhadap sejarah bangsa ini. Naskah-naskah ini sepertinya satu paket dengan naskah-naskah kontroversial lain seperti Babad Tanah Jawi, Sabda Palon, Darmagandul yang muncul setelah usainya perang melawan Pangeran Diponegoro, sejak kekalahan Pangeran Diponegoro, Penjajah Belanda gencar meracuni alam pemikiran masyarakat melalui karya-karya sastra berselubung politik kolonial. Melalui karya sastra yang menyesatkan itulah belanda berusaha meruntuhkan jati diri bangsa ini, Sebab jika menghadapi mereka dengan perang dan kekerasan Belanda tidak pernah berhasil 100 % untuk menundukan perlawanan para pejuang bangsa.

Bagi kami kisah perang bubat ini adalah skandal sejarah yang sengaja diciptakan para penjajah, kenapa demikian ? karena ternyata fakta kalau Sunda dan Jawa bermusuhan itu adalah sama sekali sulit dipertanggung jawabkan baik sejarah ilmiah maupun secara sejarah !. Tidak ada satupun prasasti yang menunjukkan adanya peristiwa ini, padahal peristiwa peristiwa ini sangat penting bagi dua kerajaan besar di Nusantara. Keberadaan naskah itu hanya terdapat pada  Pararaton dan KidungSunda (Sundayana) yang diterjemahkan oleh J.L.A. BRANDES yang sampai sekarang naskah yang asli dan telah diterjemahkannya itu antah berantah keberadaannya. Kita perlu tahu bahwa sebelum diterjemahkan oleh Brandes tidak pernah terdengar adanya kisah perang bubat ini, masa Walisongo hingga masa awal abad 20 sama sekali tidak terdengar kisah ini. Padahal Walisongo terutama periode angkatan pertamanya pada periode antara tahun 1350 – 1403 sudah masuk ke pulau Jawa dan dari sini ternyata tidak pernah terdengar ada dalam riwayat mereka tentang kisah ini, padahal mereka itu banyak yang merupakan ahli sejarah. Seperti Sayyid Fadhol Ali Murtadho bin  Maulana Ibrahim Zaenuddin As-Samarqondy yang hidup pada masa Majapahit. Tidak mungkin orang sekelas beliau tidak meriwayatkan kisah yang satu ini. Sayyid Fadhol Ali Murtadho adalah pemegang mata rantai ilmu nasab dan sejarah Walisongo, sehingga akan sangat aneh kalau dalam riwayat yang beliau miliki tidak terdapat cerita perang bubat ini.

Pada sisi lain, kisah perang bubat ini juga bisa runtuh jika melihat kiprah dan hubungan Kesultanan Demak dengan hubungan Kerajaan Pajajaran. Dan seperti yang kita ketahui bahwa Kesultanan Demak sangat berhubungan kuat dengan Majapahit terutama dalam perjalanan sejarah panjangnya.Kalaupun terjadi peristiwa diambil alihnya Sunda Kelapa yang merupakan wilayah Pajajaran oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527 M itu justru menjadi kunci pembuka tabir bagaimana sebenarnya hubungan antara Pajajaran dan Kesultanan Demak yang mewakiki Jawa.

Diambil alihnya Sunda Kelapa oleh Kesultanan Demak tahun 1527 itu justru merupakan babak baru tentang hubungan antara Pajajaran dengan Kesultanan Demak. Pajajaran yang mewakili Sunda, Demak mewakili Jawa. Pola hubungan itu adalah ketika terjadinya pernikahan antara ARIA PENANGSANG/ARIA JIPANG yang merupakan cucu RADEN FATTAH DARI KESULTANAN DEMAK dengan RATU AYU JATI BALABAR yang merupakan cucu PRABU SURAWISESA RAJA PAJAJARAN.

Jika melihat pernikahan ini, jelas Perang Bubat adalah mitos, sebab jika itu benar sudah tentu fihak keluarga besar Pajajaran akan menolak keras keluarganya dinikahi oleh bangsawan Jawa, apalagi ini bangsawan yang dianggap memiliki hubungan yang kuat dengan Majapahit. Namun kenyataannya SINGA MENGGALA sebagai ayah dari RATU AYU JATI BALABAR mengizinkan putrinya menikah dengan CUCU RADEN FATTAH tersebut. Demikian pula PRABU SURAWISESA, sekalipun dia berbeda pandangan secara politik dengan Kesultanan Demak, toh pernikahan antara cucunya dengan cucu Raden Fattah berlangsung dengan baik. Ini sekaligus juga memberikan petunjuk kalau Pajajaran itu sebenarnya sudah dimasuki proses Islamisasi. Kami perlu mengangkat fakta yang satu ini, karena pada masa itu kekuatan Pajajaran dan Demak adalah kekuatan yang paling menonjol dan mewakili masing-masing etnis. Sehingga adanya perang bubat itu jika ditinjau dari pernikahan penting antara Klan Pajajaran dan Demak, ceritanya sangat tidak beralasan untuk dipercaya. Dan perlu kita ketahui pada masa itu untuk menyatukan dua kekuatan yang berbeda kutub biasanyaya jalur pernikahan merupakan strategi jitu bagi kedua fihak, istilahnya adalah win win solution…

Kalau seandainya perang bubat saat itu membekas kuat pada diri Kerajaan Pajajaran pasti apa-apa yang berbau Jawa akan ditolak dengan keras. Secara logika mana mungkin di negara sendiri, Pajajaran mau tunduk habis apalagi menyerahkan salah satu putrinya kepada keturunan Jawa yang katanya pernah berbuat zalim terhadap leluhur mereka, padahal katanya di bubat saja mereka mati-matian sampai titik darah penghabisan, tentu trauma sejarah akan sangat membekas pada diri mereka, mengingat kejadian perang bubat jaraknya lebih dekat dengan masanya Kerajaan Pajajaran pada masa itu,  pada  kenyataannya ketika Fattahillah yang mewakili Demak/Jawa memasuki Sunda Kelapa yang merupakan wilayah Pajajaran, keberadaannya justru diterima dengan baik oleh penguasa Sunda Kelapa yang suaminya adalah anak dari Prabu Surawisesa (tidak benar terjadi perang antara Sunda Kelapa dan pasukan Fattahillah !). Bahkan setelah itu terjadi pernikahan antara Klan Sunda dan Klan Jawa melalui Aria Jipang Jayakarta dan Ratu Ayu Jati Balabar. Dari pernikahan ini kelak akan banyak lahir mujahidin-mujahidin Jayakarta.

Hubungan Sunda dan Jawa juga semakin akrab,ketika banyak keturunan Raden Fattah yang  mewakili Jawa hijrah ke negeri Sunda, bahkan  keluarga beliau banyak yang menjalin hubungan dengan bangsawan Sunda yang banyak keturunan Pajajaran.  Di daerah Sukapura Tasikmalaya, bahkan keluarga Demak/Jawa sangat dekat di hati mereka, di daerah garut yang merupakan daerah penyimpan sejarah penting banyak keturunan Raden Fattah yang sudahmenyatu dengan ulama ulama keturunan pajajaran, di Bandung sendiri kalau kita mau jeli dan meneliti ulang silsilah para bupati bupati tempo dulu, itu banyak yang mempunyai hubungan silsilah dengan Demak/Jawa, bahkan Ajengan-ajengan yang ada di Cimahi banyak yang merupakan keturunan Aria Jipang Jayakarta. Di Cianjur bahkah banyak keturunan Aria Jipang Jayakarta yang banyak menurunkan para Ajengan, bahkan kami mendengar ada satu kampung keturunan Sultan Trenggono. Pada penelitian saudara kami yang ada di Sukapura, bahkan beliau menemukan fakta daerah Sumedang juga banyak keturunan Raden Fattah, padahal sumedang terkenal kuat akan sejarah Pajajarannya. Belum lagi kalau kita bicara Banten dan Cirebon dimana kedua kesultanan ini telah menjalin hubungan kekerabatan denganKesultanan Demak. Di beberapa daerah Bogor bahkan banyak sekali keturunan jawa yang diwakili oleh dinasti Pangeran Diponegoro dan bahkan keturunan mereka banyak yang menjadi ulama serta pemimpin di negeri hujan ini. Belum lagi Jayakarta yang jelas-jelas menegaskan bagaimana pola hubungannya dengan Pajajaran.

Kisah perang bubat bagi kami perlu ditinjau ulang kembali kebenaranya, karena pada kenyataannya antara Suku Sunda dan Jawa itu bersaudara, dan itu telah dibuktikan dengan adanya pernikahan cucu RADEN FATTAH dan cucu PRABU SURAWISESA. Sejak dulu banyak mujahidin Sunda dan Jawa itu bersatu dalam melawan penjajahan, hanya saja banyak dari mereka itu yangtidak tercatat sejarahnya. Para pejuang perang 10 November 1945 dulu bahkan banyak orang-orang Sunda yang terjun membantu saudaranya di Surabaya, Mbah Hasyim Asy’ary bahkan sangat berharap dengan kedatangan Kyai-kyai dari Buntet Cirebon.Perlawanan beberapa pejuang di Jawa juga banyak dibantu oleh pejuang-pejuang dari Sunda, bahkan hingga kini ulama-ulama Sunda dan Jawa sudah seperti saudara kandung, kyai-kyai Jawa banyak belajar kepada Ajengan di Sunda, Ajengan-ajengan di Sunda dulu bahkan juga banyak yang belajar di Jawa.

Kesimpulannya bagi kami, kisah perang bubat adalah cara dan usaha politiknya Belanda yang bertujuan untuk Devide Et Impera terutama menjelang akan diadakannya Sumpah Pemuda yang justru diadakan di bumi Jayakarta, yang dalam akar sejarahnya, para pemimpinnya terdahulu adalah merupakan gabungan keturunan Jawa dan Sunda. Belanda melakukannya dengan penyebaran karya sastra berbau politik yang memang sebagian masyarakat kita itu senang akan cerita, tembang syair dari masa lalu, dari celah inilah penjajah berusaha menghancurkan pemikiran bangsa Indonesia akan sejarahnya. Dan salah satu pengaruhnya yang hingga kini masih adalah sinisme antar suku akibat adanya cerita bubat ini. Sinisme kedua suku itu tidak perlu terjadi lagi kalau kita faham dari mana asal usul kisah perang bubat itu. Kita jangan jadi korban dari “trauma sejarah’ yang dibuat-buat oleh penjajah belanda, kalau yang lebih “kuno” dalam peristiwa sejarah  seperti pernikahan Aria Jipang Jayakarta dan Ratu Ayu Balabar saja tidak terjadi trauma, mengapa yang modern sekarang ini malah lebih trauma ?

SUMBER :

Achadiati S, Soeroso M.P Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit’. Jakarta: PT Gita Karya. , 1988.
Mertakusuma, Guwanan, Wangsa Aria Jipang,Jakarta : Agapress, 1986.
Mertakusuma, Kitab Al-Fatawi (silsilah Syar'i) KH Ahmad Syar’i,Jayakarta-Palembang: Al-fatawi, 1910.

WAJAH HADRATUSSYAIKH MBAH KH HASYIM ASY’ARY DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG

NU sepertinya tidak pernah habis untuk dibahas, selesai pembahasan satu, muncul lagi pembahasan lain. Seolah jika tidak membicarakan NU tidak “meriah”, ibarat anak muda, “gak ada loch gak rame”. Nyaris semua fihak, baik yang “cinta” ataupun yang “benci” kepada NU, tidak pernah habis-habisnya membicarakan organisasi yang didirikan oleh ulama karismatik yang berasal dari Tebu Ireng yaitu Mbah KH Hasyim Asy’ari Azmatkhan dan merupakan murid terkasih dari Mbah Kholil Bangkalan Azmatkhan. 
Pada muktamar yang lalu beberapa pembahasan juga sempat ramai seperti Isu Islam Nusantara, dan juga “meriahnya” pemilihan Ketua Umum. Kami sendiri pada waktu itu juga sempat ikut terlibat untuk membuat sebuah kajian yang berkaitan dengan nasab Mbah KH Hasyim Asy’ari ini. Terlibatnya kami dalam kajian tersebut semata-mata demi memberikan sebuah pencerahan tentang beberapa sudut pandang mengenai Mbah KH Hasyim Asy’ari ini terutama pada Nasab yang beliau miliki.
Sebagai ujung tombak berdirinya NU, bagi kami Mbah KH Hasyim Asy’ari sosok besar yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan, dan lagi-lagi dalam kesempatan kali ini kami juga juga ikut-ikutan untuk “latah” dan “nimbrung” dalam menyikapi sebuah isu yang baru dua hari ini dilemparkan oleh beberapa fihak, yaitu tentang wajah Mbah Hasyim Asy’ari. Tentu dalam kajian kami kali ini seperti biasa, kami tidak akan menghakimi semua fihak, kami justru mencoba untuk memberikan atau menawarkan kepada mereka yang pro dan kontra bahwa dibalik “tanya jawab’ ada data-data yang kiranya kami berharap bisa memperkaya khazanah sejarah tentang tokoh yang mereka bicarakan. Kami yakin baik pro maupun dan kontra semuanya sangat mencintai Mbah KH Hasyim Asy’ari ini, hanya saja mungkin perlu kedepannya dibangun sebuah dialektika yang lebih mengedepankan data dan fakta yang ada tanpa harus saling menjatuhkan.
Berbicara tentang bagaimanakah wajah Mbah Hasyim sebenarnya, sudah banyak fihak yang mengetahuinya. Namun persoalan kemudian timbul, setelah pada tanggal 22 Oktober 2015 pada saat perayaan Hari Santri yang diadakan di Gedung Perintis Kemerdekaan Jakarta Pusat (kebetulan berdekatan dengan rumah kami), wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari ditampilkan dalam bentuk yang berbeda dimana wajahnya dibuat klimis padahal sebelumnya bahwa wajah beliau memiliki jenggot dan kumis. Mungkin bagi sebagian orang NU hal itu tidak mengapa, tapi bagi orang lain berbeda, apalagi Mbah Hasyim Asy’ari milik semua komponen bangsa.
Persoalan lukisan ini tiba-tiba menjadi isu besar, padahal sebenarnya itu adalah sebuah lukisan yang biasanya identik dengan nilai subyektifitas dan yang namanya subyektifnya, biasanya selalu tergantung dari sudut pandang si pelukis dan juga tergantung dari nara sumber yang ia peroleh sehingga akhirnya muncul lukisan tersebut. Dalam dunia lukis sudut pandang penulis sangat menentukan, untuk mencapai sebuah nilai yang ideal dan sama dengan wajah aslinya tidak semudah yang dibayangkan. 
Pertama kali munculnya lukisan wajah Mbah Hasyim Asy’ari kami sendiri menyikapinya dengan hati-hati dan berusaha untuk mencoba kembali untuk memperkuat bagaimana sebenarnya wajah Mbah Hasyim Asy’ari ini. Ingat Mbah Hasyim Asy’ari ini kan usianya diatas 75 tahun, sehingga proses perjalanan wajahnya bisa saja terjadi banyak perubahan karena perjalanan waktu. Namun demikian untuk tidak bertele-tele, baiklah kami akan coba kembali untuk mencoba memberikan data-data yang kami miliki bagaimana sebenarnya wajah Mbah Hasyim Asy’ari ini.
Salah satu bukti otentik mengenai wajah Mbah Hasyim Asy’ari, kita bisa lihat pada buku Sejarah Hidup KH.A. Wahid Hasyim yang dicetak ulang oleh Mizan pada tahun 2011 dan disusun oleh Haji Abu Bakar pada tahun 1955 dan terdapat pada halaman 66. Ini adalah bukti otentik yang tidak terbantahkan karena ditulis oleh para ahli sejarah yang dokumentasinya kami anggap cukup luas biasa. Dalam buku ini kita akan bisa melihat dengan jelas bagaimana sebenarnya wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari. Perlu diketahui bahwa pembuatan buku ini setelah 2 tahun wafatnya KH Wahid Hasyim dan 8 tahun pasca wafatnya Mbah KH Hasyim Asy’ari (25 Juli 1947/9 Ramadhan 1366). Tentu dengan jarak waktu yang sangat dekat ini, dan saksi-saksi sejarah masih banyak yang hidup, sangat mengetahui betul bagaimana wajah Mbah Hasyim Asy’ari ini. Kami sendiri setelah mendapatkan buku ini jadi sangat yakin kalau wajah Mbah Hasyim Asy’ari begitulah adanya. Kebetulan buku tersebut diberikan kepada kami oleh salah satu cicitnya KH Wahid Hasyim.
Buku kedua yang juga tidak kalah menarik adalah yang disusun oleh Muhammad Asad Shihab yang berjudul Al-Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Waadi’u Istiqlali Indonesia dan diterbitkan oleh Darus-Shodiq Beirut dan telah diterjemahkan oleh KH Mustofa Bisri dengan judul Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Perintis Kemerdekaan Indonesia dan diterbitkan oleh Kurnia Kalam Mulia Yogyakarta pada cetakan pertama tahun 1994. Di buku ini dalam covernya sangat jelas bagaimana sebenarnya wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari ini. Jangan lupa yang menerjemahkan kitab tersebut adalah salah satu ulama karismatik NU saat ini yaitu As-Syekh KH Mustofa Bisri.
Buku ketiga yang juga tidak kalah menarik adalah yang disusun oleh Prof.Dr. Ahmad Mansur Suryanegara yaitu Api Sejarah Jilid 2 yang diterbitkan oleh Salamadani Bandung, Cetakan V 2014, halaman 197. Disitu secara jelas akan kita temukan bagaimana wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari yang sebenarnya. Bahkan wajah beliau disitu sama persis dengan wajah yang ada pada buku Sejah KH Wahid Hasyim yang dibuat tahun 1955. Bahkan dibawah wajah beliau ditulis dengan tulisan ejaan lama. 
Buku keempat yang bisa temukan tentang wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari adalah yang disusun oleh Drs.Latifhul Khuluq MA yang berjudul Fajar Kebangunan Ulama, Biografi KH Hasyim Asy’ari yang diterbitkan oleh LKIS tahun 2000. Di cover depan buku ini wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari sama persis dengan buku sejarah KH Wahid Hasyim yang disusun oleh Haji Abu Bakar. Buku ini adalah satu diantara salah satu karya terbaik tentang biografi Mbah Hasyim Asy’ari karena ditulis dengan fakta-fakta ilmiah dan sebagai kata pengantarnya adalah Profesor Howard M. Federspiel dari McGill University, Motreal, dan Ohio University.
Buku Kelima, dengan judul KH Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU dan Pendidikan Islam yang ditulis oleh Rohinah M.Noor MA pada tahun 2010 cetakan ke II dan diterbitkan oleh Grafindo Khazanah Ilmu Jakarta. Pada cover buku ini sangat jelas bagaimana wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari dihari tua beliau. Buku yang berasal dari sebuah penulisan tesis ini telah menjadikan wajah ulama karismatik NU ini sebagai cover depannya dengan ukuran yang sangat mudah untuk dilihat.
Buku keenam dengan judul Dahlan –Asy’ari Kisah Perjalanan Wisata Hati yang ditulis oleh Susatyo Budi Wibowo pada tahun 2011 Cetakan Pertama dan diterbitkan oleh Diva Press Jogyakarta. Pada buku ini kita sekali lagi bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari ini.
Terakhir adalah lukisan Mbah KH Hasyim Asy’ari yang kami peroleh sekitar 20 tahun lalu. Kami sendiri baru ngeh mengenai wajah beliau ini, setelah dua hari ini ramainya pemberitaan tentang lukisan beliau. Pada lukisan ini wajah Mbah Hasyim Asy’ari bahkan sangat mirip dengan beberapa anggota Walisongo, kami sendiri bertanya-tanya siapa sebenarnya yang telah melukis beliau ini, mengingat lukisan ini bagi kami cukup berbeda sudut pandangnya.
Bagaimana lukisan yang kemarin dipajang di gedung perintis kemerdekaan yang diributkan karena tidak memakai “jenggot” itu ? 
Berdasarkan Situs Harian Republika yang kami baca pada hari ini, Lukisan tersebut, merupakan karya Badri dari Pasuruan yang dijadikan kover buku Guru Sejati Hasyim Asy'ari. "Lukisan tersebut dipesan khusus oleh Gus Riza Yusuf Hasyim untuk memvisualkan perjuangan Mbah Hasyim ketika menghadapi kekejaman tentara Nippon," Setelah lukisan itu selesai dibuat, ia bersama Gus Riza dan Mas Badri, pergi menghadap almarhum KH Hamid Baidlowi dan Bapak Bulkin (khadam Mbah Hasyim yang ikut ditangkap tentara Jepang) untuk memastikan kalau lukisan itu benar menyerupai wajah Kiai Hasyim. "Kami ke sana meminta pendapat soal wajah Kiai Hasyim, apa benar seperti di lukisan itu, tak berjenggot." Setelah memeriksa lukisan itu, keduanya menyatakan, Mbah Hasyim raut wajahnya klimis, tidak berjenggot. "Lalu, saya kembali bertanya kepada ayah saya, Ahmad Riyadi (anak salah satu pengawal Mbah Hasyim)," ujarnya. Menurut dia, beliau menjawab, memang benar Mbah Hasyim itu penampilannya selalu klimis, wangi, rapi dengan jas kerah shanghai warna abu-abu pekat. "Jadi, lukisan itu sudah benar. Mbah Hasyim itu klimis tak berjenggot, jadi tak usah dijadikan polemik lagi," kata Masyamsul.
Dari semua penjelasan ini akhirnya kami bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya bahwa sudut pandang mengenai wajah Mbah KH Hasyim Asy’ari itu memiliki pandangan sendiri-sendiri, sekalipun fakta dan data tertulis dengan jelas wajah beliau seperti pada buku Sejarah KH Wahid Hasyim, namun demikian tidak juga bisa anggap remeh adanya informasi orang-orang yang pernah dekat dengan beliau ini, yang mungkin juga tahu bagaimana sisi lain dari wajah ulama yang karismatik itu. Mereka yang pernah dekat bisa saja mempunyai informasi lain mengenai ulama yang luar biasa ini.
Penilaian mengenai ini bukan karena urusan “jenggot” yang akhir-akhir ini sering menjadi polemik pada beberapa fihak, kami sendiri tidak anti “jenggot” dan juga tidak menyalahkan ulama yang tidak mempunyai “jenggot”. Guru-guru kami sendiri ada yang berjenggot ada pula yang tidak, diantara mereka banyak pula yang alim seperti Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abubakar itu berjenggot, Abuya KH Thohir Rohili dari Atthohiriyah itu bahkan klimis, Sayyidil Walid Al-Habib Abdurrahman Assegaf dari Madrasah Tsaqofah Islamiah sangat klimis dan bersih, namun anak-anak beliau ada yang memelihara jenggot ada pula yang tidak dan semua itu berlangsung damai-damai saja, bahkan Ulama kelas dunia seperti Mama’ KH Abdullah bin Nuh bisa kita lihat wajahnya, bagi kami lukisan Mbah KH Hasyim Asy’ari yang tidak berjenggot adalah sisi lain dari interpretasi seorang pelukis yang memiliki sumber informasi dari orang-orang terdekat Mbah KH Hasyim Asy’ari, sedangkan bagi mereka yang bersikukuh bahwa beliau memakai jenggot berdasarkan bukti-bukti yang ada, mungkin juga mempunyai pandangan bahwa hal tersebut adalah prinsip yang tidak boleh dirubah dan ini juga patut kita hormati. Dan sekali lagi kami tekankan, bahwa dari lubuk hati kami yang terdalam tidak ada sama sekali perasaan apriori terhadap mereka yang setia dan konsisten tentang masalah jenggot itu, bagi kami ini hanyalah masalah sudut pandang masing-masing sesuai dengan “kadar pemahaman” yang ada. Perbedaan seperti ini jika dijadikan sebuah dialektika yang diiringi dengan kecerdasan menganalisa, betapa majunya peradaban Islam ini, sekalipun berbeda pendapat jika dibicarakan dalam satu forum maka semuapun bisa jadi cair...
Wallahu A’lam Bisshowab...........

SILATURAHIM DENGAN ULAMA SEPUH JAKARTA

Silaturahim dengan salah satu dari ulama Sepuh Jakarta, KH Harun Al-Rasyid bin KH Fathullah Harun. (KH Fathullah Harun adalah ulama besar Jakarta yang sezaman dengan KH Abdullah Syafi'i). KH Fathullah Harun sendiri berasal dari Jalan Haji Murtadho Paseban Jakarta Pusat dan merupakan salah satu ulama yang cukup disegani pada masanya, beliau kemudian hijrah ke Malaysia dan wafat di Mekkah. KH Fathullah Harun juga memiliki hubungan dekat dengan Syekh Yasin Al-Padani (Dzurriyah Sunan Giri) dan merupakan pemegang sanad terbanyak.
Bagi kalangan tua PBNU, Anshor, PMII dan sebagian politikus senior yang lama di Jakarta, Insya Allah mengenal KH Harun Al Rasyid ini, Atas kehendak Allah, Alhamdulilah kami bisa bertemu dan banyak mendapatkan ilmu dari beliau yang kini berusia 82 tahun tapi masih dalam kondisi sehat wal afiat. Beliau cukup ramah dan terbuka dalam hal pemikiran Islam bahkan banyak memberikan masukan dan pencerahan Islam. Pada pandangan dan pemahaman kami terlihat jelas bahwa beliau ini bukanlah tokoh sembarangan.
KH Harun Al Rasyid adalah sosok yang sederhana, tidak tampak pada dirinya kalau beliau pernah menjadi orang penting pada masa lalu, bila mendengar apa yang beliau riwayatkan rasanya seperti mendapatkan "harta karun" saja karena penuh dengan nilai sejarah yang tinggi, namun untuk menghormati apa yang telah diamanatkan beliau kepada kami, maka kami hanya menulis profil beliau secara singkat saja...hal ini semata-mata beliau tidak ingin ditonjolkan sisi kehidupannya

BERZIARAH KE MAKAM ULAMA BESAR TAREKAT TIJANIAH

Selama ini kawasan Empang Bogor Jawa Barat lebih dikenal dengan ulama keramat yang bernama Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas dan juga makam Sayyidil Walid Al-habib Abdurrahman Assegaf dari Bukit Duri Jakarta Selatan, padahal selain makam dua ulama karismatik tersebut, ternyata ada salah satu makam ulama besar yang jarang diketahui orang banyak, kedudukan ulama tersebut dimata beberapa muridnya bukan main alimnya. Mungkin karena dimasa hidupnya beliau lebih senang Mastur, maka makamnya pun juga terkesan tidak mau diketahui masyarakat banyak, beruntunglah saya yang telah diberi tahu salah satu murid beliau yang masih hidup, bahwa di empang bogor ada salah satu makam Waliyullah yang jarang diziarahi masyarakat, padahal beliau ini bukan main dalam ilmunya..
Menurut salah satu muridnya yang merupakan keturunan dari Pangeran Diponegoro, bahwa dahulunya Sayyid Muhammad Al-Hasani tinggal di Madinah, namun karena ayahnya telah mendapatkan "Isyarat" agar beliau berhijrah ke Indonesia demi mengembangkan dakwah dan juga tarekat yang dipegang keluarga besar mereka, maka tidak lama kemudian, Sayyid Ali menjual semua harta bendanya untuk memberikan modal kepada anaknya agar hijrah ke negeri dan wilayah yang sudah "diisyaratkan". Dari Madinah kemudian Sayyid Muhammad menuju Indonesia dan kemudian pada proses selanjutnya beliau memilih Empang Bogor sebagai wilayah dakwahnya, Pada beberapa ulama Karismatik (ulama Khos) yang ada di kota Bogor, nama beliau sangat dikenal. Sehingga tidak mengherankan jika sosoknya sangat dihormati pada masanya.....Beberapa fihak yang biasa berziarah di Empang Bogor sangat terkejut begitu saya kabarkan bahwa di Empang Bogor juga ada seorang ulama besar keturunan Sayyidina Hasan yang dimakamkan. Sebenarnya bukan hanya beliau, tapi masih banyak di Bogor itu ulama-ulama yang setaraf dengan beliau ini, namun sayangnya masih banyak fihak yang kurang menyadarinya. Pada saat saya berziarah ke makam Sayyid Muhammad Al-Hasani ini, beberapa orang bahkan terlihat heran melihat kami mendatangi makam beliau ini, karena setahu mereka yang paling sering diziarahi adalah Sayyidil Walid Al-Habib Abdurrahman Assegaf.Di Pemakaman Lolongok Empang Bogor ini ada hal yang unik, karena ternyata pengelola makam tersebut "berbeda" pandangan dalam menyikapi tradisi ziarah kubur (dan bagi saya ini adalah sebuah dinamika yang wajar saja), bahkan pemakaman ini dijadwalkan waktunya, namun demikian ternyata mereka juga memberikan kesempatan atau toleransi terutama pada Malam Jumat kepada yang mau berziarah, terutama di makam Sayyidl Walid Al-Habib Abdurrahman Assegaf yang merupakan Pimpinan Besar Madrasah Tsaqofah Islamiah Bukit Duri, tempat kami menimba ilmu agama di tahun 90an.

10 NOVEMBER 1945, PERANG “BRUTAL“ TENTARA SEKUTU DAN AREK-AREK SUROBOYO (Mengenang Keberanian Rakyat Surabaya)

Allahu Akbar.......Allahu Akbar........Allahu Akbar............. 
(Takbir Legendaris Bung Tomo dalam perang 10 November 1945)
Sengaja kami mengambil judul yang sedikit “seram” ini karena memang begitulah kenyataannya. Dan ini juga sesuai dengan apa yang telah digambarkan oleh Des Alwi yang merupakan saksi sejarah langsung dalam perang yang sangat mendebarkan tersebut. Perang yang berlangsung sejak tanggal 10 s/d 30 November 1945 memang telah dimenangkan oleh Inggris, namun jangan lupa Inggris hanya berhasil menguasai wilayah geografis Surabaya, namun secara moral mereka tidak pernah mampu meruntuhkan mental perjuangan arek-arek Suroboyo. Sekalipun pejuang surabaya mundur keluar wilayahnya, namun perlawanan masih terus dilakukan dengan cara Gerilya. Jelas dengan adanya perlawanan diluar kota Surabaya itu telah menunjukkan kepada dunia bahwa arek-arek Suroboyo tidak pernah kalah.
Perang 10 November 1945 adalah satu perang terbesar dan terhebat yang pernah dilakukan rakyat Indonesia terhadap penjajah. Kalau dulu rakyat Surabaya masih bersabar terhadap penindasan Belanda dan Jepang, namun untuk kali ini para arek Suroboyo sepertinya sudah tidak mampu lagi menahan kemarahan mereka terhadap kezaliman tirani penjajahan. Dalam perang 10 november 1945 ini, musuh yang mereka hadapi adalah Tentara Sekutu yang baru saja berhasil mengalahkan Jerman dan Jepang diberbagai medan tempur pada perang dunia ke 2, sehingga dengan modal pengalaman tempur yang menurut mereka “hebat” itu, Inggris datang ke Surabaya dengan sangat jumawa dan PD untuk kemudian menundukkan dan menguasai kembali wilayah Surabaya yang terkenal sebagai pelabuhan armada laut terbesar kedua penjajah Jepang di wilayah Asia Tenggara. Kedatangan Tentara Sekutu ini jelas sangat membuat rakyat Surabaya berang karena dibelakang mereka ternyata berdiri fihak Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Sebelumnya, kedatangan tentara Sekutu yang dimotori oleh Inggris sudah lebih dahulu tiba di Surabaya, bahkan pada tanggal 27 Oktober 1945 dengan congkaknya, mereka berani mengancam rakyat Surabaya, dengan kesombongan yang luar biasa mereka berani melakukan parade kekuatan untuk menggertak rakyat Surabaya. Dengan kekuatan 20.000 personil mereka begitu percaya diri. Akibat ancaman dan tantangan dari tentara Inggris ini sudah tentu rakyat surabaya tidak terima dan kemudian melakukan perlawanan hebat, sehingga dari tanggal 27 s/d 29 Oktober 1945 terjadilah pertempuran hebat babak pertama yang nyaris dimenangkan oleh para pejuang dan arek-arek Suraboyo, sayang pada saat pasukan Inggris yang sudah berada di ujung kekalahan ini, dengan liciknya mereka kemudian mengajak berunding pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Bung Karno dan Bung Hatta, padahal sebelumnya kedua proklamator tersebut dianggap sebelah mata. 
Dari hasil perundingan itu kemudian disepakati bahwa semua fihak agar menahan diri untuk melakukan gencatan senjata. Tentu keputusan ini sangat “menyakitkan” bagi para pejuang Surabaya dan arek-arek Suroboyo, apalagi saat itu Tentara Inggris sudah hampir kalah di berbagai Front, namun sebagai rakyat mereka kemudian hanya bisa patuh untuk tidak melakukan kontak senjata. Sayangnya dengan adanya perjanjian ini fihak Inggris kemudian mengambil kesempatan untuk memperkuat armadanya untuk kemudian melakukan serangan balik besar-besaran. 
Pertempuran Babak Pertama yang berlangsung pada tanggal 27 s/d 29 Oktober 1945 itu jelas telah memukul mental pasukan Inggris yang terkenal tangguh, mereka tidak menyangka jika ternyata lawan yang mereka hadapi sangat nekat dan terkenal berani bahkan nyaris membuat mereka kalah, padahal saat itu Tentara Inggris telah dilengkapi dengan berbagai persenjataan yang sangat modern. Dalam beberapa catatan harian beberapa perwira Inggris, mereka menyatakan kalau saja perundingan dengan Bung Karno gagal maka Inggris sudah dipastikan kalah, dan ini adalah aib besar dalam sejarah militer mereka yang sejak dahulu selalu memperoleh kemenangan gilang gemilang. Pada perang babak pertama ini bahkan banyak pasukan Inggris yang depresi dan nyaris seperti orang gila karena pasokan logistik yang mereka miliki sudah disabotase dan diblokir pejuang kita. Semua sumber logistik seperti air dan makanan betul-betul sudah diisolasi, sehingga saking begitu kelaparannya tentara Inggris, nasi basipun mereka makan.
Pertempuran babak pertama memang telah selesai, namun secara diam-diam Tentara Inggris rupanya sudah mempersiapkan pasukan kedua yang ditujukan untuk menghancur leburkan kota Surabaya. Keadaan semakin genting ketika terdengar kabar kalau Brigadir Jenderal Malaby tewas pada tanggal 31 Oktober 1945, padahal dalam sejarah perang Inggris mereka tidak pernah kehilangan perwira tingginya. 
Dari sejak tanggal 31 Oktober sampai tanggal 9 November 1945 suasana kota Surabaya begitu mencekam bagi para rakyat jelata, namun tidak bagi para pejuang dan arek-arek Suroboyo yang sudah mulai siap sedia. Inggris terus melakukan ancaman dan provokasi terhadap Rakyat Surabaya. Rakyat Surabaya diultimatum untuk segera menyerah dan memberikan senjatanya kepada fihak sekutu dalam kondisi tangan diatas, sebuah penghinaan yang luar biasa. Sementara itu di kota Jakarta para pemimpin bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta berusaha melakukan negoisasi agar fihak Inggris tidak melakukan serangan terhadap rakyat Surabaya. Namun sepertinya fihak Inggris tidak memperdulikan pemimpin bangsa kita ini. Dengan congkaknya bahkan Panglima Perang Tentara Sekutu wilayah Jawa Letnan Jenderal Christison bahkan berani mengatakan bahwa Bung Hatta adalah seorang pemimpi dan pengkhayal bahkan menuduhnya dengan menulis bahwa Bung Hatta telah melemparkan tanggung jawab.
Puncak dari provokasi itu adalah ketika tanggal 9 November 1945 Tentara Inggris melalui pesawat tempurnya menebarkan Pamflet dengan ultimatum agar rakyat surabaya menyerah. Namun kemudian ultimatum ini dijawab oleh Gubernur RM Suryo dengan tegas dengan penolakan, bahkan Gubernur RM Suryo dengan suara yang bergetar, tenang dan berwibawa menyerukan agar rakyat Surabaya bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran. Gubernur RM Suryo mengatakan demikian karena sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat agar rakyat Surabaya dipersilahkan untuk melakukan perlawanan jika tentara sekutu memang menyerang. Sekalipun kecewa terhadap keputusan pemerintah pusat, namun RM Suryo sebagai Gubernur Jatim tetap berbesar hati. Fihak Jakarta sendiri sepertinya sudah sangat sulit untuk menahan Tentara Sekutu yang begitu bernafsu untuk meluluhlantakkan kota Surabaya. Di sisi lain, kekuatan militer Jakarta belum sekuat seperti Surabaya. Dengan kekuatan personil berjumlah 28.000 disertai perlengkapan tempur yang dahsyat seperti Tank, Pesawat, Kapal Perang, pasukan Inggris sudah bersiap-siap menghabisi rakyat Surabaya. Beberapa pasukan elit mereka seperti pasukan Gurkha bahkan dikerahkan pada misi ini. Tentara Gurkha memang terkenal hebat pada perang dunia kedua, kekejaman mereka sudah terkenal dimana-mana. Namun untuk kali ini Tentara Gurkha yang hampir semuanya berasal dari Nepal dan India mungkin lupa kalau yang mereka hadapi kali ini adalah Arek-arek Suroboyo yang terkenal pemberani dan nekat. Penggunaan Tentara Gurkha ini bahkan sampai diprotes keras oleh Nehru Pemimpin India, namun nasi sudah menjadi bubur, Gurkha rupanya harus berhadapan dengan arek-arek Suroboyo, disisi lain, beberapa tentara Inggris yang berasal dari India yang beragama Islam juga menjadi serba salah ketika mereka melihat betapa kerasnya “jihad fi sabilillah” arek-arek Suroboyo ini, sehingga pada satu kesempatan Bung Tomo meminta agar arek-arek Suroboyo tidak memperlakukan secara kejam tentara India yang Islam bila sudah tertangkap.
Menjelang penyerbuan 10 November 1945 ini, para pejuang Surabaya seperti BKR (Badan Keamanan Rakyat), TKR (tentara Keamanan Rakyat), Polisi Istimewa, BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia), PRI (Pemuda Rakyat Indonesia), Laskar Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang kesemuanya menyatakan akan bertahan total sampai titik darah penghabisan. Para tokoh-tokoh pejuang seperti Gubernur Jawa Timur RM Suryo, Kolonel Sungkono, Dr. Moestofo, Sumarsono, Residen Sudirman, Ruslan Abdul Gani, Des Alwi, M Yasin, dll, telah menyatakan untuk semua bersatu padu melawan Inggris yang diboncengi Belanda. Salah satu tokoh yang cukup menonjol yaitu Bung Tomo melalui Radio Pemberontak bahkan terus menggelorakan perlawanan dan mengajak rakyat Surabaya ikut bertempur sampai titik darah penghabisan. Pidato Bung Tomo yang menggetarkan itu selalu diiringi dengan takbir “Allahu Akbar”. Takbir ini bahkan membuat pejuang dari agama lain ikut terbakar untuk sama-sama menghadapi pasukan Inggris. Bung Tomo yang merupakan sosok yang sangat religius bahkan juga telah mendapatkan suntikan moral dari Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dalam perang 10 November 1945. Mbah Hasyim bahkan telah mengeluarkan “Resolusi Jihad” pada tanggal 22 Oktober 1945 yang akhirnya sangat berpengaruh bagi rakyat Indonesia. Bahkan dengan adanya “Resolusi Jihad” ini telah mampu menghadirkan ribuan ulama dan santri untuk turun langsung dalam perang 10 November 1945. Tercatat pada saat itu nama KH Abbas dari Pesantren Buntet yang ditunggu oleh kalangan ulama Jawa Timur, demikian pula KH Mustofa Kamil dari Garut. Kehadiran para ulama tersebut telah membangkitkan Barisan Sabilillah. Semua santri dan ulama turun langsung dalam perang yang “keras” ini. Bahkan keberadaan ulama-ulama tersebut telah banyak memberikan suntikan pada kekuatan “spritual” arek-arek Suroboyo yang memang sejak dahulu sangat menghormati ulama. Cerita tentang potensi spritual yang dimiliki para ulama ini bahkan banyak sekali yang menyaksikan termasuk Des Alwi sendiri.
10 November 1945 ......
Pagi hari dimulailah perang yang dahsyat. Seperti yang sudah kami tuliskan pada judul diatas. Perang ini adalah perang “brutal” dan sengit, karena fihak inggris telah mengerahkan semua kekuatan darat, laut, udara, sehingga para pejuang di Surabaya dikurung pada semua sektor. Dari pagi serangan sporadis sudah dilakukan, semua persenjataan lengkap dikeluarkan dan pasukan Sekutu mulai memasuki kota Surabaya. Namun demikian semua elemen rakyat Surabaya telah bersatu padu dalam menghadapi penjajah ini. Arek-arek Suroboyo dengan gagah berani bahkan nekat maju menerjang tentara Inggris. Para pemuda yang ikut bertempur yang sebenarnya tidak berpengalaman, namun dengan semangat juang yang tinggi, nekat melakukan aksi pasukan berani mati. Dengan bermodalkan berbagai senjata tajam, mereka betul-betul menunjukkan nyali sebagai arek Suroboyo sejati. Pasukan Gurkha yang terkenal kejam kali ini menghadapi nyali orang-orang yang memang sudah “nekat” untuk mati. Duel satu lawan satu bahkan sering terjadi, sekalipun korban banyak berjatuhan, namun istilah “mati satu tumbuh seribu” sudah sangat terpatri pada diri arek Suroboyo. Des Alwi yang menyaksikan perlawanan gila-gilaan arek-arek Suroboro bahkan telah dibuat geleng-geleng dan setengah tidak percaya melihat kegigihan arek Suroboyo dalam melakukan pertempuran. Des Alwi bahkan sangat kagum dengan kenekatan arek suroboyo yang berani menghadang Tank tempur milik Tentara Inggris, bahkan mereka berani meledakkan dirinya dengan granat, sehingga dengan adanya perlawanan ini banyak membuat Tentara Inggris ngeri. Sekalipun kota Surabaya terus dibom oleh pesawat tempur, hal itu tidak meruntuhkan moral arek-arek Suroboyo.
Begitu nekatnya para Arek Suroboyo ini bahkan telah membuat jalur komando di lapangan sedikit kacau, terutama bagi mereka yang biasa menjadi komandan tempur yang selalu menggunakan strategi perang, seperti BKR dan TKR. Para arek Suroboyo memang sudah tidak memikirkan lagi nyawa mereka, apalagi setelah keluarnya resolusi jihad. Padahal diantara mereka banyak yang tidak bisa menggunakan senjata hasil rampasan tentara Jepang, bahkan dengan modal keris, pedang, bambu runcing itu sudah cukup untuk duel satu lawan satu dengan pasukan Inggris dan Gurkha yang terkenal ahli dalam memainkan senjata. Bagi Des Alwi sekalipun jalur komando dilapangan kacau balau karena kenekatan arek-arek Suroboyo, namun ternyata efeknya telah membuat pasukan inggris berfikir keras dan jeri dalam menundukan Surabaya dengan arek-areknya ini. Para arek Suroboyo yang nekat tersebut memang tidak pernah mau berada di garis belakang, rata-rata mereka mengatakan bahwa berada di garis belakang itu adalah hal yang memalukan bagi arek Suroboyo, bagi mereka kematian tidak masalah yang penting mereka mampu menghabisi tentara Inggris. Setiap arek Suroboyo bahkan selalu bertanya dimana musuh mereka berada, sehingga bila terlihat tanpa fikir panjang mereka langsung menerjangnya. Beberapa tentara Inggris yang tertangkap bahkan tidak ada ampun lagi mereka habisi ditempat.
Prestasi terbesar arek-arek Suroboyo adalah ketika beberapa mereka ada yang berhasil menjatuhkan sebuah pesawat tempur inggris yang didalamnya terdapat Brigadir Jenderal Loder Sydmons, padahal Jenderal yang satu ini terkenal sebagai Jenderal tempur yang paling disegani dan mempunyai banyak prestasi. Total pesawat yang berhasil dijatuhkan menurut Des Alwi adalah 7 pesawat, sebuah prestasi yang mengagumkan mengingat penggunaan senjata anti pesawat belum banyak yang mampu menggunakannya. Memang sebenarnya senjata-senjata peninggalan Jepang itu cukup banyak yang telah dirampas oleh para pejuang dan arek-arek Suroboyo, total 37.000 pucuk senjata yang berhasil dirampas, namun dari banyak senjata itu, ternyata banyak pula yang tidak bisa menggunakannya, sehingga para komandan BKR atau TKR yang biasa bertempur berusaha keras untuk mengajarkan mereka bagaimana menggunakan senjata api.
Dari mulai tanggal 10 sampai tanggal 30 November, surabaya benar-benar menjadi kota perang, arek-arek Suroboyo bertempur tanpa kenal lelah, sementara itu para pejuang dari daerah lain sudah masuk ke wilayah ini untuk ikut membantu pertempuran. Sementara itu Bung Tomo dengan tidak bosan-bosannya terus menggelorakan dan menyemangati arek-arek Suroboyo dengan takbir.....Allahu Akbar.....Allahu Akbar...Allahu Akbar.....semua golongan disuruh bersatu oleh Bung Tomo, apakah dia Madura, China, Bugis, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda atau apakah dia Islam ataupun agama lain, semua disuruh untuk terus berjuang. 
Pertempuran di bulan November yang dimulai sejak tanggal 10 s/d 30 November 1945 ini memang menyisakan tragedi kemanusiaan yang tidak sedikit, tercatat hampir 15.000 rakyat surabaya tewas, dan ini tentu membuat dunia mengecam tentara Sekutu yang katanya datang hanya untuk melucuti tentara Jepang, namun anehnya kalau hanya untuk melucuti, kenapa pasukan yang dibawanya setara dengan pasukan tempur pada perang dunia kedua ?. 
Satu hal yang perlu dicatat, sekalipun tentara Inggris berhasil menguasai Kota Surabaya pada tanggal 30 November 1945, pada hakekatnya mereka itu hanya bisa menguasai kota tersebut dalam keadaan hancur lebur, karena sebelumnya arek-arek Suroboyo telah menjadikan Surobaya menjadi Lautan Api. Arek-arek Suroboyo berprinsip, silahkan saja Surabaya dikuasai, tapi jangan harap tentara Inggris bisa mendapati kota Surabaya dalam keadaan utuh, semua infrastruktur sudah dibakar habis oleh para pejuang dan arek-arek Suroboyo. Fasilitas penting seperti pemancar radio, logistik, obat-obatan, dan senjata-senjata sudah dibawa keluar dari kota Surabaya, sehingga ketika Inggris merasa berhasil menguasai kota surabaya, sesungguhnya mereka hanya mendapati puing-puingnya saja. Sehingga otomatis pergerakan mereka tidak dilanjutkan untuk masuk ke wilayah pinggir Surabaya, apalagi kekuatan mereka semakin berkurang karena adanya perlawanan-perlawanan di daerah lain. Di sisi lain, para pejuang dan arek-arek Suroboyo tidak pernah berhenti untuk melakukan serangan mendadak besar-besaran di beberapa Front yang telah dikuasai Inggris.
Perang dahsyat babak kedua yang terjadi di Surabaya ini memang telah menjadikan inspirasi terhadap beberapa daerah lain untuk melakukan perlawanan secara gagah berani terhadap penjajahan, setiap detik, setiap menit, setiap jam dari mulai tanggal 10 s/d 30 semua rakyat Indonesia terus memantau dan mendengarkan Siaran Radio RRI yang terus berkumandang menyiarkan perang sabil tersebut. 
Perang 10 November 1945 jelas adalah perang “brutal” dalam sejarah perjuangan bangsa kita, sekalipun arek-arek Suroboyo harus menghadapi kekuatan yang maha dahsyat namun berkat keimanan terhadap Allah SWT dan semangat jihad fi sabillah yang telah digelorakan oleh para ulama yang kemudian dilantunkan oleh takbirnya Bung Tomo patut kita jadikan sebagai pelajaran yang berharga, betapa hebatnya sebuah kekuatan namun jika kita yakin kalau Allah selalu bersama kita, maka kekuatan apapun itu tidak akan pernah menang melawan kekuatan Allah SWT....
Allahu Akbar.......Allahu Akbar........Allahu Akbar............
Sumber : 
Alwi, Des. Pertempuran Surabaya 10 November, Jakarta : Buana Ilmu Populer, 2012.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah Jilid 2, Bandung : Salamadani, 2014.
Sutomo (Bung Tomo). Menembus Kabut Gelap, Bung Tomo Menggugat, Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik (1955 – 1980), Jakarta : Transmedia Pustaka, 2008.

GUBERNUR JATIM RADEN MAS SURYO, TOKOH KUNCI PERANG 10 NOVEMBER 1945

Salah satu tokoh kunci yang ikut menentukan terjadinya perlawanan arek arek Suroroboyo terhadap Tentara Sekutu adalah beliau ini. Kepemimpinannya sangat dikagumi, beliau sangat tegas dan berani berkorban sekalipun dirinya telah diancam dan diultimatum oleh Inggris. Secara kehidupan dia berdarah bangsawan, namun dia juga dikenal sangat merakyat. Dialah yang menentukan dan memerintahkan kepada rakyat Surabaya untuk melakukan perang terbuka dan mengangkat moral para pejuang untuk tidak takut dalam menghadapi Tentara Sekutu. Setelah fihak Jakarta tidak sanggup melakukan negoisasi dengan Inggris dialah yang berani mengambil keputusan agar rakyat surabaya tetap bertahan total dan melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan. Berkat kepemimpinanya ini, arek-arek Suroboyo mampu melakukan perlawanan yang heroik dan kemudian menjadi inspirasi banyak daerah untuk melakukan perlawanan besar. Sebagai pemimpin rakyat Jawa Timur beliau mampu menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa. Sejarah seolah berputar, karena salah satu leluhurnya juga pernah menjadi pemimpin besar, beliau memang masih ada keturunan Raden Fattah (Sultan Demak)
R.M Suryo lahir di Magetan, Jawa Timur tanggal 9 Juli 1898. Ayahnya adalah Raden Mas Wiryo Sumarto, ajun jaksa di Magetan. Ibunya adalah Raden Ayu Kustiah, keturunan Raden Ronggo Prawirodirdjo, ayah Alibasah Prawirodirdjo.
Setelah tamat dari HIS, R.M Suryo melanjutkan sekolah di OSVIA Magelang dan tamat tahun 1918. Ia kemudian bekerja sebagai pamong praja di Ngawi dan 2 tahun pindah ke Madiun sebagai mantra Veldpolitie. Tahun 1922, R.M Suryo sekolah polisi di Sukabumi. Pernah menjadi asisten wedana di beberapa tempat dan tugas belajar di Sekolah Calon Bupati di Jakarta. Sehingga pada tahun 1938 ia menjadi bupati di Magetan.
Pada saat pendudukan Jepang, R.M Suryo menjadi residen di Bojonegoro. Setelah merdeka ia menjadi gubernur Jawa Timur dan tinggal di Surabaya. Pada tanggal 23 Oktober 1945 di Surabaya terjadi pertempuran selama 3 minggu dan disinilah Gubernur Suryo berperan. Tahun 1947 R.M Suryo diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Beliau meninggal setelah dicegat dan dibunuh oleh gerombolan PKI dalam perjalanan Yogyakarta-Madiun tanggal 10 November 1948. Empat hari setelah itu jenazahnya ditemukan dan dimakamkan di Magetan.

AKIDAHNYA AL-IMAM AHMAD AL-MUHAJIR (Akidah Keluarga Besar Walisongo & Alawiyyin)

Ada pertanyaan yang ditujukan kepada kami. apa akidah yang dianut oleh Keluarga Besar Alawiyyin atau katakanlah Keluarga Besar Walisongo?
Pertanyaan ini sudah beberapa kali dilontarkan kepada kami, dan dari beberapa pertanyaan itu terus terang kami belum bisa menjawab sebelum kami mendapatkan beberapa sumber yang kiranya bisa mempertegas akidah apa yang kiranya dianut Walisongo yang merupakan salah satu bagian keluarga Alawiyyin.
Jika kami amati, memang cukup mengherankan, kenapa akhir-akhir sekarang sering muncul pertanyaan-pertanyaan seperti ini?
Adanya pertanyaan adalah merupakan hal yang wajar mengingat dekatnya hubungan bangsa ini dengan keluarga besar Alawiyyin, khususnya rumpun keluarga besar Walisongo., Memang jika kami amati beberapa tahun ini, sepertinya ada kecenderungan dari beberapa fihak untuk mempromosikan beberapa ajaran atau akidah yang dirasa bertolak belakang dengan akidah yang dianut secara umum dari bangsa ini. Sayangnya dari sekian penelitian dan juga dibuktikan dengan kitab-kitab yang jadi rujukan ulama mereka, akidah yang dibawa tersebut banyak terdapat kejanggalan-kejanggalan yang menurut hemat kami sangat tidak sesuai dengan ajaran yang kami anut sejak dari masa leluhur kami yang terdahulu hingga yang sekarang ini. Bahkan yang juga tidak kalah mengagetkan, kami, kami bahkan pernah mendapati seseorang yang mengatakan langsung bahwa ajaran-ajaran Walisongo yang selama ini telah ratusan tahun dianut bangsa ini dikatakan berasal dari akidah tersebut. Tentu saja kami sangat terkejut dengan adanya statement tersebut, karena setahu kami Walisongo itu jauh dari anggapan tersebut. Berdasarkan ajaran dan beberapa literatur yang kami baca dan pelajari, setahu kami, Walisongo dan juga beberapa Kesultanan Nusantara itu ajarannya adalah murni Ahlussunnah Wal Jama’ah. Beberapa Ulama dan keturunan Walisongo juga banyak yang kami temui masih setia dengan akidah ini.
Dalam tulisan ini kami sengaja tidak menulis atau menyebut akidah yang bertentangan tersebut, bukan berarti kami ini takut, kami ingin berdakwah melalui tulisan dengan memakai strategi dan cara seperti ini, tidak perlu menyebut nama, tapi sebut saja perilakunya dan itu kami rasa lebih cocok, tanpa kami harus sebut pun semua juga sudah faham siapa yang kami maksud itu, kami lebih senang untuk memilih sasaran pribadi-pribadi yang sudah mendalami dan mengikuti akidah tersebut, ini semua rasa cinta kami kepada mereka. Insya Allah niat kami kepada mereka semata-mata karena nilai kasih sayang sebagai hamba Allah. Tidak perlu kami menyebut nama akidahnya, cukup kita sebut perilaku-perilaku yang tidak selaras dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah, itu sudah merupakan sebuah indikator dari akidah yang mereka anut. Kami masih berharap mereka bisa terketuk dan terbuka hatinya untuk kembali kepada akidah leluhurnya yang sejati. Pendekatan yang rasanya pas untuk mereka adalah dengan mengetuk hati mereka tanpa harus menghujat dan merendahkan mereka, karena pada dasarnya mereka itu jika sentuh hatinya Insya Allah lambat laun akan terbuka.
Dalam tulisan kami ini tentu yang akan kami ketengahkan adalah tentang Keberadaan Akidah Walisongo, Kesultanan Ahlul Bait Nusantara dan juga khususnya Keluarga Besar Bani Alawi (Alawiyyin) yang datang secara besar-besaran pada pada abad 19 atau 20 ke Nusantara. Mereka semua ini adalah keturunan dari Imam Ahmad Al-Muhajir. Imam Ahmad Al-Muhajir adalah leluhur puncak dari seluruh Alawiyyin seluruh dunia termasuk Walisongo. Dari beliaulah ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berkembang hingga sampai masa Walisongo dan Kesultanan-Kesultanan Islam Nusantara. Beliau awalnya tinggal di Basrah Irak namun kemudian hijrah ke Hadramaut. Salah satu alasan beliau hijrah adalah untuk menyelamatkan keturunan beliau dari adanya pengaruh “akidah” yang dikembangkan oleh satu golongan di Irak namun akidah mereka sangat bertolak belakang dengan akidah yang dianut keluarga besar Imam Ahmad Al-Muhajir. Berkat langkah hebat dari Imam Ahmad Al-Muhajir yang hijrah ke Hadramaut inilah akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selamat dan kemudian terus dianut oleh keluarga besar Bani Alawi yang merupakan keturunan beliau. Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahkan juga dianut oleh banyak Kesultanan Islam Nusantara, lebih khusus lagi Walisongo.
Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa Kesultanan Demak dengan Sultannya yang bernama Raden Fattah juga memiliki akidah yang sama dengan anggota Walisongo pada umumnya, yaitu Ahlussunnah Wal Jama'ah dengan mazhab Imam Syafi’i. Sengaja kami menyebut Kesultanan Demak karena Kesultanan ini adalah Khilafah Islamiah pertama di Tanah Jawa yang menganut Ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Pendapat kami ini juga selaras dengan apa yang dikemukakan oleh KH Sirajudin Abbas (2010:339) bahwa :
1.Seluruh Wali-wali yang sembilan adalah penganut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah.
2.Kerajaan Islam Demak menganut faham Sunni dan bermazhabkan Syafi’i
Menurut beliau periode Walisongo sampai kepada Kerajaan Demak yang terjadi sekitar abad XIV dan XVI ini sama dengan tahun-tahun kekuasaan Sultan Pasai dan Sultan Malaka yang beragama Islam bermazhab Syafi’i.
Dalam catatan Ibnu Assayuthi Arrifa’i (2012:18) para Walisongo adalah Ulama yang mengajarkan agama Islam yang berdasarkan Mazhab Syafi’i berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh sebab itu maka sebagian besar ummat Islam Indonesia adalah penganut Mazhab Syafi’i seperti yang pernah diajarkan wali tersebut. Dan ini kemudian diteruskan oleh para ulama yang mendirikan pondok pesantren yang sebagian besar terdapat di Pulau Jawa.
Syaikh Imam Muhammad Ali Al Khird dalam buku yang ditulis oleh As-Sayyid Al Faqih Zain bin Sumait (2011:135) juga mengatakan bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah berkaitan dengan terhadap Ahlul Bait, Sahabat dan Tabi’in dengan keyakinan yang seharusnya, seperti mencintai, bersikap rela hati dan berkasih sayang terhadap mereka, karena masing-masing dari mereka memiliki syafaat dan wibawa dihadapan Allah SWT baik didunia maupun diakhirat sesuai tingkat keutamaan masing-masing, sebab orang besar akan mendapatkan kemuliaan berdasarkan kemuliaan keluarga.
Ahlusunnah Wal Jama’ah adalah ajaran yang dianut oleh keluarga besar Alawiyyin yang salah satunya adalah Keluarga besar Walisongo dan Kesultanan Demak. Ajaran yang berasal dari leluhur mereka yang bernama Al-Imam Ahmad Al-Muhajir adalah ajaran utama Keluarga Besar Alawiyyin yang sekarang ini, mereka lebih banyak dikenal dengan panggilan Habib atau Syarifah, khususnya yang berada di Nusantara ini. Dari Imam Ahmad Al Muhajir ini kelak akan banyak menurunkan jutaan Alawiyyin yang sering juga disebut Bani Alawi. Kenapa keturunan beliau dinamakan Alawiyyin atau Bani Alawi ini? Karena dari salah satu cucunya yang bernama Imam Alwi Al-Mubtakir bin Imam Ubaidhillah Shohibul Aradh kelak akan banyak menurunkan para Sayyid atau Syarifah yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Walisongo, dan mereka itu sering disebut sebagai Keluarga Besar Alawiyyin atau Bani Alawi. Menurut Idrus Alwi Al Mahsyur (2010:102) sebutan Alawi hanya digunakan untuk keturunan Imam Alwi bin Imam Ubaidhillah dengan menggunakan Bani Alawi atau Aal Alawi. Jika kedatangan para Habaib yang kita kenal sekarang ini banyak berlangsung pada pertengahan abad ke 19 dan 20, maka Walisongo jauh lebih awal, yaitu abad 14 dan 15. Sehingga kelak keberadaan Keturunan Keluarga Besar Walisongo sudah lebih dahulu melakukan asimilasi dan akulturasi dengan budaya dan keturunan dari bangsa ini, sehingga gaya hidup dan wajah merekapun sudah menjadi bagian dari bangsa kita.
Bagaimana tentang keberadaan Nasab (Garis keturunan) Alawiyyin atau Bani Alawi ini ?. Yang jelas Garis Keturunan mereka sudah banyak yang mengakui, kitab-kitab nasab yang tersebar di seluruh dunia sudah banyak yang menyebut Klan yang satu ini. Dalam catatan As-Syekh As-Sayyid Bahruddin Azmatkhan (2014) yang disusun dalam kitab Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, bahkan keberadaan Nasab Keluarga Besar Alawiyyin tercatat dengan rapi. Sayyid Bahruddin sendiri mengambil sanad keilmuwan nasabnya dari ayahnya yang bernama Sayyid Abdurrozak, begitupula Sayyid Abdurrozaq mengambil sanad dari ayahnya terus sampai kepada Sunan Kudus sampai kemudian kepada Sayyid Abdul Malik sampai kemudian ke Imam Ahmad Al-Muhajir hingga sampai kepada Rasulullah SAW.
Pada masa Imam Ahmad Al-Muhajir sendiri, menurut Fairuz Khoirul Anam (2010:34) beliau sudah membukukan nasab keluarganya hingga sampai pada Rasulullah SAW. Di Basrah Irak bahkan nasab Imam Ahmad Al Muhajir sangat terkenal. bahkan untuk memperkuat nasab beliau, beberapa kerabat beliau datang ke Madinah, Mekkah, Irak untuk mengambil kesaksian 100 ulama besar yang terkenal baik akhlaknya serta mengetahui sejarah nasab beliau, sehingga dengan adanya kesaksian 100 ulama dari beberapa wilayah ini, nasab beliau tidak ada lagi yang meragukan. Kebiasaan mencatat garis keturunan keluarga besar Alawiyyin sampai saat ini masih diteruskan oleh anak keturunannya, termasuk Walisongo. Sama seperti keluarga besarnya yang ada di Hadramaut (secara lengkap kami pernah menulis tema yang satu ini di blog kami yang sudah hilang, pada tahun 2013). Keturunan Walisongo juga rajin mencatat anak keturunannya. Diantara sekian ulama yang rajin mencatat semua keturunan Walisongo dan juga keturunan-keturunan Kesultanan Nusantara (termasuk Kesultanan Demak, Banten, Cirebon, Palembang, Sukapura Tasik Malaya, dll) adalah Sayyid Bahruddin bin Sayyid Abdurrozaq yang merupakan keturunan Sunan Kudus Azmatkhan.
Al-Imam Ahmad Al Muhajir sendiri menurut Fairuz Khoirul Anam (2010:109) adalah pengikut Mazhab Imam Syafi’I, bahkan berkat jasa beliau dan muridnya lah sebelum abad 7 hijriah berakhir, mazhab selain Ahlussunnah Wal Jama’ah telah musnah dari Hadramaut Yaman. Menurut HMH Al Hamid Al Husaini (1999:51) pada masa itu setelah kedatangan Imam Ahmad Al Muhajir Negeri Hadramaut menjadi tempat pemancaran cahaya Islam ke Timur dan Barat, bahkan Imam Ahmad Al-Muhajir berhasil menundukkan kaum Khawarij dengan dalil dan argumentasi. Pada akhirnya habislah pengaruh Khawarij di Hadramaut. Penduduk negeri itu kemudian dapat menerima dengan baik dan sadar akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah dan menganut Mazhab Imam Muhammad bin Idris As-Syafi"i. Jadi tidak benar jika ada anggapan beliau memiliki akidah lain. Ini sengaja kami kemukakan, karena kami pernah mendapati pada buku Thariqoh Menuju Kebahagiaan yang merupakan terjemahan Kitab dari Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad yang berjudul “Risalatul Muawanah”dan yang ditulis Muhammad Al-Baqir (1989: 18) dimana dalam Kata pengantar tentang Alawiyyin bahwa Al-Imam Ahmad Al-Muhajir dituliskan ada “kecenderungan menganut” kepada ajaran akidah yang bukan Ahlussunnah Wal Jamaah tersebut, bahkan Penulis ini mengatakan ada “kesesuaian” antara Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan akidah tersebut seperti diperbolehkanya dalam membangun makam-makam Waliyullah dan Syuhada, disamping itu pada halaman 19 bahkan sangat jelas sekali jika sang penulis mengangkat tema yang sudah lama menjadi pertentangan antara Sunni dan akidah ini, dan puncak dari semua ini ketika di halaman 64 yang menuliskan tentang hadist yang berkaitan tentang tentang sebuah Hari raya yang mereka yakini, padahal bagi Ahlussunnah Wal Jama'ah interpretasi hadist tersebut tidak berkolerasi dengan konteks yang dimaksud pada saat itu. Tentu saja kami sangat terkejut mendapati tulisan ini, walaupun tulisan ini diselipkan secara halus bahkan beberapa tulisan itu seolah-olah dibantahnya sendiri, namun karena buku ini sudah menyebut nama akidah selain sunni yang jelas dianut oleh Imam Ahmad Al-Muhajir, jelas hal ini membuat kami terkejut, jelas ini adalah sebuah strategi promosi akidah yang sangat super halus, kami sampai harus berkali-kali membaca dan memastikan kalau ini memang ada dan jelas, dan ternyata memang misi mengenalkan akidah secara halus benar-benar ada. Padahal Al Imam Ahmad Al-Muhajir itu hijrah dari Basrah Irak menuju Hadramaut justru untuk menghindari berbagai fitnah yang berkaitan dengan akidah tersebut. Sebagai seorang Sunni, saat itu beliau banyak melihat terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengatasnamakan Ahlul Bait (Keluarga Nabi) yang dilakukan beberapa kaum. Disamping itu beliau melihat telah terjadi banyak kezaliman yang dilakukan beberapa penguasa terhadap keberadaan keluarga besar beliau yang merupakan Keturunan Nabi Muhammad SAW.
Keluarga Besar atau Bani Alawiyyin yang tersebar diseluruh dunia, jelas mengikuti Mazhab para leluhurnya yang diantaranya IMAM AHMAD AL MUHAJIR. Dan ini sampai sekarang anak cucunya masih setia mengikutinya, kecuali beberapa sebagian kecil saja mereka yang mengikuti mazhab atau akidah lain. Yang jelas didalam ajaran Alawiyyin selalu mengedepankan dakwah dengan mengedepankan Akhlakul Karimah, dakwah mereka santun, pendekatan mereka selalu mengedepankan kasih sayang.
Dalam tulisan Nur Amin Fattah (1997:17) salah satu ayat yang sering dijadikan patokan untuk berdakwah Walisongo adalah Surat An-Nahl Ayat 125 yang lebih mengedepankan hikmah dan Suri Tauladan yang baik. Sisi lain yang juga mendukung ayat ini, bahwa kebanyakan Kaum Alawiyyin ini mengikuti Thariqoh Alawiyyah, dan tahukah kita apakah Thariqoh Alawiyyah itu? Menurut Sayyid Novel Alaidrus (2006:170) yang memberikan gambaran sangat jelas, bahwa Thariqoh Alawiyyah adalah prinsip-prinsip yang diajarkan Imam Al-Ghazali secara dzohir (Perilaku), sedangkan batinnya dihiasi dengan ajaran-ajaran Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili (zikir-zikir). Dari perpaduan dua ajaran ini muncullah ajaran Thariqoh Alawiyyah yang lebih banyak menerapkan Akhlak dan zikir yang kemudian diaplikasikan dalam dunia dakwah dengan mengambil surat An-Nahl Ayat 125 itu. Kedua ulama yang disebut oleh Sayyid Novel Alaidrus adalah Ulama Sunni, dan kedua-duanya adalah ulama-ulama yang menjadi rujukan para ulama keturunan Alawiyyin termasuk Walisongo. Sampai saat ini ajaran Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan Asy-Syadzali sangat banyak penganutnya. Setahu kami memang kedua ulama besar ini ajarannya memang sangat menentramkan hati, jauh dari caci maki, dengki, hasud, dan sangat menghindari yang namanya sikap kemunafikan.
Jadi bila kita dapati ada beberapa orang keturunan Alawiyyin yang mempunyai perilaku yang tidak baik atau memiliki akidah yang tidak sesuai dengan Akidahnya Keluarga Besar Imam Ahmad Al-Muhajir, seperti misalnya berani mengkritik leluhurnya yang sudah mati-matian menyebarkan Islam di negeri ini, jelas ini adalah sesuatu yang janggal, atau dengan tega mencaci-maki para Sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Sayyidina Abu Bakar RA, padahal salah satu leluhur Imam Ahmad Al-Muhajir yaitu Al-Imam Jakfar Asshoddiq ibunya keturunan Sayyidina Abu Bakar RA dan ini dipertegas dengan adanya tulisah HMH Al Hamid Al Husaini (1985:1) yang menulis nasab ibu Al-Imam Jakfar yaitu: Ummu Qosim/Qaribah/Fatimah binti Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Siddiq RA, sangat tidak mungkin jika Imam Jakfar Asshodiq atau yang mengagumi beliau, menghina nasab ibunya sendiri, jelas ini sangat aneh. Yang juga sering kami dapati, bagaimana mungkin ada Alawiyyin yang meninggikan Sayyidina Ali KWA dengan menjatuhkan atau menghina Sahabat Abu Bakar RA, Sayyidina Umar bin Khattab RA, Sayyidina Usman bin Affan RA, padahal anak-anak Sayyidina Ali KWA Juga ada yang memakai nama ketiga sahabat tersebut, jelas ini adalah sebuah ironi sejarah. Bagaimana mungkin mereka juga berani menghina Ummu Mukminin Sayyidatuna Aisyah, padahal Imam Ali Zaenal Abidin bin Husein RA anaknya ada yang bernama Aisyah, bahkan ada juga yang bernama Umar, Abdurrahman. Alangkah janggalnya mereka menghina Sayyidina Umar bin Khattab padahal Sayyidina Hasan bin Ali anaknya juga ada yang bernama Umar, begitu juga Imam Hasan Mutsanna bin Sayyidina Hasan RA yang memberi nama anaknya Abu Bakar tetapi kenapa Sayyidina Abu Bakar RA dihujat ? Atau bagaimana mungkin mengatasnamakan Keluarga Nabi tapi perbuatannya tidak sesuai dengan Akhlaknya Keluarga Nabi Muhammad SAW, dan juga perilakunya tidak sesuai dengan Aturan Allah dan Rasul-Nya yang telah disusun oleh ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah yang memegang teguh kesanadan. Semua keturunan Sayyidina Ali KWA justru sangat mencintai sahabat, dan ini dibuktikan dengan banyaknya nama sahabat yang dipakai untuk keturunan mereka seperti yang terdapat dalam tulisan Sayyid Syekh Hasan Al Husaini (2013) ulama muda keturunan Ahlul Bait Kelahiran Mekkah.
Disamping masalah akidah ini, yang juga cukup membuat kami risau adalah ketika ada segelintir Alawiyyin ataupun personil umum yang perilaku dakwahnya sering memakai cara-cara kekerasan baik dari segi fisik maupun pemikiran (bahkan terkesan adanya “penjajahan” pemikiran), dikarenakan sebuah kepercayaan yang dia anut secara sempit. Jalan kekerasan dalam berdakwah ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh kaum khawarij pada masa lalu. Di mata kaum khawarij, apabila ada segolongan yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka, maka mereka yang tidak sesuai itu bisa dihadapi dengan cara kekerasan fisik ataupun pemikiran, kadang mereka yang tidak sesuai itu dihukumi sebagai fihak yang dituduh kafir, musyrik, bid’ah, dll.
Tentu sebagai Alawiyyin yang merupakan keturunan Imam Ahmad Al-Muhajir bisa memberikan contoh yang positif kepada umat, tunjukkan bahwa sesungguhnya dia adalah keturunan Rasulullah SAW yang harusnya menjadi Suri Tauladan dalam bertindak dan bertutur kata dalam kehidupan.
Bisakah dibayangkan jika ada putra-putri Alawiyyin terjerumus dengan akhlak yang seperti yang telah kami jelaskan diatas ini, Jika itu terjadi maka berarti Alawiyyin tersebut telah menodai perjuangan Al-Imam Ahmad Al Muhajir. Sadar atau tidak sadar mereka itu telah ikut serta meremehkan peran leluhurnya yang telah berjuang mati-matian dalam mempertahankan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sangat mencintai para Shahabat dan juga Keluarganya Nabi Muhammad SAW dengan kecintaan karena Allah dan Rasul-Nya. Seorang Alawiyyin yang mengetahui sejarah leluhurnya, dari mulai dirinya sampai kepada Al-Imam Ahmad Al Muhajir, tentu akan mengetahui akidah apa yang harus mereka anut. Seorang Alawiyyin yang faham akan sejarah Imam Ahmad Al-Muhajir tentu akan melakukan dakwah dengan Akhlak, jauh dari kekerasan dan jauh dari perilaku yang sering menyalah-nyalahkan secara “pongah” akidah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Dalam hal ilmu nasab, seorang Alawiyyin sejati juga harus bisa menahan dirinya untuk tidak mudah berbicara tanpa didasari ilmu dan akhlak, alangkah anehnya jika ada Alawiyyin bicara tentang ilmu nasab tapi didalamnya lebih banyak fitnah, caci maki, hasud, dengki baik kepada sesama muslim atau saudara Alawiyinnya sendiri.
Berkaitan dengan Keluarga Besar Alawiyyin terutama keluarga besar Walisongo dan juga beberapa Kesultanan Ahlul Bait Nusantara, Sampai saat ini kami ingin mengatakan secara tegas bahwa Walisongo termasuk adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah, akidah yang sama dianut oleh saudaranya yang ada di Hadramaut Yaman dan juga beberapa negara yang banyak dihuni oleh keluarga Alawiyyin lainnya. Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah warisan dari Imam Ahmad Al-Muhajir yang merupakan leluhur puncak Alawiyyin seluruh dunia. Bagi mereka yang merasa keluarga besar Alawiyyin sudah seharusnya mempelajari sejarah dari tokoh besar dari keturunan Rasulullah SAW ini.
Semoga akidah yang sudah dianut oleh keluarga besar Walisongo dan Alawiyyin ini bisa dipertahankan sampai hari kiamat baik bagi keturunannya maupun bagi umat Islam seluruh dunia.
Wallahu A’lam Bisshowab……………
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, KH Surajuddin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, Cetakan ke 17, 2010.
Al-Baqir, Muhammad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, Pengantar Tentang Kaum Alawiyyin, Bandung: Penerbit Mizan, 1989.
Al Fattah, Iwan Mahmud, Hadramaut dan Hijrahnya keluarga Besar Walisongo, Jakarta: Penerbit Ikrafa & Madawis, 2014.
Al Husaini, Syaikh Hasan, Hasan & Husain-The Untold Stories, Penerbit Pustaka Imam Syafi’i, 2013.
Al Husaini, HMH Al Hamid, Sejarah Hidup Imam Jakfar Ash-Shoddiq, Semarang; Penerbit Toha Putra, 1985.
Al Husaini, HMH Al Hamid, Al Imam Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, Riwayat, Pemikiran, Nasihat dan Tarekatnya, Bandung: Penerbit Hidayah, 1999.
Al Mahsyur, Sejarah dan Silislah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW DI Indonesia , Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika, Jakarta: Penerbit Saraz Publishing, 2010.
Anam, Fairuz Khoirul, Al Imam Al Muhajir Ahmad Bin Isa, Leluhur Walisongo dan Habaib Di Indonesia, Malang: Penerbit Darkah Media, 2010.
Al-Idrus, Novel bin Muhammad, Jalan Lurus - Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, Sukakarta:Penerbit Taman Ilmu, 2006.
Azmatkhan, As-Syekh As-Sayyid Bahruddin , Al Mausuuah Li Ansaabi Al Imam Al Husaini, Jakarta: Penerbit Madawis, Edisi II Vol 24, 2014.
Arrifa’i, Ibnu Assayuthi, Hubungan Antara Syaikhona Kholil Bangkalan & NU-Mengenang & Menghayati Perjuangan Sang Inspirator, Lirboyo: Penerbit Al Haula Press, 2012.
Fattah, Nur Amin, Metode Dakwah Walisongo, Pekalongan: Penerbit CV Bahagia, 1997.
Sumaith, Allamah Al Faqih Al Habib Zain Bin (alih bahasa Rijalul Khairat Team), Akidah Keluarga Nabi, Bekasi: Pustaka Al Khairat, 2011.